Aku sangat benci adikku. Setiap hari, kerjaannya hanya
menangis dan merengek tentang apa pun yang dia inginkan. Aku hanya diam dan
sesekali menyuruhnya berhenti menangis, tapi aku lebih sering membiarkannya.
Kalau bosan juga dia akan berhenti sendiri. Namun, kali ini aku benar-benar
lelah untuk mendengar suara tangisan dan rengekannya. Badanku sudah remuk
rasanya dan tak sanggup lagi meladeni Sari, adikku.
Sejak aku pulang dari memulung, dia merengek ingin buah apel.
Sari memang memintaku untuk membawakan apel saat aku berangkat tadi pagi. Maka,
aku memberinya dua butir apel yang kupungut di dekat tempat sampah di pasar.
Dia menolak, “Aku ingin apel segar yang berwarna merah!” Apel
setengah busuk itu dilempar ke lantai rumah yang terbuat dari tanah hingga
hancur.
Aku diam menatapnya. Dalam bayanganku, kini aku sedang
menyeret tubuh kecil Sari ke belakang rumah kemudian menceburkannya ke dalam
sumur. Air dingin di dalam sumur pasti bisa membuatnya sedikit waras sebelum
tubuh kecil itu tenggelam karena Sari tak bisa berenang. Air akan berkecipak
untuk beberapa saat hingga kemudian sunyi kembali menandakan Sari telah tewas
di dalamnya. Aku tak perlu cemas dengan warga apalagi polisi karena tak akan
ada yang menghiraukan kami. Gadis kecil yang hobi menangis dan meraung
tiba-tiba menghilang malah akan membuat lingkungan kami damai.
“Aku ingin apel merah segar.” Sari terus merengek.
Aku tak mau meladeninya jadi aku beranjak ke sumur, bukan
untuk menceburkan adikku, melainkan untuk mandi. Ketika aku kembali, Sari sudah
tertidur sambil memeluk boneka lusuhnya, selusuh baju yang dia kenakan.
Pelan Sari mengigau dalam tidur. Dia memanggil-manggil Ibu
yang sudah enam bulan ini menghilang. Sejujurnya aku kasihan pada Sari. Dia tak
tahu apa-apa ketika Ibu pergi. Yang dia tahu hanya suatu hari nanti, Ibu akan
kembali dengan membawakan segerobak apel merah segar untuknya, juga beberapa
lembar baju yang sangat indah sama seperti milik teman-temannya.
“Ibu akan pulang dan aku tak akan membagi sebutir apel pun
pada Kakak,” ucapnya sungguh-sungguh.
Saat itu, ingin kukatakan padanya bahwa Ibu tak akan pernah
kembali apalagi membawa segerobak apel. Namun, melihat binar matanya kala
membayangkan apel dan baju indah membuatku bungkam. Setidaknya, dengan harapan
itu Sari bisa tertidur pulas di malam hari dan tak merengek terus padaku.
Aku tak berharap Ibu akan kembali. Malah aku berdoa semoga
Ibu sudah ditangkap polisi karena hobi memaki dan memukulku. Aku sampai bosan
dipukuli oleh Ibu. Dia memaki, menjambak, juga membenturkan kepalaku ke tembok.
Aku berharap kepalaku ini terbuat dari baja jadi tak akan retak meski
dibenturkan, tapi nyatanya kepalaku tetap berdarah. Dan walaupun kepalaku masih
pusing—rasanya bumi berputar-putar—aku tetap harus memulung; mengumpulkan
plastik dan kaleng bekas untuk mendapatkan beberapa receh uang. Aku juga harus
memungut apel untuk Sari.
Selain suka memukul dan memaki, Ibu juga suka membawa lelaki
masuk ke rumah kami di malam hari. Mereka biasanya langsung masuk kamar,
sedangkan aku bertugas menjaga Sari agar tak menangis selama mereka di dalam
kamar. Bisa gawat jika Sari menangis, Ibu tak akan segan menghukumku tanpa
memedulikan bahwa menjaga seorang adik yang hobi menangis sangatlah sulit.
Setidaknya, dalam sehari, Sari menangis hingga puluhan kali.
Ibu pergi sejak dua orang berbadan besar berkali-kali datang
ke rumah kami. Ibu selalu sembunyi jika dua orang itu datang. Aku tak mengerti
kenapa Ibu harus sembunyi, biasanya Ibu malah mengajak lelaki masuk ke kamar.
Mungkin karena dua orang itu datang di siang hari. Aku ingin memberitahu mereka
agar datang di malam hari saja, tapi Ibu malah memukulku.
Tak banyak yang Ibu bawa ketika pergi, hanya sebuah tas
berisi beberapa potong baju, bedak, dan gincu. Sari menangis seperti biasa. Ibu
bilang dia akan kembali dengan membawa apel segar juga baju yang bagus. Dia
juga memperingatkanku agar selalu menjaga Sari, aku hanya mengangguk karena tak
mau dipukul untuk terakhir kalinya. Ibu pergi dan tak kembali hingga sekarang.
“Hari ini harus apel segar.”
Sari merengek pagi ini sebelum aku berangkat memulung. Barusan aku
menyuapinya dengan bubur yang aku buat dari nasi sisa pemberian tetangga
kemarin. Aku jawab kalau hari ini pasti apel segar berwarna merah, bukan apel
busuk. Dia tersenyum memamerkan gigi hitamnya padahal Sari jarang makan permen.
Aku tak menemukan apel yang cukup segar di tempat sampah
pasar. Semuanya busuk nyaris tak bisa dimakan. Aku mengorek-ngorek lagi tempat
sampah lebih dalam. Tetap tak ada. Aku bisa membayangkan bagaimana Sari meraung
meminta apel segar nanti malam. Aku sudah berkali-kali berbohong padanya
tentang apel merah segar dan kali ini aku harus membawanya atau dia tak akan
membiarkanku tidur malam ini karena suara tangisnya.
Kakiku menyusuri lorong-lorong pasar berharap akan ada satu
atau dua butir apel segar yang mungkin terjatuh dari ranjang belanja ibu-ibu
atau ada penjual buah yang menjatuhkannya. Aku terus menyusuri pasar, hingga
langkahku terhenti di depan kios buah. Tumpukan apel merah seolah melambai
memanggilku.
“Bawa aku pulang.” Apel-apel segar itu berbisik padaku. “Satu
atau dua butir tak akan jadi masalah.” Mereka terus memanggilku.
Benar, tak akan masalah jika aku mengambil satu atau dua
butir karena di sana ada puluhan butir, si penjual tak akan rugi jika aku
melakukanya. Sari pasti akan senang dan berhenti menangis untuk beberapa hari
ke depan.
Kulangkahkan kaki mendekat pada tumpukan apel. Si penjual
sedang sibuk dengan pembeli yang memborong jeruk. Ketika ujung jariku menyentuh
apel merah itu aku tertegun untuk beberapa saat. Tumpukan apel itu mengingatkanku
pada masa lalu.
Dulu saat aku masih kecil, ketika Ayah masih hidup dan Ibu
masih suka memasak di rumah. Ayah menggandengku ke pasar, berdiri di depan kios
buah seperti sekarang. Ayah bilang akan membeli beberapa butir apel hari itu.
Namun, seorang laki-laki menabrak Ayah dan berteriak, “Ini dia jembretnya!
Tangkap! Tangkap orang ini!” Sambil menunjuk-nunjuk Ayah yang kebingungan.
Belum sempat Ayah bangkit atau berpikir, sebuah bogem mentah
mendarat di wajah Ayah diikuti pukulan dan tendangan membabi buta dari
orang-orang. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi. Aku berteriak agar
orang-orang berhenti memukuli Ayah, tapi tidak ada yang menggubris. Aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan, maka aku hanya bisa berlari ke rumah sekencang
mungkin untuk memberitahu Ibu.
Ketika kami tiba di pasar, semua sudah terlambat. Ayah sudah
terbujur tanpa nyawa dengan luka di sekujur tubuh dan berlumuran darah. Aku
nyaris tidak mengenali Ayah kecuali celana motif TNI yang sama dengan yang
kukenakan. Ibu menangis, meraung di pemakaman Ayah dan sejak itu dia sering
membawa lelaki ke rumah kami. Sari lahir setahun setelahnya.
Apel di hadapanku terus memanggil dan melambai. Aku
menggeleng. Aku tak mau mati seperti Ayah. Akan tetapi, jika aku tak
mengambilnya Sari pasti menangis. Aku sudah muak dengan tangisannya. Mungkin,
nanti malam, jika dia menangis aku benar-benar akan menceburkannya ke dalam
sumur. Aku lelah hidup sendiri dan menanggung seorang adik. Aku berpikir apa
mungkin penjual buah ini akan mau memberiku satu butir apel cuma-cuma?
“Pak, boleh minta apelnya?” tanyaku.
“Pergi, pergi, jangan mengotori daganganku.” Penjual itu
mengusirku.
Harusnya aku tahu kalau dia tak akan membagi satu butir apel
pun padaku. Kecuali jika Tuhan turun langsung ke pasar dan menegurnya,
mengatakan bahwa dia akan masuk neraka dengan api panas jika tak membantu
seorang anak kecil yang kesusahan.
Namun, untuk apa juga Tuhan sibuk datang ke pasar kumuh ini
untuk menegur penjual buah? Bahkan Tuhan tak pernah datang ketika aku dipukuli
oleh Ibu. Bocah pemulung yang memungut apel di tempat sampah tak punya Tuhan.
Maka, kuputuskan nanti malam aku benar-benar akan menceburkan adikku ke dalam
sumur sekalian juga tubuhku. Aku sudah sangat lelah.
Aku pulang dengan membawa sebungkus nasi yang akan kami makan
bersama. Sari sudah terlelap ketika aku pulang. Kubangunkan Sari agar makan
terlebih dulu, tapi dia menanyakan soal apel segar.
“Di dalam sumur ada apel segar. Kita makan dulu setelah itu
ke sana untuk mengambilnya.”
Dia mengangguk setuju dan mulai makan. Setelah makan
kugandeng Sari ke belakang rumah. Sari kegirangan karena sebentar lagi akan
mendapat apel yang dia inginkan.
“Kak, apa benar ada apel segar di dalam sumur?” tanya adikku
sambil memeluk boneka kesayangannya.
Aku menatap Sari lama. Usianya baru lima tahun dan aku sebelah
tahun. Anak-anak lain di malam hari seperti ini pasti sedang berkumpul dengan
ayah dan ibu mereka, sedangkan kami hanya berdua tanpa orang tua. Anak-anak
lain setiap pagi berangkat sekolah dengan malas, sedangkan aku harus memulung dan
memungut apel busuk untuk adikku.
Aku menatap langit di atas sana; berharap Tuhan benar-benar
ada dan melihat kami. Tak ada apel segar untuk adikku hari ini.