(Telah dimuat di koran Tempo edisi Sabtu, 24 Mei 2025 dengan judul "Daun Semanggi hingga Revolver")
Daun
Semanggi
Aku
tidak ingat kapan pertama kali anak kecil itu muncul dalam mimpiku. Namun,
akhir-akhir ini dia selalu hadir kapan pun aku tertidur; siang maupun malam
hari. Kami selalu di tempat yang sama. Itu adalah sebuah taman dengan tanah
lapang yang hijau. Di sebelah kiriku ada hutan lebat seperti hutan di sebuah
film favoritku. Anak kecil itu berdiri di hadapanku, di sebelahnya ada sebuah
ayunan yang dicat warna-warni dan aku duduk diam memegang daun semanggi
berhelai empat.
“Ayo
main,” ucapnya.
Dan
aku terbangun.
Aku
pernah dengar, katanya, jika kita bisa menemukan daun semanggi berhelai empat,
maka kita akan mendapat keberuntungan. Apakah itu artinya semua permohonan kita
akan terkabul? Kalau begitu, apakah permohonanku yang tidak pernah didengar
Tuhan juga dapat terkabul?
“Aku
ingin pergi ke taman,” ucapku pada perempuan yang selalu datang ke kamarku.
Perempuan
itu tersenyum memamerkan giginya yang kekuningan kemudian mendekat padaku. Aku
baru saja menghabiskan sarapanku berupa bubur dengan abon sapi di bawah tatapan
tajam perempuan itu. Dia selalu memaksaku untuk menghabiskan makanan yang ia
antar walaupun rasanya tidak enak. Buburnya selalu keasinan.
“Kalau
begitu, kau harus menghabiskan obatmu lebih dulu.” Perempuan itu menyodorkan
beberapa butir obat berwarna putih yang diletakkan di sebuah kotak kecil.
Seketika
perutku mual. Aku hafal betul rasa pahit dari butiran obat-obatan itu. Entah
obat apa yang mereka—orang-orang berbaju putih—berikan padaku, tapi rasanya
sungguh luar biasa pahit. Kalau enak bukan obat namanya, begitu ibuku berkata
saat aku masih kanak. Makanya jangan sakit, lanjut ibuku. Apa itu artinya
sekarang aku sedang sakit?
Aku
termenung, memandangi kedua tanganku dengan bekas-bekas aneh di pergelangan
tangan. Benar, aku sakit, itu sebabnya aku berada di sini dengan obat-obatan
yang tidak pernah telat diantar padaku. Selain obat mereka juga kadang
menyuntikan cairan ke lenganku yang membuatku kehilangan kesadaran.
“Kalau
kau rutin meminum obatmu tanpa paksaan, aku akan mengantarmu ke taman.”
“Berapa
lama?”
“Setidaknya
dua minggu.”
“Itu
terlalu lama.”
Tidak
ada gunanya melakukan negosiasi dengan orang-orang di sini. Mereka tidak pernah
berada di pihakku. Mereka tidak pernah mempercayaiku, bahkan untuk sekadar
pergi ke taman. Mereka bilang aku harus diawasi dengan sangat ketat.
“Kau
bisa memulainya hari ini jika ingin ke taman secepatnya.” Perempuan itu kembali
menyodorkan kotak berisi obat. Aku tahu mereka tidak akan meninggalkanku
sebelum obat-obat itu melewati kerongkonganku. Tiga kali sehari tanpa
terlewatkan, atau mereka akan memaksaku dengan cara yang mengerikan.
Aku
benci obat putih itu, sama bencinya aku dengan orang-orang di sini dan tempat
ini. Namun, aku harus segera ke taman untuk menemukan daun semanggi berhelai
empat. Perlahan, aku meraih kotak berisi obat yang perempuan itu sodorkan.
Dalam sekali tenggak obat-obat itu tertelan.
“Buka
mulutmu.”
Jika
aku bilang mereka tidak pernah percaya padaku, ini adalah salah satu buktinya.
Mereka akan mengecek rongga mulutku untuk memastikan obat itu benar-benar
tertelan—bukan aku sembunyikan di dalam mulut. Benar-benar luar biasa perempuan
ini.
“Dua
minggu dari sekarang, jika kau rutin meminum obatmu, aku akan membawaku ke
taman.”
Setelahnya
perempuan itu pergi meninggalkan kamarku diikuti suara pintu yang dikunci. Kini
yang tersisa hanya aku dan ruangan sepi ini. Aku tak ingat sejak kapan aku
berada di sini; sepertinya sudah lama. Ingatku timbul tenggelam, tapi yang aku
ingat aku telah melakukan ratusan percobaan bunuh diri. Kadang aku lupa kenapa
aku ingin mati.
“Kenapa?”
Aku
pun tidak mengerti. Sama halnya aku tidak mengerti mengapa aku harus hidup.
Sama halnya aku tidak mengerti mengapa rencana bunuh diriku selalu gagal.
Mengapa orang tuaku mengirimku ke sini; ke bilik rumah sakit jiwa ini?
Kembali
aku memandangi bekas-bekas aneh di pergelangan tanganku. Sayatan-sayatan kasar
di sekitar urat nadi. Aku ingat aku pernah sekarat di ruangan ini karena
terlalu banyak menelan obat putih yang berhasil aku sembunyikan. Itu adalah
rencana bunuh diri ke seratus delapan puluh tujuh1. Aku telah
merencanakan ratusan bunuh diri sebelumnya, namun selalu gagal entah apa
sebabnya. Aku pikir rencanaku yang terakhir kali itu akan berhasil, tapi aku
masih hidup sampai sekarang.
Orang-orang
bertanya mengapa aku ingin sekali mati; aku pun tidak tahu persis. Aku hanya
ingat tentang pria-pria yang membuka kakiku dengan tawa mengerikan, yang
membuat seluruh tubuhku sakit dan aku hanya bisa berteriak dan terus berteriak
hingga aku tidak bisa mendengar teriakanku sendiri. Sejak itu orang-orang mulai
memandang iba padaku. Aku benci tatapan mereka, terutama tatapan Ayah, Ibu,
saudara dan teman-temanku. Aku merasa sepi yang tidak berujung, dadaku sakit
dan aku ingin berhenti. Aku ingin semua rasa sakit ini berakhir. Benar,
itulah permohonanku. Aku harus segera menemukan daun semanggi berhelai empat!
Ternyata
tidak mudah menemukan daun semanggi berhelai empat di taman rumah sakit.
Setelah perjuangan panjang menelan obat-obat pahit selama dua minggu—tanpa kompensasi
sedikit pun—akhirnya perempuan itu membawaku ke taman. Aku sudah mencarinya
sejak jadwal minum obatku yang pertama di pagi hari, dan setelah menelan obat
keduaku aku belum berhasil menemukannya. Di taman kecil dekat kamarku ini hanya
ada daun semanggi berhelai tiga. Apa aku harus pergi ke taman yang lebih luas
dan lebih hijau di mana rumput semanggi tumbuh lebih subur? Di tanah yang subur
pasti setidaknya ada satu daun semanggi berhelai empat. Aku ingat mimpiku
tentang anak kecil yang mengajakku bermain. Di taman seluas dan sehijau itu
pasti mudah menemukan daun semanggi berhelai empat.
“Ini
sudah hampir gelap. Kau harus minum obatmu dan kembali ke kamar.”
Perempuan
itu berdiri tak jauh dariku. Aku melihat orang-orang yang sebelumnya berada di
taman mulai kembali ke kamarnya masing-masing. Hanya ada aku dan perempuan itu
sekarang. Dia menatap arloji di tangannya kemudian mengetuk benda itu beberapa
kali sebagai tanda bahwa waktuku telah habis. Di samping perempuan itu, tumbuh
sebatang pohon beringin besar yang menaungi taman, akar-akar gantungnya
menjuntai seperti rambut nenek-nenek yang tidak pernah keramas. Ini persis
seperti adegan film menegangkan. Dan kini jantungku berdetak lebih kencang,
adrenalinku terpacu. Aku harus pergi ke taman yang lebih luas!
Bintang
Jatuh
Aku
pernah mati satu kali ketika berusia tujuh, lalu sebuah bintang jatuh datang
padaku dan membangkitkanku. Ah, bintang jatuh. Seseorang pernah berkata,
orang-orang suka dengan bintang yang bersinar, tapi sebenarnya mereka lebih
suka kalau bintang itu jatuh2. Ketika pertama kali mendengar kalimat
itu aku merasa begitu sedih. Namun kemudian aku menyadarinya bahwa itu benar.
Pasti menyenangkan ketika teman sekelas yang selalu mendapat peringkat pertama
tiba-tiba jatuh di peringkat bawah. Pasti juga sangat menyenang ketika rekan
satu tim yang selalu mendapat pujian dari atasan membuat kesalahan dan
dicaci-maki. Sebuah bintang yang meluncur jatuh lebih indah ketimbang bintang
yang berkedip di atas langit.
Sejak
kecil, aku percaya bahwa jika kita membuat permohonan ketika melihat bintang
jauh di langit malam maka permohonan itu akan terkabul. Permohonan apa yang
ingin kau sampaikan ketika melihat bintang jatuh?
Aku
pernah bertemu dengan seorang gadis dengan luka-luka sayatan di pergelangan
tangannya. Gadis kurus bermata cekung kehitaman; tak ada sorot kehidupan dalam
tatapan matanya, namun ada sebuah tekad yang begitu kuat di sana. Gadis malang
yang dipermainkan takdir.
“Aku
mencari daun semanggi berhelai empat,” begitu katanya dengan suara lirih.
Tubuhnya
menggigil kedinginan, kakinya telanjang menampakkan luka-luka kemerahan. Entah
berapa jauh sudah gadis itu melangkah untuk sampai di taman ini dan bertemu
denganku untuk sebuah daun semanggi berhelai empat. Ah, gadis itu telah
banyak berhadapan dengan kematian. Haruskah aku membantunya? Tentu ada banyak
daun semanggi berhelai empat di tamanku ini.
“Kenapa
kau mencari daun semanggi berhelai empat?”
“Aku
ingin membuat sebuah permohonan.”
“Apa
permohonanmu?”
“Kematian.”
Kematian.
Aku pernah merasakannya satu kali dan itu sangat menyakitkan. Kenapa seorang
gadis muda memohon untuk sebuah kematian? Bukankah ada lebih banyak alasan
untuk tetap hidup. Aku teringat pada seorang pemuda yang memohon kehidupan
untuk kekasihnya yang sekarat. Pun tentang seorang ayah yang memohon agar anak
semata wayangnya dihidupkan kembali. Begitu banyak permohonan tentang
kehidupan, lalu mengapa gadis muda ini justru memohon kematian? Bukankah
kematian adalah sesuatu yang pasti; yang tak perlu diminta ataupun dimohonkan?
“Apa
yang bisa kau berikan untuk terkabulnya permohonanmu?”
“Apa
pun yang kau inginkan, Bintang Jatuh.”
Bintang
jatuh selalu mengabulkan permohonan orang-orang yang melihatnya. Namun, sama
seperti langit yang kehilangan setitik cahayanya ketika sebuah bintang meluncur
jatuh, selalu ada harga yang harus dibayar untuk setiap permohonan. Namun,
sebuah kematian bukanlah sebuah permohonan yang layak dikabulkan.
Revolver
Aku
tidak menyangka gadis itu akan muncul di hadapanku; terlebih muncul dengan amat
mendadak di kamarku yang sempit. Tidak. Aku yakin telah membunuhnya hari itu.
Pagi masih terlalu dingin ketika kudapati gadis itu tengah duduk di meja dekat
tempat tidurku sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang telanjang. Dia
mengetuk-ngetuk laptop di meja sedangkan tangan lainnya tengah asyik dengan
sebuah revolver.
Aku
tergagap sesaat, tidak menyakini penglihatanku, sampai dia menoleh dan
tersenyum menatapku. Gadis itu menunjukkan revolver di tangannya dan berkata
bahwa sangat sulit untuk menemukanku. Aku tahu dia sedang mengejekku. Sekali
lagi aku mengingat-ingat bahwa aku telah membunuhnya hari itu. Apakah lagi-lagi
gadis itu berhasil selamat dari kematian?
“Aku
selalu bertanya-tanya, siapa kiranya yang begitu menginginkan kematianku sampai
dia merencanakan kematian hingga ratusan kali.” Gadis itu turun dari meja, kaki
telanjangnya menapak lantai kamar yang dingin.
Kaki
itu telah berjalan sangat jauh demi menemukan kematian yang aku rencanakan
untuknya. Kaki dengan luka-luka dari duri dan jalanan berbatu. Namun, kini kaki
itu tengah melangkah ke arahku. Gadis itu menjatuhkan dirinya di kasur
membuatku harus bangkit demi menghindarinya. Dia memantul-mantulkan badannya yang
kurus kering di sana seperti anak kecil. Aku masih terdiam di tempatku; membeku
seperti seekor ikan di dalam freezer. Aku memperhatikan lehernya yang
begitu kecil dengan memar merah, juga pergelangan tangannya yang penuh bekas
luka sayatan.
Gadis
di hadapanku ini tidak seperti gadis belasan tahun pada umumnya.
“Seratus
delapan puluh delapan kali. Kau ingat?”
Tentu
aku ingat. Sangat ingat.
“Itu
sangat melelahkan,” desahnya, kemudian membaringkan diri di kasurku. Untuk
beberapa lama dia bergeming di sana dengan napas naik turun teratur seolah
tertidur.
“Apa
maumu?”
Dia
tak segera menjawab. Gadis itu hanya membuka mata dan menatap langit-langit
kamarku. Ada ketenangan dalam sorot matanya, tapi aku tidak boleh tertipu. Aku
kenal betul gadis ini; dia bukan gadis lemah hanya karena tubuhnya yang kurus
kering. Terlebih karena sekarang dia memegang revolver yang entah dia dapat
dari mana.
“Seperti
yang aku bilang tadi, aku hanya ingin tahu siapa yang begitu menginginkan
kematianku.”
Keheningan
muncul di antara kami. Gadis itu hanya duduk tenang di kasurku sembari
memain-mainkan revolvernya seolah memperingatkanku untuk tetap diam. Apakah
gadis itu akan membunuhku? Dia meraih sebuah sisir di nakas samping tempat
tidurku dan mulai menyisir rambutnya yang kemerahan dan kusut. Gadis itu begitu
tenang, tapi aku harus tetap waspada.
Setelah
cukup lama menyisir rambut kusutnya gadis itu melempar sisirku sembarangan
kemudian bangkit, berjalan mengitari kamarku yang sempit, kumuh dan lembap.
Hanya ada sebuah jendela kecil dan tinggi di kamarku. Jendela itu tidak bisa
disebut jendela karena tidak pernah dibuka, bahkan di siang hari nyaris tidak
dapat mengantarkan sinar matahari. Kamar ini lebih mengerikan dibanding sel
penjara. Lebih mengerikan dibanding bilik rumah sakit jiwa tempat gadis ini
harusnya berada.
“Aku
hampir tidak percaya, kau merencanakan semua kematianku di kamar ini. Kau tahu,
itu semua sangat mengerikan.”
Aku
tidak tahu bagaimana cara gadis itu muncul di hadapanku. Itu tidak mungkin
terjadi, tapi gadis itu benar-benar berada di kamarku sekarang. Terakhir kali,
aku membuatnya berjalan sangat jauh demi menemui Bintang Jatuh untuk memberinya
kematian.
Tunggu!
Seketika
aku menoleh padanya yang tengah tersenyum lebar padaku.
“Benar.
Ini yang aku minta pada Bintang Jatuh.”
“Kau
harusnya meminta kematianmu!”
“Kenapa
aku harus mati?”
“Bukankah
semua orang juga akan memilih kematian jika jadi kau?”
Gadis
itu memilih tidak menjawab. Dia kembali berjalan mengelilingi kamarku,
mengamati setiap benda yang dia temui hingga berhenti di depan kamar mandi.
Gadis itu berdiri lama di sana, memandang entah apa yang ada di dalam kamar
mandiku. Aku yakin hanya ada ember berisi air, sabun, sampo, pasta gigi dan
sikat gigi di dalam sana. Aku tak tahu apa yang begitu menarik perhatiannya.
