Laman

Selasa, 07 Mei 2024

Rambutan dan Kelengkeng

 

(Telah dimuat di Rubrik Budaya Harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 15 Maret 2024)


Istriku ngedumel sore ini ketika aku baru saja pulang kerja. Dia bercerita tentang tetangga kami yang menurutnya pelit minta ampun.

“Rambutan di depan rumahnya itu berbuah lebat. Harusnya sebagai tetangga, dia beri beberapa tangkai buat kita. Daun rambutannya saja sering jatuh ke halaman rumah kita, masak rambutannya tidak pernah sampai?” Istriku bicara panjang lebar tentang rambutan dan tetangga kami, sedangkan aku yang sedang kecapaian seusai ngantor hanya bisa mengangguk tidak bersemangat.

“Jangan keras-keras bicaranya, nanti kedengaran.”

“Biar saja. Biar mereka dengar.”

Tetangga kami adalah sepasang suami-istri dengan seorang anak sama seperti keluargaku. Kami pun menempati rumah di kompleks perumahan ini hampir bersamaan. Mereka datang hanya selang beberapa hari setelah keluargaku pindahan dan istriku merasa lebih senior daripada istri tetangga kami. Mungkin itu penyakit ibu-ibu kompleks? Awalnya, aku tidak masalah ketika istriku selalu iri jika rumah sebelah membeli sesuatu seperti AC atau kulkas baru. Namun, masalah rambutan ini sudah berlebihan menurutku.

“Kamu ingin rambutan? Besok Mas belikan sepulang kerja.” Untuk memenuhi rasa irinya saja aku bersedia membeli AC atau kulkas baru, tentu tidak jadi soal membelikannya sekarung rambutan agar istriku puas bahkan sampai kembung makan rambutan.

“Bukan itu masalahnya. Ini soal adab bertetangga, Mas.” Istriku tetap tidak terima.

“Memangnya kamu pernah memberi mereka kelengkeng kalau pohon kelengkeng kita berbuah? Tidak, kan? Coba kamu duluan, pasti mereka akan membalas kebaikanmu. Itu baru namanya adab bertetangga.”

“Kita lebih senior di komplek ini, jadi harus mereka duluan yang memberi. Bukan kita.”

Aku angkat tangan menasihati istriku. Padahal istriku bukan wanita yang suka mencari gara-gara dengan warga lain di kompleks kami, tetapi entah mengapa masalah buah rambutan ini begitu sensitif untuknya, apalagi untuk beberapa bulan belakangan ini. Mungkin itu bawaan orok karena istriku sedang hamil muda, anak kedua kami. Ibu hamil biasanya minta yang aneh-aneh. Masih untung dia tidak memintaku makan durian seperti saat hamil anak pertama. Bisa mabuk durian aku kalau menuruti keinginannya.

***

Sore ini tidak ada ocehan istriku tentang tetangga kami. Dia menyambutku dengan wajah semringah, kemudian membawakan tas kerjaku ke kamar. Ketika aku beranjak ke kamar mandi, kulihat seikat rambutan di meja dapur. Itu pasti dari tetangga kami.

“Tadi si Sri ke sini bawa rambutan,” ucap istriku sambil menyiapkan makan malam kami. Semangkuk rambutan yang telah terkupas juga menghiasi meja makan sebagai pencuci mulut. “Ternyata tetangga kita itu tidak pelit-pelit amat, sepertinya mereka sudah sadar siapa yang lebih senior di kompleks ini.”

Aku hanya mengganguk sambil tersenyum simpul menanggapi perkataan istriku. Dia tidak tahu kalau tadi pagi, ketika dia sedang membeli bubur ayam untuk sarapan, aku bersama anak kami memetik beberapa biji tangkai kelengkeng kemudian memberikannya pada Sri, tetangga kami. Istriku tidak perlu tahu. Dia hanya perlu merasa bahwa harga dirinya sebagai senior di kompleks ini tetap terjaga.

“Besok, aku akan membawakan mereka beberapa tangkai kelengkeng sebagai balasan.”

Perasaanku mulai tidak enak. “Tidak perlu,” sergahku.

“Kok, tidak perlu? Itu namanya pelit. Tidak boleh pelit sama tetangga, Mas.”

Sepertinya masalah baru akan muncul setelah ini. Aku tersenyum kecut sambil melahap rambutan yang ternyata asam di hadapanku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar