Laman

Kamis, 08 Agustus 2024

Bayi dan Bangau


(Pertama kali tayang di Kompas.id edisi 26 Juni 2024)

Kau sedang mencukur bulu kelamuanmu ketika Ben, suamimu, berteriak bahwa seekor bangau tong-tong telah membawakan seorang bayi untuk kalian. Kau yang tengah sibuk dengan kegiatanmu di kamar mandi hanya berdecak hingga Ben membuka kamar mandi dan menunjukkan bayi merah itu ke hadapanmu.

“Seekor bangau tong-tong yang membawakannya untuk kita! Ini pasti bayi dari surga yang Tuhan kirim untuk kita, Sayang!”

Kau hanya menatap bayi merah yang menggeliat di dalam gendongan Ben dengan tatapan tak mengerti. Bayi dari surga? Bangau tong-tong? Suamimu pasti sudah mulai gila.

Ben selalu menginginkan seorang bayi, terlebih setelah enam tahun pernikahan kalian. Namun, sejak awal pernikahan kau tak pernah menginginkan kehadiran makhluk yang harus lahir dari tubuhmu itu. Bayi hanya pembuat onar, begitu katamu, tapi Ben tidak pernah menanggapi penolakanmu. Aku yang akan mengandung dan melahirkannya, begitu katamu, tapi Ben tetap bersikukuh dengan mengatakan bahwa sudah sewajarnya dalam sebuah pernikahan lahir seorang anak, seorang penerus keluarga. Lalu kalian bercinta malam harinya setelah sebelumnya kau menelan pil yang akan mencegahmu bunting tanpa sepengetahuan Ben.

“Benar cerita ibuku tentang bangau yang membawa bayi dari surga.” Ben terus berbicara tentang bayi dan bangau.

Kembali kau menatap bayi merah dalam gendongan Ben yang terus menggeliat membuatmu geli.

“Ben, kau tahu, bukan, itu hanya cerita masa kecilmu? Seekor bangau tidak mungkin membawa bayi apalagi dari surga.”

“Tapi bayi ini benar-benar dibawa oleh seekor bangau barusan. Bangau itu melemparkannya tepat ke arahku. Tuhan telah menjawab doa kita, Sayang.”

Kau Kembali berdecak, mungkin maksud Ben adalah doanya sendiri karena kau tidak pernah berdoa meminta seorang anak. Anak—khususnya bayi—hanyalah sumber keonaran dalam sebuah rumah. Dan kau yang menyukai keteraturan tidak mengharapkan kehadirannya.

Ben tidak peduli dengan kekesalanmu. Suamimu terlalu senang dengan kehadiran bayi—yang dia sebut hadiah dari surga—di gendongannya. Dia membawa bayi itu ke kamar kalian sambil berseloroh tentang nama yang cocok untuk bayi itu.

“Bagaimana kalau Lisa? Nama itu sangat populer beberapa tahun ini. Atau bagaimana kalau Andin? Nama itu sangat populer. Ah, tidak, nama anak kita haruslah spesial dan tidak ada yang menyamai.”

Kau masih saja diam ketika Ben meletakkan bayi itu ke ranjang kalian dan detik berikutnya bayi itu mengompol disertai tangis yang memekakkan telinga. Keonaran pertama dalam rumahmu karena kehadiran seorang bayi.

“Sayang, lakukan sesuatu, bayi kita menangis.”

Kau hanya menggeleng pelan tak menghiraukan kepanikan Ben. Kau bahkan tak tahu dari mana sebenarnya bayi itu berasal. Seekor bangau tong-tong tidak mungkin membawanya dari surga seperti yang Ben katakan. Itu hanya dongeng masa kecil.

Kau mulai berpikir tentang teman sekantor Ben yang seksi yang terang-terangan menggoda suamimu itu. Mungkin saja mereka telah bermain di belakangmu dan kini bayi hasil hubungan gelap mereka dibawa ke rumah kalian; bangau tong-tong hanya bualan Ben semata. Meski kau ragu dengan pikiranmu sendiri. Kau tahu Ben sangat mencintaimu. Sangat. Dan kau tahu suamimu itu tidak akan pernah mengkhianatimu.

“Namanya Yara, artinya kupu-kupu kecil. Cantik, bukan?” Ben masih saja sibuk memikirkan nama bayi yang entah berasal dari mana itu, sedangkan kau, dalam otakmu penuh dengan kemungkinan dari mana sebenarnya bayi itu berasal.

“Katakan, wanita mana yang sudah kauhamili hingga bayi itu lahir?” Kau tak lagi bisa membendung rasa penasaranmu; yang pasti seekor bangau tidak mungkin menjadi jawaban atas hadirnya bayi yang sejak sore tadi hingga malam entah sudah menangis berapa puluh kali. Kini bayi itu bersama seorang pengasuh yang secara mendadak harus kau sewa karena kau tidak mau terus mendengar suara tangisannya apalagi mengganti popoknya yang basah, sedangkan Ben yang sejak pernikahan kalian menginginkan seorang bayi hanya bisa panik setiap kali bayi itu menangis atau mengompol.

“Wanita apa? Hanya kau satu-satunya wanita yang aku punya.”

“Ben, seekor bangau tidak mungkin membawa bayi itu dari surga, apalagi diberikan pada sebuah keluarga. Itu hanya dongeng.” Kau memijit pelan pelipismu yang terasa pening.

Suamimu mengacak rambutnya karena frustrasi, tapi kau jelas lebih frustrasi dalam hal ini. Kehadiran bayi itu harus diluruskan. Katakanlah memang betul Ben telah bermain di belakangmu dan kini dia membawa pulang bayi hasil perselingkuhannya, itu lebih bisa kau terima; kau hanya harus memilih untuk melanjutkan atau mengakhiri penikahan kalian. Tapi seekor bangau? Tidak, otak logismu tidak bisa menerima itu.

“Tidak ada wanita lain.”

Kau menatap mata suamimu. Tidak ada kebohongan di sana. Kau telah mengenal suami lebih dari setengah umurmu, dan kau tau Ben tidak akan pernah berbohong padamu.

“Apa kau tidak melihat mata bayi kita? Matanya sangat mirip dengan matamu, Sayang. Bahkan hidungnya pun sangat mirip denganmu. Bayi itu benar-benar dibawa oleh seekor ba—”

Kau menghalau ucapan suami dengan mengibaskan tangan. Kepalamu sudah sangat pening untuk kembali mendengar cerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga.

“Sayang, kenapa mempermasalahkan asal usul bayi itu? Kalau kau tidak bisa percaya tentang bangau yang membawa bayi itu dari surga untuk kita, bisakah kau cukup percaya bahwa ini adalah anugerah yang Tuhan kirim untuk kita. Sebuah anugerah, Sayang.”

Kau ingat beberapa bulan lalu ketika Ben mengajakmu menemui dokter kandungan. Kami ingin memiliki seorang anak, begitu kata Ben di hadapan dokter yang sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi pasangan yang ingin memiliki momongan. Dari gugup suaranya dan gemetar tangannya kau tahu Ben sangat menginginkan seorang anak, sedangkan kau selalu menolak untuk diajak berkonsultasi dengan dokter.

“Sayang, kenapa tidak kita coba untuk merawat bayi itu? Mungkin saja ini kesempatan kita.”

Kau ingat foto-foto bayi yang dipajang Ben untuk meluluhkan hatimu agar mau memulai program hamil. Kau kembali menatap mata suamimu. Benar, mungkin sudah waktunya, pikirmu, dan kau mengangguk perlahan.

Sejak itu kalian berdua yang mengurus bayi yang kini bernama Yara. Di tengah malam, ketika Yara terbangun karena haus atau karena popoknya basah sedangkan Ben sudah terbuai dalam mimpi dengan dengkuran yang keras, kau menatap mata Yara. Bola mata yang masih begitu bening dengan lingkaran hitam yang sangat pekat seperti mutiara hitam.

Kau tersenyum ketika bayi itu tertawa sambil berceloteh dalam bahasa yang tidak kau pahami. Ada kehangatan yang memeluk hatimu kala melihat tingkah Yara. Jari-jari mungilnya yang menggenggam jarimu seolah hanya kau tempatnya berlindung. Dan kau tahu, kau telah jatuh cinta pada bayi dalam dekapanmu kini.

“Mama. Panggil aku mama,” ucapmu

***

Kini hidupmu adalah untuk Yara. Meski kau belum memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu, tapi kau berusaha untuk membagi waktu. Kau telah jatuh cinta padanya, dan kau tidak mau melewatkan satu saja momen tumbuh kembangnya. Ben tentu bahagia. Setiap pagi dia selalu berujar bahwa ini sebuah keluarga yang selalu dia impikan; dengan seorang istri yang cantik dan seorang anak yang ceria. Hidupnya telah sempurna. Tak butuh waktu lama bagi Ben untuk membuat sebuah foto keluarga. Foto berukuran besar itu dia pajang di ruang tamu seolah memamerkan pada siapa pun yang datang ke rumah kalian.

Meski kau lelah dengan rutinitas baru sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga, rasa lelahmu seketika sirna melihat senyum Yara. Tak jarang setiap akhir pekan—ketika Ben masih sibuk dengan proyek dan kerjaannya—kau mengajak Yara ke taman kota atau sekedar berbelanja baju baru untuknya.

Kau ingat ketika Ben berkata ingin seorang anak darimu. Kau juga ingat ketika Ben bilang hanya kau wanita satu-satunya bagi Ben. Kau juga tak lupa kejadian di sore hari ketika Ben bercerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga; bayi yang kini duduk di sebelahmu dalam mobil. Kau ingat tak ada kebohongan dari mata Ben saat itu, tapi ketika melihat suamimu kini tengah bermesraan dengan wanita lain membuatmu pening. Kau ingat wanita itu adalah temen sekantor Ben yang terang-terangan menggoda suamimu.

“Bangau yang membawa bayi dari surga katanya?” Kau jelas tahu seorang bayi tak mungkin dibawa dari surga oleh seekor bangau. Bayi lahir dari selangkangan seorang wanita. Hanya itu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar