Kau selalu menempel pada Mei. Kalian benar-benar tak
terpisahkan. Itulah sebabnya para pemuda menatap iri padamu. Setiap pagi,
ketika kau berada di halaman samping rumah dan Mei sedang bersolek di kamarnya,
para pemuda misuh-misuh padamu dan sebagian lagi berharap berada di posisimu
agar bisa dekat dengan Mei.
“Andai aku bisa menjadi seperti dirinya
dan hidup bersama Mei.”
“Mati pun aku bersedia asal bisa menjadi
seperti dirinya dan menjadi bagian dalam hidup Mei.”
Jika diibaratkan sebagai sebuah mahakarya,
Mei adalah sebuah patung pualam yang dibuat dengan teknik tingkat tinggi.
Setiap lekuk tubuhnya dibentuk dengan cinta. Mei adalah perpaduan yang sempurna
antara Elvy Sukaesih dan Dian Sastro. Konon, kau telah memberikan rasa percaya
diri yang begitu besar pada Mei. Kalau sekarang Mei dengan anggun melenggak-lenggok di
sepanjang jalanan kampung untuk dikagumi semua orang, itu karena dirimu.
Tersebab itulah kalian menjadi dekat. Mei tak bisa hidup tanpamu.
Namun, pagi ini, kampung digemparkan oleh
berita hilangnya dirimu dari hidup Mei.
“Dia hilang!” teriaknya frustrasi.
“Terakhir aku lihat dia masih di halaman samping, tapi sekarang dia hilang.”
Seorang pemuda atau mungkin beberapa
pemuda yang jatuh hati Mei dan iri padamu pasti telah menculikmu. Mei bergidik
ngeri membayangkan apa yang telah menimpa dirimu. Dia mulai histeris meski Bram
telah berusaha menenangkannya.
“Dia pasti berada di suatu tempat! Kita
harus meminta bantuan polisi atau dukun sakti untuk menemukannya.”
“Ini berlebihan, Mei.”
“Tak ada yang berlebihan di sini. Kita
harus mencarinya!” tandas Mei tak mau mendengar ucapan kekasihnya.
Bram jelas bingung. Bagaimana Mei bisa
memintanya untuk melaporkan kejadian ini pada polisi? Apa yang harus dia
katakan pada mereka? Dan apakah kasus seperti ini bisa diproses? Bram berpikir
apa dia cukup membuat selebaran saja tentang hilangnya dirimu dan memberi
imbalan pada siapa pun yang menemukannya? Namun, itu sama memalukannya
dengan berjalan tanpa busana sepanjang jalan. Maka keputusan yang dia ambil
adalah diam-diam tak melaporkannya pada polisi atau meminta bantuan pada dukun
sakti.
“Satu dua hari lagi juga Mei akan
melupakannya.”
Nyatanya Bram salah. Mei menjadi terpuruk
sejak hilangnya dirimu. Dia mengurung diri, tak mau keluar kamar. Dia juga menolak mandi
hingga cantik wajahnya memudar
dan badannya tak lagi harum. Dia kehilangan semangat hidup seperti
ketika bidadari Nawang Wulan kehilangan selendangnya.
“Kita bisa cari yang lain,” bujuk Bram
yang mulai kehabisan akal.
“Aku tak mau yang lain. Aku ini setia, tak
seperti dirimu.”
“Apakah harus sebegitu tragisnya kehilangan
kutang? Di pasar atau mall
banyak kutang merah muda seperti milikmu itu.”
“Kau lupa? Kalau bukan karena kutang merah
mudaku itu, kau mungkin tidak akan jatuh cinta padaku yang tidak memiliki
dada.”
“Aku tetap mencintaimu meski kau tak
memiliki dada, Mei.”
Mei tak peduli, dia hanya menginginkan
kutang merah mudanya, bukan kutang lain, apalagi yang dibeli di pasar atau mall.
Di sudut lain, di sebuah rumah petak, kau
bersama dengan orang lain.
“Tak percuma aku mencuri kutang merah muda milik Mei. Sekarang aku
tambah seksi, jadi nanti malam bisa magkal.”
Meski sama-sama tak memiliki dada, kau
pasti lebih memillih Mei daripada pencuri ini. Setidaknya Mei perempuan betulan, bukan perempuan jadi-jadian
yang suka mangkal di Gang Koboi
untuk menjajakan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar