(Pertama kali tayang di Nominaidekarya.com edisi 28 Agustus 2023)
Aku sedang
bersiap dengan alat pancingku ketika melihat perempuan itu duduk sendirian di
antara bebatuan karang agak menjauh dari dermaga. Aku tak berniat mengganggunya
atau pun mengusik kegiatannya. Tempat ini adalah tempat di mana aku biasa
menghabiskan waktu dengan memancing dan perempuan itu bebas berada di sana
karena ini adalah tempat umum bagi siapa saja. Namun, ketika perempuan itu
mulai terisak—bercampur dengan deru ombak sehingga aku tidak begitu menyadari
sebelumnya—aku mulai menoleh padanya. Ada apa? Kenapa perempuan itu tiba-tiba
menangis? Aku menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapa pun selain
kami berdua di tempat ini. Orang-orang lebih memilih dermaga untuk memancing.
Dan aku tak yakin apakah aku harus menanyakan keadaan perempuan itu dalam
situasi seperti ini.
Tentu itu
sebetulnya bukan urusanku. Setiap orang punya urusannya sendiri-sendiri di
tempat ini, seperti aku yang hanya ingin memancing sebagai hobiku untuk mengisi
waktu luang di sore hari. Ketika aku mulai melempar umpanku yang pertama kali,
isakan dari perempuan itu semakin terdengar seolah dia ingin aku bertanya ada
apa; seolah ingin aku memperhatikannya.
Ah, itu bukan
urusanku, begitu kuyakinkan diri. Namun, ketika melihat wajahnya yang sembab
dan air mata yang menderas, aku teringat pada mendiang anak perempuanku; hatiku
luluh. Anggaplah perempuan itu memang sedang butuh kawan sekarang. Kutarik
pancingku sebelum melangkah pada perempuan itu.
“Kau juga suka
melihat ombak di sore hari?” tanyaku membuatnya tersentak seolah sedari tadi
dia tidak menyadari keberadaanku, padahal dia yang menarik perhatianku dengan
isakannya.
Perempuan itu
tak menjawab. Dia hanya menyeka ingus dan air matanya dengan ujung lengan
sweter sebelum kembali terisak dengan gigil di tubuhnya. Anak perempuanku pasti
seumuran dengannya jika masih hidup. Dulu aku terbiasa menghadapi anak
perempuanku jika tengah merajuk atau pun bersedih.
“Kau bisa
bercerita apa saja pada ombak. Dia pintar menjaga rahasia.”
“Itu bukan
urusanmu, Pak Tua!”
Aku terkekeh
mendengarnya. Pak tua. Ya, itu memang panggilan yang pantas untukku karena uban
yang begitu lebat di kepala. Aku duduk beberapa langkah darinya sembari memakai
topi kesayanganku untuk menutupi uban yang sudah keburu ketahuan oleh perempuan
itu.
“Enam puluh lima
tahun memang sudah cukup tua untuk hidup di dunia ini. Mungkin sebentar lagi
aku akan selesai.”
Perempuan itu
tidak lagi bersuara. Kebisuan hadir di antara kami. Mungkin harusnya aku
membiarkannya sendiri, tapi lagi-lagi aku teringat mendiang Mei, anak
perempuanku. Angin pantai yang begitu kuat nyaris menerbangkan topiku. Beberapa
tahun yang lalu, aku dan Mei sering menghabiskan waktu di sini. Aku memancing,
sedangkan dia hanya duduk memperhatikanku sambil bercerita tentang sekolahnya,
tentang teman-temannya dan ketika aku berhasil menangkap seekor ikan maka Mei
akan berjingkrak dengan riang seolah itu adalah ikan yang akan menjadi makan
malam yang paling dia nantikan.
Aku tersenyum
mengingatnya. Andai Mei masih hidup. Mendadak hatiku diserang lara.
“Aku berencana
untuk mati hari ini.” Perempuan itu tiba-tiba bersuara, mengaburkan ingatanku
tentang Mei.
Kembali angin
menderu dengan kencang, kali ini menerbangkan helaian rambut panjang perempuan
itu. Dia tidak menghiraukan rambut panjangnya yang terbawa angin, sedangkan aku
masih terpaku di tempatku; kehilangan kata-kata. Berencana untuk mati?
Maksudnya bunuh diri? Itu kata-kata yang asing, tetapi juga sangat familier
bagiku.
“Pasti akan
lebih baik bagi keluargaku jika aku mati, bukan?” Kali ini perempuan itu
menoleh padaku. Bibirnya membentuk senyum yang dipaksa, sedangkan matanya merah
karena terus dipaksa mengeluarkan air mata.
“Tidak ada yang
baik dalam sebuah kematian, apalagi yang direncana.” Kata-kata itu lolos begitu
saja dari mulutku. Andai saja bisa aku ingin mengatakan kata-kata itu pula pada
Mei.
“Aku tidak tahu
bagaimana menghadapi dunia dengan keadaanku sekarang.”
“Apa kau punya
teman?”
“Bahkan teman
yang paling karib pun pergi meninggalkanku.”
“Tapi keluarga
tidak akan pergi meninggalkanmu.”
Perempuan itu
kembali terisak. Kali ini dia memeluk kedua lutut untuk menenggelamkan
kepalanya, membuatku tidak lagi bisa melihat wajahnya yang ayu.
“Aku tidak kuat
lagi menghadapi semua ini.” isaknya begitu pilu.
Angin kembali
menyeret-nyeret ingatanku tentang Mei. Belasan tahun lalu menjadi hari paling
memilukan dalam hidupku. Aku mendapat sebuah telepon, deringnya terasa begitu
aneh bagiku, padahal setiap hari aku mendengar dering yang sama setiap kali
mendapat panggilan telepon. Namun, hari itu ada yang aneh dengan deringnya. Dan
ketika aku mengangkat telepon itu, suara di ujung sana mengatakan anak
perempuanku ada di rumah sakit, kecelakaan katanya. Tidak, kau bohong, begitu
kataku. Ketika aku sampai di rumah sakit, aku bahkan tidak bisa mengenali putri
semata wayangku.
