(Pertama kali tayang di website Gogirl! edisi Sabtu, 12 Agustus 2017)
Aku
tahu kamu berdebar-debar sekarang dan merasa gugup. Sejujurnya, aku pun
merasakan hal yang sama. Kita bertiga—aku, pacarku dan kamu—sedang membuat
mading sebagai tugas Bahasa Indonesia. Aku tahu kamu pasti sebenarnya tak ingin
satu kelompok dengan kami. Harusnya salah satu di antara aku atau pacarku saja.
Namun, apa boleh buat? Pembagian kelompok berdasarkan nomor absen sudah
ditentukan oleh guru kita yang mirip Adolf Hitler. Absenmu di atasku sedangkan Maya,
pacarku, berada di bawahku. Jadilah kita satu kelompok dalam kecanggungan.
“Kita
tentukan temanya dulu,” ucap Maya dengan semangat, kamu masih terdiam canggung.
“Bagaimana denganmu, Sayang? Ada masukan untuk tema?” tanya Maya padaku.
“B-bagaimana
kalau tentang sepak bola?” jawabku tergagap.
“Jangan,
ah. Tiap hari bahas sepak bola terus memang kamu tidak bosan sampai mading juga
temanya sepak bola?” Maya memanyunkan bibirnya yang dihiasi lipgloss natural membuatku gemas
melihatnya. “Kalau Nora? Ada usulan untuk tema?”
Kamu
terkesiap dari lamunan, sejenak menatap Maya bingung sebelum akhirnya tersenyum
memamerkan deretan gigi yang putih.
“Cinta
segitiga?” Kata-kata itu meluncur dari bibirmu seolah memojokanku. Hening
sesaat. Atmosfer aneh tiba-tiba menyelimuti kita bertiga.
“Cinta
segitiga? Pengalaman pribadi ya?” Maya tertawa, kita berdua mematung seperti
maling ayam yang digerebek warga. “Tapi boleh juga, pasti keren! Nora memang
pintar, pantas ranking satu terus.”
Kau
tersenyum canggung menanggapi pujian dari Maya. Sekilas kamu menatapku yang
kusambut dengan senyum tipis. Andai kamu tahu, sejujurnya saat ini aku ingin
mengusap rambutmu dan berbisik, “Tak apa, bersabarlah, Sayang.”
***
Kamu
sudah tidur? Tanyaku lewat pesan sebuah aplikasi chat. Beberapa menit kemudian muncul balasan darimu bahwa kamu
sedang membaca novel sekarang. Itu adalah hobimu selain menulis cerpen dan
membuat kue. Kamu gadis yang terbilang pendiam, lebih senang melakukan apapun
sendiri, tapi menjadi siswi paling cerdas di kelas. Rankingmu selalu pertama
dan menjadi andalan semua anak-anak di kelas untuk urusan contekan. Sayangnya,
kamu menutup hati untuk siapapun.
Tiga
bulan yang lalu untuk pertama kalinya kita mulai berkirim pesan. Maya cemberut dan
mendiamkanku sejak pulang ekstrakurikuler paduan suara bersamamu dan beberapa
teman lain. Aku paling tidak tahan jika Maya cemberut seperti itu, maka aku
iseng bertanya padamu tentang apa yang terjadi. Maya ditegur tutor karena
berkali-kali salah nada, kamu menjelaskan alasan Maya cemberut. Aku mengerti
dan sejak itu kita sering berkirim pesan. Mulai dari pesan biasa membahas soal
sekolah, kemudian menjadi pesan yang lebih pribadi tentang hobi, keluarga,
pacar dan berlanjut menjadi pesan yang lebih intim tentang perasaan masing-masing.
Aku
dan kamu tidak tahu sejak kapan tepatnya kita mulai menjalin hubungan
selayaknya kekasih meski tak ada orang yang tahu. Setiap malam, setelah
mengucapkan selamat malam untuk Maya, aku akan mengirim pesan untukmu. Melebur
rindu karena seharian nyaris tak bisa menyapamu. Sudah tidur? Apa yang sedang
kamu lakukan sekarang? Buku apa yang sedang kamu baca? Apa rencanamu besok
pagi? Apa harimu menyenangkan di sekolah hari ini? Apa ada yang mengganggumu? Jangan
kecapean, istirahat yang cukup. Tidurlah, mimpi indah, Sayang. Itu adalah
percakapan yang selalu hadir di malam-malam kita untuk esok hari aku hapus
bersih tanpa meninggalkan jejak apalagi membuat Maya curiga.
Tanpa
terasa, tiga bulan berlalu dalam cinta yang bisu. Rasa cemburu jelas ada ketika
melihatmu didekati siswa lain dan tentu kamu boleh cemburu melihat kemesraanku
bersama Maya. Kamu cemburu? Suatu malam aku bertanya karena siangnya aku
mencium kening Maya di depan kelas karena paksaan dari anak-anak yang merayakan
ulang tahun Maya. Kata teman-teman sekolah, aku dan Maya adalah pasangan yang
serasi. Dan aku tak bisa menolak paksaan mereka ketika Maya sendiri tidak
keberatan. Aku lihat kamu diam dengan ekspresi datar menatapku saat itu.
Tidak,
kenapa harus cemburu? Kamu bertanya diikuti emot senyum membuatku semakin merasa
bersalah. Akan lebih baik jika kamu menjawab bahwa kamu cemburu, marah dan
sakit hati. Bukankah cemburu adalah tanda cinta? Ataukah cintamu mulai meragu
karena status yang tidak jelas? Maaf. Hanya itu yang bisa aku tulis untukmu.
Maaf, karena aku belum bisa mengatakan pada yang lain bahwa kita saling
memiliki. Maaf, karena aku harus menyembunyikanku. Maaf, karena aku terus
menyakitimu. Maaf. Kamu tak membalasnya, mungkin kamu sudah tertidur atau
mungkin juga kamu menangis. Menangisi cinta kita, menangisi status kita.
Hari
ini, Maya sakit, sepulang sekolah wajahnya pucat karena datang bulan hari
pertama padahal malamnya kami berniat nonton film. Tiket bioskop sudah di
tangan, tapi Maya bahkan tak bisa bangun dari tempat tidur. Aku memberanikan
diri mengajakmu.
“Ayo
kita nonton!” Kamu kaget karena tiba-tiba aku muncul di depan pintu rumahmu. Kamu
berpikir sejenak dan dengan senyuman kamu mengangguk setuju. Untuk pertama
kalinya aku menggandeng tanganmu ketika memasuki bioskop.
“Kamu
dingin?” tanyaku yang merasakan tanganmu yang sedingin es.
“Aku
gugup,” ucapmu, membuatku tak bisa menahan diri untuk mengusap rambut
panjangmu. Kita seperti kekasih pada umumnya. Nonton film, bergandengan tangan,
tertawa bersama dan melihat pemandangan kota malam hari.
Aku
senang. Terima kasih untuk hari ini. Kamu mengirimiku pesan sebelum tidur
sedangkan aku harus menelepon Maya untuk menanyakan kabar.
Sudah
dua minggu ini aku tak lagi mengirimimu pesan. Aku berhenti total, tak ada
ucapan selamat malam atau sekadar basa-basi menanyakan novel apa yang kamu
baca. Di sekolah aku tak acuh padamu. Bahkan sekadar melirikmu pun tak aku
lakukan. Kita seperti dua orang beda alam. Aku tak peduli karena rencanaku
sudah berhasil.
“Sayang,
aku ranking satu!” seru Maya memamerkan hasil ujian akhir semesternya. Aku
tersenyum kemudian menatapmu. Ternyata mudah mengacaukan konsentrasi si ranking
satu. Cukup buat kamu jatuh cinta dan tinggalkan tepat sehari sebelum ujian
akhir.
Maya
ingin mendapat ranking satu di kelas, tapi kamu terlalu cerdas untuk ia
kalahkan. Tidak apa-apa bukan, sekali-kali menjadi yang kedua? Karena bahkan
selama tiga bulan ini kamu menjadi orang ketiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar