(Telah dimuat di Rubrik Budaya Harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 15 Maret 2024)
Istriku
ngedumel sore ini ketika aku baru
saja pulang kerja. Dia bercerita tentang tetangga kami yang menurutnya pelit
minta ampun.
“Rambutan
di depan rumahnya itu berbuah lebat. Harusnya sebagai tetangga, dia beri
beberapa tangkai buat kita. Daun rambutannya saja sering jatuh ke halaman rumah
kita, masak rambutannya tidak
pernah sampai?” Istriku bicara panjang lebar tentang rambutan dan tetangga
kami, sedangkan aku yang sedang kecapaian seusai ngantor hanya bisa mengangguk tidak bersemangat.
“Jangan
keras-keras bicaranya, nanti kedengaran.”
“Biar
saja. Biar mereka dengar.”
Tetangga
kami adalah sepasang suami-istri dengan seorang anak sama seperti keluargaku.
Kami pun menempati rumah di kompleks perumahan ini hampir bersamaan. Mereka
datang hanya selang beberapa hari setelah keluargaku pindahan dan istriku
merasa lebih senior daripada istri tetangga kami. Mungkin itu penyakit ibu-ibu
kompleks? Awalnya, aku tidak masalah ketika istriku selalu iri jika rumah
sebelah membeli sesuatu seperti AC atau kulkas baru. Namun, masalah rambutan
ini sudah berlebihan menurutku.
“Kamu
ingin rambutan? Besok Mas belikan sepulang kerja.” Untuk memenuhi rasa irinya
saja aku bersedia membeli AC atau kulkas baru, tentu tidak jadi soal
membelikannya sekarung rambutan agar istriku puas bahkan sampai kembung makan
rambutan.
“Bukan
itu masalahnya. Ini soal adab bertetangga, Mas.” Istriku tetap tidak terima.
“Memangnya
kamu pernah memberi mereka kelengkeng kalau pohon kelengkeng kita berbuah?
Tidak, kan? Coba kamu duluan, pasti mereka akan membalas kebaikanmu. Itu baru
namanya adab bertetangga.”
“Kita
lebih senior di komplek ini, jadi harus mereka duluan yang memberi. Bukan
kita.”
Aku
angkat tangan menasihati istriku. Padahal istriku bukan wanita yang suka
mencari gara-gara dengan warga lain di kompleks kami, tetapi entah mengapa
masalah buah rambutan ini begitu sensitif untuknya, apalagi untuk beberapa
bulan belakangan ini. Mungkin itu bawaan orok karena istriku sedang hamil muda,
anak kedua kami. Ibu hamil biasanya minta yang aneh-aneh. Masih untung dia
tidak memintaku makan durian seperti saat hamil anak pertama. Bisa mabuk durian
aku kalau menuruti keinginannya.
***
Sore
ini tidak ada ocehan istriku tentang tetangga kami. Dia menyambutku dengan
wajah semringah, kemudian membawakan tas kerjaku ke kamar. Ketika aku beranjak
ke kamar mandi, kulihat seikat rambutan di meja dapur. Itu pasti dari tetangga
kami.
“Tadi
si Sri ke sini bawa rambutan,” ucap istriku sambil menyiapkan makan malam kami.
Semangkuk rambutan yang telah terkupas juga menghiasi meja makan sebagai
pencuci mulut. “Ternyata tetangga kita itu tidak pelit-pelit amat, sepertinya
mereka sudah sadar siapa yang lebih senior di kompleks ini.”
Aku
hanya mengganguk sambil tersenyum simpul menanggapi perkataan istriku. Dia
tidak tahu kalau tadi pagi, ketika dia sedang membeli bubur ayam untuk sarapan,
aku bersama anak kami memetik beberapa biji tangkai kelengkeng kemudian
memberikannya pada Sri, tetangga kami. Istriku tidak perlu tahu. Dia hanya
perlu merasa bahwa harga dirinya sebagai senior di kompleks ini tetap terjaga.
“Besok,
aku akan membawakan mereka beberapa tangkai kelengkeng sebagai balasan.”
Perasaanku
mulai tidak enak. “Tidak perlu,” sergahku.
“Kok,
tidak perlu? Itu namanya pelit. Tidak boleh pelit sama tetangga, Mas.”
Sepertinya
masalah baru akan muncul setelah ini. Aku tersenyum kecut sambil melahap
rambutan yang ternyata asam di hadapanku.