Laman

Rabu, 18 April 2018

Pemakaman Firman


(Telah dimuat di Harian Fajar Makassar, edisi 15 April 2018)

[Isi cerpen dihapus untuk kepentingan penerbitan. Terima kasih.]

Empat Sekawan dari Kampung Kelapa



(Telah dimuat di Harian Solopos, edisi 4 Februari 2018)

Kampung Suka Maju terkenal dengan sebutan Kampung Kepala. Bukan tanpa alasan, kebanyakan warga  Kampung Suka Maju adalah petani kelapa, meski akhir-akhir ini para pemudanya lebih memilih merantau ke kota besar. Namun, para orang tua memilih untuk bertahan sebagai petani kelapa, seperti ayah Rizal.
Keluarga Rizal mempunyai sebuah kebun di belakang rumah, tidak luas memang, hanya bisa ditanami sepuluh pohon kelapa. Setiap hari, ayah Rizal akan memilih kelapa yang sudah tua. Kelapa itu akan dijual ke pasar bersama kelapa-kelapa milik tetangga menggunakan mobil pick up sewaan. Rizal dan ketiga temannya, Hasan, Rudi dan Akbar, selalu membantu orang tua mereka di kebun seusai sekolah.
Pagi ini, kampung digemparkan oleh sebuah kejadian. Kelapa-kelapa milik ayah Hasan hilang dari pohonnya. Kelapa yang harusnya dipetik hari ini untuk dijual ke pasar mendadak hilang.
“Kemarin masih ada,” kata ayah Hasan. “Sudah aku hitung jumlahnya lima belas buah dan akan aku petik hari ini. Sekarang malah hilang.”
Kasus pencurian kelapa ini menyebar dan menjadi perbincangan bagi warga kampung.
“Siapa kira-kira yang mencuri kelapa milik ayahmu, Hasan?” Akbar bertanya ketika pulang sekolah.
Hasan hanya menggeleng lemah. Ayahnya berencana membelikan Hasan sepatu baru menggunakan uang hasil penjualan kelapa hari ini, tapi kelapa-kelapa itu malah dicuri oleh orang. Sepanjang jalan, mereka berpikir, ayah Hasan adalah seorang yang baik, jadi tidak mungkin ada seseorang yang membencinya apalagi sampai melakukan pencurian.
Hari berikutnya, kejadian yang sama terulang lagi. Kali ini berasal dari kebun kelapa milik Rudi. Kelapa-kelapa tua milik keluarga Rudi hilang tanpa jejak. Warga menjadi panik. Mereka tidak mau kalau hasil kebunnya dicuri.
“Kita adakan ronda tiap malam,” ayah Rizal mengusulkan.
Semua warga setuju. Mereka menjadwalkan ronda malam secara bergiliran untuk menjaga kebun-kebun kelapa di malam hari.
***
Sudah sebulan lamanya ronda diadakan secara bergiliran. Sejak itu pula pencurian di Kampung Kelapa berhenti. Kampung aman seperti dulu. Warga yakin pencuri itu sudah bertobat. Maka, ronda dihentikan. Namun, di luar dugaan, pencuri itu datang lagi. Dan kini korbannya adalah keluarga Rizal. Kelapa-kelapa siap petik di kebun Rizal hilang.
“Pencuri itu sungguh keterlaluan,” ucap Rizal pada ketiga temannya sepulang sekolah.
“Sudah tiga kali pencurian ini terjadi.” Hasan yang menjadi korban pertama begitu benci pada si pencuri.
“Kita harus menangkapnya!” Rudi bersemangat.
“Bagaimana caranya?” tanya Akbar.
“Kita jebak pencuri itu.”
“Tapi kita tidak tahu kebun siapa yang akan menjadi sasaran.”
Rizal setuju dengan ucapan Hasan. Si pencuri itu tidak bisa ditebak akan mencuri di mana. Dia hanya selalu mencuri kelapa-kelapa yang sudah siap untuk dipetik.
“Ah, iya, aku tahu!” pekik Rizal.
“Tahu apa?” tanya Rudi, begitu pula dengan Akbar dan Hasan.
“Akbar, apa kelapa di kebunmu sudah banyak yang siap dipetik?” tanyak Rizal.
“Siap dipetik?” Akbar berpikir. “Kemarin aku mengecek ke kebun bersama Ayah dan sepertinya memang banyak yang akan di petik besok.”
“Bagus! Sekarang kira sebarkan berita tentang kelapa milik keluarga Akbar sudah siap untuk dipetik.”
“Untuk apa?” tanya Akbar tidak mengerti.
“Untuk menjebak si pencuri. Kita harus menyebarkan berita soal kelapamu yang sudah siap dipetik.” Rizal menatap ketiga temannya bergantian. “Dengan begitu, si pencuri akan mencuri kelapamu malam ini dan kita sergap pencuri itu.”
“Iya, aku mengerti.”
Maka sore itu, dibantu ayah Akbar, mereka menyebarkan berita tentang kelapa keluarga Akbar sudah siap petik besok pagi. Malamnya, mereka dan beberapa warga lain secara diam-diam berjaga di sekitar kebun keluarga Akbar. Sampai terkantuk-kantuk mereka menunggu pencuri itu.  Namun, tepat pukul satu dini hari, suara dari roda gerobak membuat mata mereka melebar.
Seorang laki-laki dengan sebuah tudung menutupi sebagian wajahnya mendorong sebuah gerobak bersama dua ekor monyet. Dengan gesit monyet-monyet itu memanjat dan menjatuhkan kelapa-kelapa milik keluarga Akbar. Laki-laki yang mengenakan tudung itu memunguti kelapa satu per satu.
Ayah Rizal yang ikut berjaga memberi aba-aba untuk menyergap si pencuri. Tiga, dua, satu dan hap! Pencuri itu ditangkap dan langsung diaman oleh warga. Ayah Rizal dan ayah Akbar berusaha menenangkan warga agar tidak main hakim sendiri.
Ketika perlahan tudung kepalanya dibuka, betapa terkejutnya mereka semua. Laki-laki itu adalah Pak Badrun, ayah Rudi. Tapi bagaimana bisa? Bukankah waktu itu kelapa milik Pak Badrun juga dicuri?
“Aku butuh uang untuk pengobatan ibunya Rudi yang sakit parah,” terang Pak Badrun, sedangkan Rudi hanya bisa menunduk malu.
Mereka semua tahu, ibu Rudi sakit sejak melahirkan adik Rudi. Beberapa kali ibu Rudi harus dirawat di rumah sakit dan tentu biayanya cukup besar.
“Aku minta maaf karena mencuri kelapa kalian dan berbohong.” Pak Badrun meminta maaf. “Ayah minta maaf karena mengecewakanmu, Rudi.”
Akhirnya setelah musyawarah dengan warga lain, Pak Badrun dimaafkan dengan syarat tidak akan mengulangi lagi. Warga mengerti penderitaan yang harus keluarga Rudi rasakan sejak ibunya sakit. Berkali-kali Rudi minta maaf. Dia merasa malu karena menjadi anak dari seorang pencuri.
“Aku minta maaf, teman-teman,” ucap Rudi sedih.
“Sudahlah, Rudi, ini bukan salahmu, lagipula bapakmu juga sudah minta maaf dan menyesali perbuatannya,” ucap Rizal.
“Benar. Asal ayahmu tidak mengulanginya dan kamu tidak mengikuti jejaknya,” tambah Hasan.
“Kalian masih mau jadi temanku, kan?” Rudi ragu.
“Tentu saja. Kita ini, kan, empat sekawan dari Kampung Kelapa.” Akbar merangkul Rudi dengan erat, diikuti Rizal dan Hasan.
Mereka berempat berangkulan dan berjanji akan menjadi sahabat selamanya walau di saat susah maupun senang.