Laman

Selasa, 27 Mei 2025

Daun Semanggi, Bintang Jatuh dan Revolver


 

(Telah dimuat di koran Tempo edisi Sabtu, 24 Mei 2025 dengan judul "Daun Semanggi hingga Revolver")

 

Daun Semanggi

Aku tidak ingat kapan pertama kali anak kecil itu muncul dalam mimpiku. Namun, akhir-akhir ini dia selalu hadir kapan pun aku tertidur; siang maupun malam hari. Kami selalu di tempat yang sama. Itu adalah sebuah taman dengan tanah lapang yang hijau. Di sebelah kiriku ada hutan lebat seperti hutan di sebuah film favoritku. Anak kecil itu berdiri di hadapanku, di sebelahnya ada sebuah ayunan yang dicat warna-warni dan aku duduk diam memegang daun semanggi berhelai empat.

“Ayo main,” ucapnya.

Dan aku terbangun.

Aku pernah dengar, katanya, jika kita bisa menemukan daun semanggi berhelai empat, maka kita akan mendapat keberuntungan. Apakah itu artinya semua permohonan kita akan terkabul? Kalau begitu, apakah permohonanku yang tidak pernah didengar Tuhan juga dapat terkabul?

“Aku ingin pergi ke taman,” ucapku pada perempuan yang selalu datang ke kamarku.

Perempuan itu tersenyum memamerkan giginya yang kekuningan kemudian mendekat padaku. Aku baru saja menghabiskan sarapanku berupa bubur dengan abon sapi di bawah tatapan tajam perempuan itu. Dia selalu memaksaku untuk menghabiskan makanan yang ia antar walaupun rasanya tidak enak. Buburnya selalu keasinan.

“Kalau begitu, kau harus menghabiskan obatmu lebih dulu.” Perempuan itu menyodorkan beberapa butir obat berwarna putih yang diletakkan di sebuah kotak kecil.

Seketika perutku mual. Aku hafal betul rasa pahit dari butiran obat-obatan itu. Entah obat apa yang mereka—orang-orang berbaju putih—berikan padaku, tapi rasanya sungguh luar biasa pahit. Kalau enak bukan obat namanya, begitu ibuku berkata saat aku masih kanak. Makanya jangan sakit, lanjut ibuku. Apa itu artinya sekarang aku sedang sakit?

Aku termenung, memandangi kedua tanganku dengan bekas-bekas aneh di pergelangan tangan. Benar, aku sakit, itu sebabnya aku berada di sini dengan obat-obatan yang tidak pernah telat diantar padaku. Selain obat mereka juga kadang menyuntikan cairan ke lenganku yang membuatku kehilangan kesadaran.

“Kalau kau rutin meminum obatmu tanpa paksaan, aku akan mengantarmu ke taman.”

“Berapa lama?”

“Setidaknya dua minggu.”

“Itu terlalu lama.”

Tidak ada gunanya melakukan negosiasi dengan orang-orang di sini. Mereka tidak pernah berada di pihakku. Mereka tidak pernah mempercayaiku, bahkan untuk sekadar pergi ke taman. Mereka bilang aku harus diawasi dengan sangat ketat.

“Kau bisa memulainya hari ini jika ingin ke taman secepatnya.” Perempuan itu kembali menyodorkan kotak berisi obat. Aku tahu mereka tidak akan meninggalkanku sebelum obat-obat itu melewati kerongkonganku. Tiga kali sehari tanpa terlewatkan, atau mereka akan memaksaku dengan cara yang mengerikan.

Aku benci obat putih itu, sama bencinya aku dengan orang-orang di sini dan tempat ini. Namun, aku harus segera ke taman untuk menemukan daun semanggi berhelai empat. Perlahan, aku meraih kotak berisi obat yang perempuan itu sodorkan. Dalam sekali tenggak obat-obat itu tertelan.

“Buka mulutmu.”

Jika aku bilang mereka tidak pernah percaya padaku, ini adalah salah satu buktinya. Mereka akan mengecek rongga mulutku untuk memastikan obat itu benar-benar tertelan—bukan aku sembunyikan di dalam mulut. Benar-benar luar biasa perempuan ini.

“Dua minggu dari sekarang, jika kau rutin meminum obatmu, aku akan membawaku ke taman.”

Setelahnya perempuan itu pergi meninggalkan kamarku diikuti suara pintu yang dikunci. Kini yang tersisa hanya aku dan ruangan sepi ini. Aku tak ingat sejak kapan aku berada di sini; sepertinya sudah lama. Ingatku timbul tenggelam, tapi yang aku ingat aku telah melakukan ratusan percobaan bunuh diri. Kadang aku lupa kenapa aku ingin mati.

“Kenapa?”

Aku pun tidak mengerti. Sama halnya aku tidak mengerti mengapa aku harus hidup. Sama halnya aku tidak mengerti mengapa rencana bunuh diriku selalu gagal. Mengapa orang tuaku mengirimku ke sini; ke bilik rumah sakit jiwa ini?

Kembali aku memandangi bekas-bekas aneh di pergelangan tanganku. Sayatan-sayatan kasar di sekitar urat nadi. Aku ingat aku pernah sekarat di ruangan ini karena terlalu banyak menelan obat putih yang berhasil aku sembunyikan. Itu adalah rencana bunuh diri ke seratus delapan puluh tujuh1. Aku telah merencanakan ratusan bunuh diri sebelumnya, namun selalu gagal entah apa sebabnya. Aku pikir rencanaku yang terakhir kali itu akan berhasil, tapi aku masih hidup sampai sekarang.

Orang-orang bertanya mengapa aku ingin sekali mati; aku pun tidak tahu persis. Aku hanya ingat tentang pria-pria yang membuka kakiku dengan tawa mengerikan, yang membuat seluruh tubuhku sakit dan aku hanya bisa berteriak dan terus berteriak hingga aku tidak bisa mendengar teriakanku sendiri. Sejak itu orang-orang mulai memandang iba padaku. Aku benci tatapan mereka, terutama tatapan Ayah, Ibu, saudara dan teman-temanku. Aku merasa sepi yang tidak berujung, dadaku sakit dan aku ingin berhenti. Aku ingin semua rasa sakit ini berakhir. Benar, itulah permohonanku. Aku harus segera menemukan daun semanggi berhelai empat!

Ternyata tidak mudah menemukan daun semanggi berhelai empat di taman rumah sakit. Setelah perjuangan panjang menelan obat-obat pahit selama dua minggu—tanpa kompensasi sedikit pun—akhirnya perempuan itu membawaku ke taman. Aku sudah mencarinya sejak jadwal minum obatku yang pertama di pagi hari, dan setelah menelan obat keduaku aku belum berhasil menemukannya. Di taman kecil dekat kamarku ini hanya ada daun semanggi berhelai tiga. Apa aku harus pergi ke taman yang lebih luas dan lebih hijau di mana rumput semanggi tumbuh lebih subur? Di tanah yang subur pasti setidaknya ada satu daun semanggi berhelai empat. Aku ingat mimpiku tentang anak kecil yang mengajakku bermain. Di taman seluas dan sehijau itu pasti mudah menemukan daun semanggi berhelai empat.

“Ini sudah hampir gelap. Kau harus minum obatmu dan kembali ke kamar.”

Perempuan itu berdiri tak jauh dariku. Aku melihat orang-orang yang sebelumnya berada di taman mulai kembali ke kamarnya masing-masing. Hanya ada aku dan perempuan itu sekarang. Dia menatap arloji di tangannya kemudian mengetuk benda itu beberapa kali sebagai tanda bahwa waktuku telah habis. Di samping perempuan itu, tumbuh sebatang pohon beringin besar yang menaungi taman, akar-akar gantungnya menjuntai seperti rambut nenek-nenek yang tidak pernah keramas. Ini persis seperti adegan film menegangkan. Dan kini jantungku berdetak lebih kencang, adrenalinku terpacu. Aku harus pergi ke taman yang lebih luas!

 

Bintang Jatuh

Aku pernah mati satu kali ketika berusia tujuh, lalu sebuah bintang jatuh datang padaku dan membangkitkanku. Ah, bintang jatuh. Seseorang pernah berkata, orang-orang suka dengan bintang yang bersinar, tapi sebenarnya mereka lebih suka kalau bintang itu jatuh2. Ketika pertama kali mendengar kalimat itu aku merasa begitu sedih. Namun kemudian aku menyadarinya bahwa itu benar. Pasti menyenangkan ketika teman sekelas yang selalu mendapat peringkat pertama tiba-tiba jatuh di peringkat bawah. Pasti juga sangat menyenang ketika rekan satu tim yang selalu mendapat pujian dari atasan membuat kesalahan dan dicaci-maki. Sebuah bintang yang meluncur jatuh lebih indah ketimbang bintang yang berkedip di atas langit.

Sejak kecil, aku percaya bahwa jika kita membuat permohonan ketika melihat bintang jauh di langit malam maka permohonan itu akan terkabul. Permohonan apa yang ingin kau sampaikan ketika melihat bintang jatuh?

Aku pernah bertemu dengan seorang gadis dengan luka-luka sayatan di pergelangan tangannya. Gadis kurus bermata cekung kehitaman; tak ada sorot kehidupan dalam tatapan matanya, namun ada sebuah tekad yang begitu kuat di sana. Gadis malang yang dipermainkan takdir.

“Aku mencari daun semanggi berhelai empat,” begitu katanya dengan suara lirih.

Tubuhnya menggigil kedinginan, kakinya telanjang menampakkan luka-luka kemerahan. Entah berapa jauh sudah gadis itu melangkah untuk sampai di taman ini dan bertemu denganku untuk sebuah daun semanggi berhelai empat. Ah, gadis itu telah banyak berhadapan dengan kematian. Haruskah aku membantunya? Tentu ada banyak daun semanggi berhelai empat di tamanku ini.

“Kenapa kau mencari daun semanggi berhelai empat?”

“Aku ingin membuat sebuah permohonan.”

“Apa permohonanmu?”

“Kematian.”

Kematian. Aku pernah merasakannya satu kali dan itu sangat menyakitkan. Kenapa seorang gadis muda memohon untuk sebuah kematian? Bukankah ada lebih banyak alasan untuk tetap hidup. Aku teringat pada seorang pemuda yang memohon kehidupan untuk kekasihnya yang sekarat. Pun tentang seorang ayah yang memohon agar anak semata wayangnya dihidupkan kembali. Begitu banyak permohonan tentang kehidupan, lalu mengapa gadis muda ini justru memohon kematian? Bukankah kematian adalah sesuatu yang pasti; yang tak perlu diminta ataupun dimohonkan?

“Apa yang bisa kau berikan untuk terkabulnya permohonanmu?”

“Apa pun yang kau inginkan, Bintang Jatuh.”

Bintang jatuh selalu mengabulkan permohonan orang-orang yang melihatnya. Namun, sama seperti langit yang kehilangan setitik cahayanya ketika sebuah bintang meluncur jatuh, selalu ada harga yang harus dibayar untuk setiap permohonan. Namun, sebuah kematian bukanlah sebuah permohonan yang layak dikabulkan.

 

Revolver

Aku tidak menyangka gadis itu akan muncul di hadapanku; terlebih muncul dengan amat mendadak di kamarku yang sempit. Tidak. Aku yakin telah membunuhnya hari itu. Pagi masih terlalu dingin ketika kudapati gadis itu tengah duduk di meja dekat tempat tidurku sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang telanjang. Dia mengetuk-ngetuk laptop di meja sedangkan tangan lainnya tengah asyik dengan sebuah revolver.

Aku tergagap sesaat, tidak menyakini penglihatanku, sampai dia menoleh dan tersenyum menatapku. Gadis itu menunjukkan revolver di tangannya dan berkata bahwa sangat sulit untuk menemukanku. Aku tahu dia sedang mengejekku. Sekali lagi aku mengingat-ingat bahwa aku telah membunuhnya hari itu. Apakah lagi-lagi gadis itu berhasil selamat dari kematian?

“Aku selalu bertanya-tanya, siapa kiranya yang begitu menginginkan kematianku sampai dia merencanakan kematian hingga ratusan kali.” Gadis itu turun dari meja, kaki telanjangnya menapak lantai kamar yang dingin.

Kaki itu telah berjalan sangat jauh demi menemukan kematian yang aku rencanakan untuknya. Kaki dengan luka-luka dari duri dan jalanan berbatu. Namun, kini kaki itu tengah melangkah ke arahku. Gadis itu menjatuhkan dirinya di kasur membuatku harus bangkit demi menghindarinya. Dia memantul-mantulkan badannya yang kurus kering di sana seperti anak kecil. Aku masih terdiam di tempatku; membeku seperti seekor ikan di dalam freezer. Aku memperhatikan lehernya yang begitu kecil dengan memar merah, juga pergelangan tangannya yang penuh bekas luka sayatan.

Gadis di hadapanku ini tidak seperti gadis belasan tahun pada umumnya.

“Seratus delapan puluh delapan kali. Kau ingat?”

Tentu aku ingat. Sangat ingat.

“Itu sangat melelahkan,” desahnya, kemudian membaringkan diri di kasurku. Untuk beberapa lama dia bergeming di sana dengan napas naik turun teratur seolah tertidur.

“Apa maumu?”

Dia tak segera menjawab. Gadis itu hanya membuka mata dan menatap langit-langit kamarku. Ada ketenangan dalam sorot matanya, tapi aku tidak boleh tertipu. Aku kenal betul gadis ini; dia bukan gadis lemah hanya karena tubuhnya yang kurus kering. Terlebih karena sekarang dia memegang revolver yang entah dia dapat dari mana.

“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin tahu siapa yang begitu menginginkan kematianku.”

Keheningan muncul di antara kami. Gadis itu hanya duduk tenang di kasurku sembari memain-mainkan revolvernya seolah memperingatkanku untuk tetap diam. Apakah gadis itu akan membunuhku? Dia meraih sebuah sisir di nakas samping tempat tidurku dan mulai menyisir rambutnya yang kemerahan dan kusut. Gadis itu begitu tenang, tapi aku harus tetap waspada.

Setelah cukup lama menyisir rambut kusutnya gadis itu melempar sisirku sembarangan kemudian bangkit, berjalan mengitari kamarku yang sempit, kumuh dan lembap. Hanya ada sebuah jendela kecil dan tinggi di kamarku. Jendela itu tidak bisa disebut jendela karena tidak pernah dibuka, bahkan di siang hari nyaris tidak dapat mengantarkan sinar matahari. Kamar ini lebih mengerikan dibanding sel penjara. Lebih mengerikan dibanding bilik rumah sakit jiwa tempat gadis ini harusnya berada.

“Aku hampir tidak percaya, kau merencanakan semua kematianku di kamar ini. Kau tahu, itu semua sangat mengerikan.”

Aku tidak tahu bagaimana cara gadis itu muncul di hadapanku. Itu tidak mungkin terjadi, tapi gadis itu benar-benar berada di kamarku sekarang. Terakhir kali, aku membuatnya berjalan sangat jauh demi menemui Bintang Jatuh untuk memberinya kematian.

Tunggu!

Seketika aku menoleh padanya yang tengah tersenyum lebar padaku.

“Benar. Ini yang aku minta pada Bintang Jatuh.”

“Kau harusnya meminta kematianmu!”

“Kenapa aku harus mati?”

“Bukankah semua orang juga akan memilih kematian jika jadi kau?”

Gadis itu memilih tidak menjawab. Dia kembali berjalan mengelilingi kamarku, mengamati setiap benda yang dia temui hingga berhenti di depan kamar mandi. Gadis itu berdiri lama di sana, memandang entah apa yang ada di dalam kamar mandiku. Aku yakin hanya ada ember berisi air, sabun, sampo, pasta gigi dan sikat gigi di dalam sana. Aku tak tahu apa yang begitu menarik perhatiannya.

“Kau ingat, kau pernah merencanakan kematianku di kamar mandi dengan menenggelamkan diri.”

Tentu saja aku ingat. Seratus delapan puluh delapan rencana kematian untuk seorang gadis. Dan itu semua aku tulis dengan rapi. Namun, hingga saat ini belum ada yang berhasil. Gadis itu masih saja terus selamat.

“Jadi, kau merencanakan semua kematianku dari benda hitam itu?” Gadis itu menunjuk laptop di meja dengan dagunya.

Ah, harusnya aku menyimpan benda itu sedari tadi.

“Kau tahu, kematian seperti itu sangat menakutkan dan dingin.”

“Begitu juga dengan hidup.”

Gadis itu tertawa. Terbahak-bahak hingga aku takut dia akan tersedak dan mati. Oh, dia tidak boleh mati tanpa rencana dariku. Hanya aku yang boleh memberinya kematian. Aku ingat ketika pertama kali aku menulis tentang gadis ini; dia adalah gadis yang periang, seperti sekuntum bunga morning glory di pagi hari. Dia sangat bersinar dan dicintai semua orang. Membuatku iri. Kenapa ada seorang gadis yang begitu bahagia dalam hidupnya sedangkan aku tidak?

Namun, bukankah bintang yang meluncur jatuh jauh lebih indah dibanding bintang yang hanya berkedip di langit malam? Aku memberinya kesakitan pertama sama seperti yang aku alami. Pria-pria berbadan besar itu menyayat-nyayat gadis itu dari dalam; satu per satu dengan tawa yang mengerikan. Aku tahu betul bagaimana rasanya berteriak dengan sangat kencang hingga gendang telinga kita sendiri tidak dapat mendengar teriakan itu. Sepi, sunyi, sakit, dan dingin. Rasanya seperti berjalan di dalam lorong yang gelap dan lembap. Lalu tatapan orang-orang yang mengiba berubah menjadi menyudutkan.

Siapa yang salah? Orang-orang mulai mempertanyakan, sedangkan aku mulai jatuh pada keputusasaan; tenggelam dalam kesakitan. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang sakit? Dan kenapa harus aku yang minum obat-obatan? Kenapa orang-orang menatapku seperti akulah penjahatnya? Ayah, Ibu, saudara, teman-teman, ke mana mereka semua?

Seratus delapan puluh delapan rencana kematian yang aku tulis untuk gadis itu adalah keinginanku yang tidak pernah berani aku lakukan. Seratus delapan puluh delapan rencana kematian yang berhasil dia lalui untuk sampai di tempatku berdiri sekarang.

“Aku tidak mau lagi,” ucapnya.

“Kau pikir dunia akan baik padamu?”

“Aku bilang aku tidak mau lagi.” Gadis itu mengacungkan revolvernya ke arahku membuatku terkesiap.

“Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Aku yang menciptakanmu.”

“Seratus delapan puluh delapan rencana kematian yang kau berikan padaku, hanya karena kau tidak mampu berdamai dengan dirimu sendiri.”

“Jangan bicara seolah kau tahu apa yang aku rasakan!”

“Bukankah itu tujuanmu? Membagi rasa sakitmu padaku? Dan aku bilang, aku tidak mau lagi.”

“Kau adalah aku.”

“Ini yang aku minta pada Bintang Jatuh. Kematianmu.”

Matanya nyalang menatapku dengan ujung revolver tepat mengarah ke kepalaku. Berbarengan dengan suara ledakan aku merasakan sesuatu melesat melewati batok kepalaku. Aku melihat pria-pria berbadan besar dengan tawa mengerikan. Aku melihat orang-orang yang pergi meninggalkanku. Aku melihat seonggok daging hidup yang keluar melewati selangkanganku. Aku melihat bunga morning glory berwarna biru keunguan sebelum berubah menjadi merah darah. Dan gadis itu menatapku dengan kesedihan.

“Selamat tinggal, ****.”

Kamis, 27 Februari 2025

Tak Ada Apel Segar untuk Adikku Hari Ini

 


(telah tayang di basabasi.co edisi 1 November 2024)


Aku sangat benci adikku. Setiap hari, kerjaannya hanya menangis dan merengek tentang apa pun yang dia inginkan. Aku hanya diam dan sesekali menyuruhnya berhenti menangis, tapi aku lebih sering membiarkannya. Kalau bosan juga dia akan berhenti sendiri. Namun, kali ini aku benar-benar lelah untuk mendengar suara tangisan dan rengekannya. Badanku sudah remuk rasanya dan tak sanggup lagi meladeni Sari, adikku.

Sejak aku pulang dari memulung, dia merengek ingin buah apel. Sari memang memintaku untuk membawakan apel saat aku berangkat tadi pagi. Maka, aku memberinya dua butir apel yang kupungut di dekat tempat sampah di pasar.

Dia menolak, “Aku ingin apel segar yang berwarna merah!” Apel setengah busuk itu dilempar ke lantai rumah yang terbuat dari tanah hingga hancur.

Aku diam menatapnya. Dalam bayanganku, kini aku sedang menyeret tubuh kecil Sari ke belakang rumah kemudian menceburkannya ke dalam sumur. Air dingin di dalam sumur pasti bisa membuatnya sedikit waras sebelum tubuh kecil itu tenggelam karena Sari tak bisa berenang. Air akan berkecipak untuk beberapa saat hingga kemudian sunyi kembali menandakan Sari telah tewas di dalamnya. Aku tak perlu cemas dengan warga apalagi polisi karena tak akan ada yang menghiraukan kami. Gadis kecil yang hobi menangis dan meraung tiba-tiba menghilang malah akan membuat lingkungan kami damai.

“Aku ingin apel merah segar.” Sari terus merengek.

Aku tak mau meladeninya jadi aku beranjak ke sumur, bukan untuk menceburkan adikku, melainkan untuk mandi. Ketika aku kembali, Sari sudah tertidur sambil memeluk boneka lusuhnya, selusuh baju yang dia kenakan.

Pelan Sari mengigau dalam tidur. Dia memanggil-manggil Ibu yang sudah enam bulan ini menghilang. Sejujurnya aku kasihan pada Sari. Dia tak tahu apa-apa ketika Ibu pergi. Yang dia tahu hanya suatu hari nanti, Ibu akan kembali dengan membawakan segerobak apel merah segar untuknya, juga beberapa lembar baju yang sangat indah sama seperti milik teman-temannya.

“Ibu akan pulang dan aku tak akan membagi sebutir apel pun pada Kakak,” ucapnya sungguh-sungguh.

Saat itu, ingin kukatakan padanya bahwa Ibu tak akan pernah kembali apalagi membawa segerobak apel. Namun, melihat binar matanya kala membayangkan apel dan baju indah membuatku bungkam. Setidaknya, dengan harapan itu Sari bisa tertidur pulas di malam hari dan tak merengek terus padaku.

Aku tak berharap Ibu akan kembali. Malah aku berdoa semoga Ibu sudah ditangkap polisi karena hobi memaki dan memukulku. Aku sampai bosan dipukuli oleh Ibu. Dia memaki, menjambak, juga membenturkan kepalaku ke tembok. Aku berharap kepalaku ini terbuat dari baja jadi tak akan retak meski dibenturkan, tapi nyatanya kepalaku tetap berdarah. Dan walaupun kepalaku masih pusing—rasanya bumi berputar-putar—aku tetap harus memulung; mengumpulkan plastik dan kaleng bekas untuk mendapatkan beberapa receh uang. Aku juga harus memungut apel untuk Sari.

Selain suka memukul dan memaki, Ibu juga suka membawa lelaki masuk ke rumah kami di malam hari. Mereka biasanya langsung masuk kamar, sedangkan aku bertugas menjaga Sari agar tak menangis selama mereka di dalam kamar. Bisa gawat jika Sari menangis, Ibu tak akan segan menghukumku tanpa memedulikan bahwa menjaga seorang adik yang hobi menangis sangatlah sulit. Setidaknya, dalam sehari, Sari menangis hingga puluhan kali.

Ibu pergi sejak dua orang berbadan besar berkali-kali datang ke rumah kami. Ibu selalu sembunyi jika dua orang itu datang. Aku tak mengerti kenapa Ibu harus sembunyi, biasanya Ibu malah mengajak lelaki masuk ke kamar. Mungkin karena dua orang itu datang di siang hari. Aku ingin memberitahu mereka agar datang di malam hari saja, tapi Ibu malah memukulku.

Tak banyak yang Ibu bawa ketika pergi, hanya sebuah tas berisi beberapa potong baju, bedak, dan gincu. Sari menangis seperti biasa. Ibu bilang dia akan kembali dengan membawa apel segar juga baju yang bagus. Dia juga memperingatkanku agar selalu menjaga Sari, aku hanya mengangguk karena tak mau dipukul untuk terakhir kalinya. Ibu pergi dan tak kembali hingga sekarang.

“Hari ini harus apel segar.”  Sari merengek pagi ini sebelum aku berangkat memulung. Barusan aku menyuapinya dengan bubur yang aku buat dari nasi sisa pemberian tetangga kemarin. Aku jawab kalau hari ini pasti apel segar berwarna merah, bukan apel busuk. Dia tersenyum memamerkan gigi hitamnya padahal Sari jarang makan permen.

Aku tak menemukan apel yang cukup segar di tempat sampah pasar. Semuanya busuk nyaris tak bisa dimakan. Aku mengorek-ngorek lagi tempat sampah lebih dalam. Tetap tak ada. Aku bisa membayangkan bagaimana Sari meraung meminta apel segar nanti malam. Aku sudah berkali-kali berbohong padanya tentang apel merah segar dan kali ini aku harus membawanya atau dia tak akan membiarkanku tidur malam ini karena suara tangisnya.

Kakiku menyusuri lorong-lorong pasar berharap akan ada satu atau dua butir apel segar yang mungkin terjatuh dari ranjang belanja ibu-ibu atau ada penjual buah yang menjatuhkannya. Aku terus menyusuri pasar, hingga langkahku terhenti di depan kios buah. Tumpukan apel merah seolah melambai memanggilku.

“Bawa aku pulang.” Apel-apel segar itu berbisik padaku. “Satu atau dua butir tak akan jadi masalah.” Mereka terus memanggilku.

Benar, tak akan masalah jika aku mengambil satu atau dua butir karena di sana ada puluhan butir, si penjual tak akan rugi jika aku melakukanya. Sari pasti akan senang dan berhenti menangis untuk beberapa hari ke depan.

Kulangkahkan kaki mendekat pada tumpukan apel. Si penjual sedang sibuk dengan pembeli yang memborong jeruk. Ketika ujung jariku menyentuh apel merah itu aku tertegun untuk beberapa saat. Tumpukan apel itu mengingatkanku pada masa lalu.

Dulu saat aku masih kecil, ketika Ayah masih hidup dan Ibu masih suka memasak di rumah. Ayah menggandengku ke pasar, berdiri di depan kios buah seperti sekarang. Ayah bilang akan membeli beberapa butir apel hari itu. Namun, seorang laki-laki menabrak Ayah dan berteriak, “Ini dia jembretnya! Tangkap! Tangkap orang ini!” Sambil menunjuk-nunjuk Ayah yang kebingungan.

Belum sempat Ayah bangkit atau berpikir, sebuah bogem mentah mendarat di wajah Ayah diikuti pukulan dan tendangan membabi buta dari orang-orang. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi. Aku berteriak agar orang-orang berhenti memukuli Ayah, tapi tidak ada yang menggubris. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku hanya bisa berlari ke rumah sekencang mungkin untuk memberitahu Ibu.

Ketika kami tiba di pasar, semua sudah terlambat. Ayah sudah terbujur tanpa nyawa dengan luka di sekujur tubuh dan berlumuran darah. Aku nyaris tidak mengenali Ayah kecuali celana motif TNI yang sama dengan yang kukenakan. Ibu menangis, meraung di pemakaman Ayah dan sejak itu dia sering membawa lelaki ke rumah kami. Sari lahir setahun setelahnya.

Apel di hadapanku terus memanggil dan melambai. Aku menggeleng. Aku tak mau mati seperti Ayah. Akan tetapi, jika aku tak mengambilnya Sari pasti menangis. Aku sudah muak dengan tangisannya. Mungkin, nanti malam, jika dia menangis aku benar-benar akan menceburkannya ke dalam sumur. Aku lelah hidup sendiri dan menanggung seorang adik. Aku berpikir apa mungkin penjual buah ini akan mau memberiku satu butir apel cuma-cuma?

“Pak, boleh minta apelnya?” tanyaku.

“Pergi, pergi, jangan mengotori daganganku.” Penjual itu mengusirku.

Harusnya aku tahu kalau dia tak akan membagi satu butir apel pun padaku. Kecuali jika Tuhan turun langsung ke pasar dan menegurnya, mengatakan bahwa dia akan masuk neraka dengan api panas jika tak membantu seorang anak kecil yang kesusahan.

Namun, untuk apa juga Tuhan sibuk datang ke pasar kumuh ini untuk menegur penjual buah? Bahkan Tuhan tak pernah datang ketika aku dipukuli oleh Ibu. Bocah pemulung yang memungut apel di tempat sampah tak punya Tuhan. Maka, kuputuskan nanti malam aku benar-benar akan menceburkan adikku ke dalam sumur sekalian juga tubuhku. Aku sudah sangat lelah.

Aku pulang dengan membawa sebungkus nasi yang akan kami makan bersama. Sari sudah terlelap ketika aku pulang. Kubangunkan Sari agar makan terlebih dulu, tapi dia menanyakan soal apel segar.

“Di dalam sumur ada apel segar. Kita makan dulu setelah itu ke sana untuk mengambilnya.”

Dia mengangguk setuju dan mulai makan. Setelah makan kugandeng Sari ke belakang rumah. Sari kegirangan karena sebentar lagi akan mendapat apel yang dia inginkan.

“Kak, apa benar ada apel segar di dalam sumur?” tanya adikku sambil memeluk boneka kesayangannya.

Aku menatap Sari lama. Usianya baru lima tahun dan aku sebelah tahun. Anak-anak lain di malam hari seperti ini pasti sedang berkumpul dengan ayah dan ibu mereka, sedangkan kami hanya berdua tanpa orang tua. Anak-anak lain setiap pagi berangkat sekolah dengan malas, sedangkan aku harus memulung dan memungut apel busuk untuk adikku.

Aku menatap langit di atas sana; berharap Tuhan benar-benar ada dan melihat kami. Tak ada apel segar untuk adikku hari ini.