“Kau
ingat, kau pernah merencanakan kematianku di kamar mandi dengan menenggelamkan
diri.”
Tentu
saja aku ingat. Seratus delapan puluh delapan rencana kematian untuk seorang
gadis. Dan itu semua aku tulis dengan rapi. Namun, hingga saat ini belum ada
yang berhasil. Gadis itu masih saja terus selamat.
“Jadi,
kau merencanakan semua kematianku dari benda hitam itu?” Gadis itu menunjuk
laptop di meja dengan dagunya.
Ah,
harusnya aku menyimpan benda itu sedari tadi.
“Kau
tahu, kematian seperti itu sangat menakutkan dan dingin.”
“Begitu
juga dengan hidup.”
Gadis
itu tertawa. Terbahak-bahak hingga aku takut dia akan tersedak dan mati. Oh,
dia tidak boleh mati tanpa rencana dariku. Hanya aku yang boleh memberinya
kematian. Aku ingat ketika pertama kali aku menulis tentang gadis ini; dia
adalah gadis yang periang, seperti sekuntum bunga morning glory di pagi
hari. Dia sangat bersinar dan dicintai semua orang. Membuatku iri. Kenapa ada
seorang gadis yang begitu bahagia dalam hidupnya sedangkan aku tidak?
Namun,
bukankah bintang yang meluncur jatuh jauh lebih indah dibanding bintang yang
hanya berkedip di langit malam? Aku memberinya kesakitan pertama sama seperti
yang aku alami. Pria-pria berbadan besar itu menyayat-nyayat gadis itu dari
dalam; satu per satu dengan tawa yang mengerikan. Aku tahu betul bagaimana
rasanya berteriak dengan sangat kencang hingga gendang telinga kita sendiri
tidak dapat mendengar teriakan itu. Sepi, sunyi, sakit, dan dingin. Rasanya
seperti berjalan di dalam lorong yang gelap dan lembap. Lalu tatapan
orang-orang yang mengiba berubah menjadi menyudutkan.
Siapa
yang salah? Orang-orang mulai mempertanyakan, sedangkan aku mulai jatuh pada
keputusasaan; tenggelam dalam kesakitan. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku
yang sakit? Dan kenapa harus aku yang minum obat-obatan? Kenapa orang-orang
menatapku seperti akulah penjahatnya? Ayah, Ibu, saudara, teman-teman, ke mana
mereka semua?
Seratus
delapan puluh delapan rencana kematian yang aku tulis untuk gadis itu adalah
keinginanku yang tidak pernah berani aku lakukan. Seratus delapan puluh delapan
rencana kematian yang berhasil dia lalui untuk sampai di tempatku berdiri
sekarang.
“Aku
tidak mau lagi,” ucapnya.
“Kau
pikir dunia akan baik padamu?”
“Aku
bilang aku tidak mau lagi.” Gadis itu mengacungkan revolvernya ke arahku
membuatku terkesiap.
“Kau
tidak bisa melakukan ini padaku. Aku yang menciptakanmu.”
“Seratus
delapan puluh delapan rencana kematian yang kau berikan padaku, hanya karena
kau tidak mampu berdamai dengan dirimu sendiri.”
“Jangan
bicara seolah kau tahu apa yang aku rasakan!”
“Bukankah
itu tujuanmu? Membagi rasa sakitmu padaku? Dan aku bilang, aku tidak mau lagi.”
“Kau
adalah aku.”
“Ini
yang aku minta pada Bintang Jatuh. Kematianmu.”
Matanya
nyalang menatapku dengan ujung revolver tepat mengarah ke kepalaku. Berbarengan
dengan suara ledakan aku merasakan sesuatu melesat melewati batok kepalaku. Aku
melihat pria-pria berbadan besar dengan tawa mengerikan. Aku melihat orang-orang
yang pergi meninggalkanku. Aku melihat seonggok daging hidup yang keluar melewati
selangkanganku. Aku melihat bunga morning glory berwarna biru keunguan
sebelum berubah menjadi merah darah. Dan gadis itu menatapku dengan kesedihan.
“Selamat tinggal, ****.”