Sehari kemudian
Mei dimakamkan dengan semua air mata yang keluarga kami punya. Putriku
satu-satunya, orang yang paling aku sayang di dunia ini pergi meninggalkan
kami. Istriku pingsan beberapa kali dan aku tidak tahu harus bagaimana
menggambarkan kesedihanku. Rasanya kebahagiaan telah dicabut dari keluargaku.
Mentari keluargaku telah pergi untuk selamanya. Setelahnya hanya ada kemuraman
di rumah kami, meski kemudian aku dan istri bisa kembali menata kehidupan. Kami
bangkit dari kesedihan, walaupun aku tidak pernah bercerita pada istriku
tentang pesan terakhir yang Mei kirim padaku. Sebuah permohonan maaf dan ucapan
selamat tinggal yang tidak bisa aku pahami maksudnya.
“Aku telah
mengucapkan selamat tinggal pada ayah ibuku hari ini.” Perempuan itu telah
menegakkan kembali tubuhnya. Matanya menatap jauh pada lautan yang luas di
depan sana. Rambutnya yang panjang kini dia ikat menjadi satu; menampakkan
lehernya yang jenjang.
Kapal-kapal
kecil penangkap ikan mulai melaut dan menjauh dari pandangan; semakin jauh dan
semakin kecil. Aku ingat impianku bersama Mei, kami ingin naik kapal pesiar
suatu hari nanti. Sebuah kapal yang amat besar dengan fasilitas seperti hotel
bintang lima, begitu katanya. Namun, yang terjadi Mei menaiki kapalnya sendiri
dan meninggalkan kami dengan sebuah permohonan maaf dan selamat tinggal yang
ganjil.
Apa yang terjadi
pada Mei? Apa yang membuatnya menyerah pada hidupnya yang masih panjang. Aku
ingat sehari sebelumnya dia bercerita tentang impian untuk melanjutkan sekolah
ke luar negeri. Mei ingin membuat Ayah bangga, begitu katanya. Aku masih tidak
mengerti, bagaimanapun aku memikirkannya.
“Tapi itu bukan
selamat tinggal seperti yang dibayangkan orangtuamu.” Kali ini aku mendebat.
Bagaimana pun perempuan ini telah mengatakan rencananya untuk mati hari ini dan
aku tidak bisa membiarkannya. Setidaknya jika aku tidak bisa menyelamatkan Mei,
aku bisa menyelamatkan perempuan ini.
“Mereka bahkan
tidak akan memusingkan tentang kematianku.” Kali ini perempuan itu membiarkanku
melihat wajah yang sembap. Kepiluan yang menyanyat-nyayat hati. Rasa putus asa
yang sudah tidak lagi berujung. Dan di sana hanya ada kegelapan.
Di awal-awal
tahun kepergian Mei, aku memikirkan dengan keras apa alasannya meninggalkan
kami. Apa yang tengah dialami seorang Mei dan tidak pernah dia ceritakan padaku
atau pun ibunya, sedangkan sejak kecil tidak pernah ada satu cerita pun yang
luput dia cerita pada kami. Apa yang Mei rahasiakan? Apa yang membuatnya nekat
melompat ke rel tepat ketika kereta itu datang. Aku sama sekali tidak punya
petunjuk.
“Apa yang
terjadi?” desisku memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada putriku.
Pertanyaan yang selama ini hanya sampai pada angan-anganku karena aku tidak mau
membuat istriku sedih dengan memikirkan kematian putri kami.
“Suara-suara
dalam kepalaku begitu gaduh dan tidak ada lagi tempat yang bisa aku tuju, Pak
Tua. Aku takut sendirian, tapi nyatanya aku memang sendirian.”
Mungkin
perempuan ini memang tidak lagi punya alasan untuk hidupnya; entah sekadar
sebuah alasan kecil untuk melanjutkan hidup seperti keluarga. Akan tetapi, Mei
adalah seorang anak yang aku besarkan dalam kehangatan keluarga. Semua kasih
sayang tercurah hanya untuknya. Mei dan perempuan di sampingku ini jelas
berbeda.
“Kau bisa
bercerita apa pun padaku,” terdengar seperti sebuah gombalan laki-laki hidung
belang.
Perempuan itu
hanya tersenyum sayu. Anak-anak rambutnya beterbangan menyapu wajahnya.
“Bisakah kau
bertahan sebentar lagi, setidaknya untuk hal-hal kecil seperti aku menunggu
ikan memakan kailku?”
Hening. Baik aku
maupun perempuan itu hanya larut pada pikiran masing-masing. Kami diam
memandang senja yang semakin turun hingga hari mulai menjadi gelap tanpa kami
rasa.
“Bukankah putrimu
juga meninggalkanmu, Pak Tua?”
Aku tidak tahu
bagaimana perempuan itu tahu tentang putriku. Aku masih tergagap hendak
bertanya ketika perempuan itu berdiri, bersiap untuk pergi.
“Aku tidak ingin
mati di hadapan orang yang mendengar kisahku. Aku akan tetap mati hari ini
seperti yang telah aku rencanakan.” Perempuan itu mulai melangkah. Ujung
sweternya berkibar tertiup angin yang kencang menampilkan perutnya yang
membuncit. Itu sekitar lima atau enam bulan, bukan? Aku tahu karena dulu aku
selalu memperhatikan kehamilan istriku.
“Tunggu, siapa namamu?”
“Mei. Namaku Mei.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar