Kau sedang
mencukur bulu kelamuanmu ketika Ben, suamimu, berteriak bahwa seekor bangau
tong-tong telah membawakan seorang bayi untuk kalian. Kau yang tengah sibuk
dengan kegiatanmu di kamar mandi hanya berdecak hingga Ben membuka kamar mandi
dan menunjukkan bayi merah itu ke hadapanmu.
“Seekor bangau
tong-tong yang membawakannya untuk kita! Ini pasti bayi dari surga yang Tuhan
kirim untuk kita, Sayang!”
Kau hanya
menatap bayi merah yang menggeliat di dalam gendongan Ben dengan tatapan tak
mengerti. Bayi dari surga? Bangau tong-tong? Suamimu pasti sudah mulai gila.
Ben selalu
menginginkan seorang bayi, terlebih setelah enam tahun pernikahan kalian.
Namun, sejak awal pernikahan kau tak pernah menginginkan kehadiran makhluk yang
harus lahir dari tubuhmu itu. Bayi hanya pembuat onar, begitu katamu, tapi Ben
tidak pernah menanggapi penolakanmu. Aku yang akan mengandung dan
melahirkannya, begitu katamu, tapi Ben tetap bersikukuh dengan mengatakan bahwa
sudah sewajarnya dalam sebuah pernikahan lahir seorang anak, seorang penerus
keluarga. Lalu kalian bercinta malam harinya setelah sebelumnya kau menelan pil
yang akan mencegahmu bunting tanpa sepengetahuan Ben.
“Benar cerita
ibuku tentang bangau yang membawa bayi dari surga.” Ben terus berbicara tentang
bayi dan bangau.
Kembali kau
menatap bayi merah dalam gendongan Ben yang terus menggeliat membuatmu geli.
“Ben, kau tahu, bukan,
itu hanya cerita masa kecilmu? Seekor bangau tidak mungkin membawa bayi apalagi
dari surga.”
“Tapi bayi ini
benar-benar dibawa oleh seekor bangau barusan. Bangau itu melemparkannya tepat
ke arahku. Tuhan telah menjawab doa kita, Sayang.”
Kau Kembali berdecak,
mungkin maksud Ben adalah doanya sendiri karena kau tidak pernah berdoa meminta
seorang anak. Anak—khususnya bayi—hanyalah sumber keonaran dalam sebuah rumah.
Dan kau yang menyukai keteraturan tidak mengharapkan kehadirannya.
Ben tidak peduli
dengan kekesalanmu. Suamimu terlalu senang dengan kehadiran bayi—yang dia sebut
hadiah dari surga—di gendongannya. Dia membawa bayi itu ke kamar kalian sambil
berseloroh tentang nama yang cocok untuk bayi itu.
“Bagaimana kalau
Lisa? Nama itu sangat populer beberapa tahun ini. Atau bagaimana kalau Andin?
Nama itu sangat populer. Ah, tidak, nama anak kita haruslah spesial dan tidak
ada yang menyamai.”
Kau masih saja
diam ketika Ben meletakkan bayi itu ke ranjang kalian dan detik berikutnya bayi
itu mengompol disertai tangis yang memekakkan telinga. Keonaran pertama dalam
rumahmu karena kehadiran seorang bayi.
“Sayang, lakukan
sesuatu, bayi kita menangis.”
Kau hanya
menggeleng pelan tak menghiraukan kepanikan Ben. Kau bahkan tak tahu dari mana
sebenarnya bayi itu berasal. Seekor bangau tong-tong tidak mungkin membawanya
dari surga seperti yang Ben katakan. Itu hanya dongeng masa kecil.
Kau mulai
berpikir tentang teman sekantor Ben yang seksi yang terang-terangan menggoda
suamimu itu. Mungkin saja mereka telah bermain di belakangmu dan kini bayi
hasil hubungan gelap mereka dibawa ke rumah kalian; bangau tong-tong hanya
bualan Ben semata. Meski kau ragu dengan pikiranmu sendiri. Kau tahu Ben sangat
mencintaimu. Sangat. Dan kau tahu suamimu itu tidak akan pernah mengkhianatimu.
“Namanya Yara,
artinya kupu-kupu kecil. Cantik, bukan?” Ben masih saja sibuk memikirkan nama
bayi yang entah berasal dari mana itu, sedangkan kau, dalam otakmu penuh dengan
kemungkinan dari mana sebenarnya bayi itu berasal.
“Katakan, wanita
mana yang sudah kauhamili hingga bayi itu lahir?” Kau tak lagi bisa membendung
rasa penasaranmu; yang pasti seekor bangau tidak mungkin menjadi jawaban atas
hadirnya bayi yang sejak sore tadi hingga malam entah sudah menangis berapa puluh
kali. Kini bayi itu bersama seorang pengasuh yang secara mendadak harus kau
sewa karena kau tidak mau terus mendengar suara tangisannya apalagi mengganti
popoknya yang basah, sedangkan Ben yang sejak pernikahan kalian menginginkan
seorang bayi hanya bisa panik setiap kali bayi itu menangis atau mengompol.
“Wanita apa?
Hanya kau satu-satunya wanita yang aku punya.”
“Ben, seekor
bangau tidak mungkin membawa bayi itu dari surga, apalagi diberikan pada sebuah
keluarga. Itu hanya dongeng.” Kau memijit pelan pelipismu yang terasa pening.
Suamimu mengacak
rambutnya karena frustrasi, tapi kau jelas lebih frustrasi dalam hal ini.
Kehadiran bayi itu harus diluruskan. Katakanlah memang betul Ben telah bermain
di belakangmu dan kini dia membawa pulang bayi hasil perselingkuhannya, itu
lebih bisa kau terima; kau hanya harus memilih untuk melanjutkan atau
mengakhiri penikahan kalian. Tapi seekor bangau? Tidak, otak logismu tidak bisa
menerima itu.
“Tidak ada wanita
lain.”
Kau menatap mata
suamimu. Tidak ada kebohongan di sana. Kau telah mengenal suami lebih dari
setengah umurmu, dan kau tau Ben tidak akan pernah berbohong padamu.
“Apa kau tidak
melihat mata bayi kita? Matanya sangat mirip dengan matamu, Sayang. Bahkan
hidungnya pun sangat mirip denganmu. Bayi itu benar-benar dibawa oleh seekor ba—”
Kau menghalau
ucapan suami dengan mengibaskan tangan. Kepalamu sudah sangat pening untuk
kembali mendengar cerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga.
“Sayang, kenapa
mempermasalahkan asal usul bayi itu? Kalau kau tidak bisa percaya tentang
bangau yang membawa bayi itu dari surga untuk kita, bisakah kau cukup percaya
bahwa ini adalah anugerah yang Tuhan kirim untuk kita. Sebuah anugerah,
Sayang.”
Kau ingat
beberapa bulan lalu ketika Ben mengajakmu menemui dokter kandungan. Kami ingin
memiliki seorang anak, begitu kata Ben di hadapan dokter yang sangat terkenal
dan menjadi rujukan bagi pasangan yang ingin memiliki momongan. Dari gugup
suaranya dan gemetar tangannya kau tahu Ben sangat menginginkan seorang anak,
sedangkan kau selalu menolak untuk diajak berkonsultasi dengan dokter.
“Sayang, kenapa
tidak kita coba untuk merawat bayi itu? Mungkin saja ini kesempatan kita.”
Kau ingat
foto-foto bayi yang dipajang Ben untuk meluluhkan hatimu agar mau memulai
program hamil. Kau kembali menatap mata suamimu. Benar, mungkin sudah waktunya,
pikirmu, dan kau mengangguk perlahan.
Sejak itu kalian
berdua yang mengurus bayi yang kini bernama Yara. Di tengah malam, ketika Yara
terbangun karena haus atau karena popoknya basah sedangkan Ben sudah terbuai
dalam mimpi dengan dengkuran yang keras, kau menatap mata Yara. Bola mata yang
masih begitu bening dengan lingkaran hitam yang sangat pekat seperti mutiara
hitam.
Kau tersenyum
ketika bayi itu tertawa sambil berceloteh dalam bahasa yang tidak kau pahami.
Ada kehangatan yang memeluk hatimu kala melihat tingkah Yara. Jari-jari
mungilnya yang menggenggam jarimu seolah hanya kau tempatnya berlindung. Dan
kau tahu, kau telah jatuh cinta pada bayi dalam dekapanmu kini.
“Mama. Panggil
aku mama,” ucapmu
***
Kini hidupmu
adalah untuk Yara. Meski kau belum memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu, tapi
kau berusaha untuk membagi waktu. Kau telah jatuh cinta padanya, dan kau tidak
mau melewatkan satu saja momen tumbuh kembangnya. Ben tentu bahagia. Setiap
pagi dia selalu berujar bahwa ini sebuah keluarga yang selalu dia impikan;
dengan seorang istri yang cantik dan seorang anak yang ceria. Hidupnya telah
sempurna. Tak butuh waktu lama bagi Ben untuk membuat sebuah foto keluarga.
Foto berukuran besar itu dia pajang di ruang tamu seolah memamerkan pada siapa
pun yang datang ke rumah kalian.
Meski kau lelah
dengan rutinitas baru sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga, rasa
lelahmu seketika sirna melihat senyum Yara. Tak jarang setiap akhir
pekan—ketika Ben masih sibuk dengan proyek dan kerjaannya—kau mengajak Yara ke
taman kota atau sekedar berbelanja baju baru untuknya.
Kau ingat ketika
Ben berkata ingin seorang anak darimu. Kau juga ingat ketika Ben bilang hanya
kau wanita satu-satunya bagi Ben. Kau juga tak lupa kejadian di sore hari
ketika Ben bercerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga; bayi yang
kini duduk di sebelahmu dalam mobil. Kau ingat tak ada kebohongan dari mata Ben
saat itu, tapi ketika melihat suamimu kini tengah bermesraan dengan wanita lain
membuatmu pening. Kau ingat wanita itu adalah temen sekantor Ben yang
terang-terangan menggoda suamimu.
“Bangau yang
membawa bayi dari surga katanya?” Kau jelas tahu seorang bayi tak mungkin
dibawa dari surga oleh seekor bangau. Bayi lahir dari selangkangan seorang
wanita. Hanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar