Dari
semua musisi di dunia, pria di sebelahmu memilih Yiruma. Dia menyukai
melodi-melodi yang membuat hati sedih. Kenapa, tanyamu. Karena sama seperti
hidupku yang penuh kesedihan.
“Kalau
begitu bagilah kesedihan itu padaku. Akan kutukar kesedihan itu dengan cinta
dan kebersamaan.”
Pria
itu hanya akan tersenyum mendengar ucapanmu. Kau tahu itu bukan senyum
persetujuan karena setelahnya dia akan mengubah posisi tubuhnya untuk
membelakangimu. Dia tak ingin menatapmu, terlebih dia tak ingin menganggapmu
ada di sampingnya; dalam kamar yang sunyi sesudah percintaan kalian, pria itu
membuat jarak denganmu. Selalu.
***
Kau masih melewati jalan yang sama
setiap hari. Deretan toko, lalu lalang kendaraan, dan pedagang kaki lima
menemanimu hingga sampai di sebuah halte. Untuk beberapa lama kau akan berdiri
di sana menunggu bus yang akan membawamu pulang. Halte ini telah banyak berubah;
warna catnya, kondisi bangku, bahkan atap yang mulai berlubang. Deretan toko
yang kau lewati pun telah banyak berubah. Hanya kau di sini yang tidak berubah;
berangkat dan pulang melewati jalan yang sama, melakukan hal yang sama setiap
hari. Benar-benar monoton. Tak ada yang menarik dari hidupmu.
Dalam tiap langkah menuju halte,
sering kau berpikir, apakah kau akan menjalani hidupmu seperti ini terus?
Melewati jalan yang sama, berdiri di tempat yang sama, memikirkan hal yang sama
setiap hari sampai kau tua dan mati?
Dari kaca etalase toko, kau menatap
pantulan dirimu yang kurus, lusuh dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahmu
tampak memprihatinkan alih-alih tampak seperti gadis yang menginjak usia dua
puluhan. Ternyata hanya satu hal yang berubah dari dirimu, yaitu usia yang
bertambah tua.
Pikiranmu melayang pada ibumu di
rumah yang lumpuh entah sejak kapan. Daya ingatmu tak cukup baik untuk mengingat sejak kapan ibumu lumpuh,
tapi yang kau ingat kau tidak memiliki ayah sejak lahir. Dan itu tak masalah
bagimu. Setidaknya kau masih punya alasan untuk tidak mengakhiri hidup.
Sampai di halte, hanya ada sepasang
muda-mudi yang sedang kasmaran merayu satu sama lain. Kau tak tertarik dengan
mereka. Perhatianmu justru tertuju pada sebuah mobil sedan yang berhenti di
seberang jalan sana. Seorang perempuan berambut kemerahan
ditarik paksa untuk keluar dari mobil oleh seorang pria. Mereka terlibat adu
mulut hingga si perempuan menangis. Si pria berbicara lagi,
memaki dan menendang ke
udara. Kau tak tahu apa yang mereka bicarakan karena jarak kalian cukup jauh,
belum lagi terhalang oleh suara kendaraan yang lalu-lalang. Perempuan berambut
kemerahan itu hanya bisa menangis hingga si pria masuk ke dalam mobil mewahnya
dan melaju dengan kecepatan tinggi. Hingga busmu datang dan mulai melaju, kaulihat
perempuan berambut kemerahan itu masih menangis tanpa memedulikan
sekelilingnya. Ah, itu bukan urusanku, ucapmu sembari menyandarkan punggungmu
yang lelah pada sandaran kursi.
Entah mengapa melihat mereka
kau risih. Mereka bertengkar di pinggir jalan, menangis, seolah mereka
sedang main drama. Kau tak suka drama kehidupan karena kau hanya bisa menjadi
penonton. Hidupmu terlalu biasa saja untuk ikut ambil bagian dari sebuah drama besar di dunia. Bahkan, jika tiba-tiba kau meninggal
tak akan ada yang berubah dari dunia ini kecuali ibumu yang mungkin akan segera
menyusulmu.
Esoknya, seperti biasa kau berada di
halte yang sama, di waktu yang sama pula. Membawa dua kilo beras untuk
persediaan di rumah, juga beberapa butir telur, kau menunggu bus. Namun,
tatapanmu kemudian tertuju pada sosok perempuan yang berdiri di seberang jalan.
Perempuan yang kemarin bertengkar dengan kekasihnya. Apa dia tidak pulang dan
24 jam berdiri di sana seperti orang bodoh? Namun, melihat pakaiannya kau yakin
dia telah pulang ke rumah karena seingatmu kemarin dia memakai kemeja biru dan
sekarang memakai sweter merah.
Cukup lama kau memperhatikannya yang
masih menunduk entah memikirkan apa. Hingga kemudian dia mengangkat wajahnya
dan tatapan kalian bertemu. Kau yakin dia menatapmu dari seberang sana.
Kau tak suka caranya menatapmu,
terlebih dengan rambut kemerahannya yang berkibar. Ada rasa benci dan iri yang
sangat dalam dari tatapan perempuan itu padamu. Apa yang membuatnya menatap begitu
benci? Apa karena kau melihatnya kemarin saat dia bertengkar dengan kekasihnya?
Salah mereka bertengkar di tempat umum. Perempuan itu tak seharusnya membencimu.
Lalu apa yang membuatnya iri? Karena
kau membawa dua kilo beras dan beberapa butir telur? Melihat apa yang dia
kenakan juga tas yang dia bawa, pasti perempuan itu adalah orang kaya. Kau
yakin upahmu bekerja seumur hidup di sebuah toko kelontong pun tak akan bisa
membeli tas yang perempuan itu pakai. Lalu kenapa dia harus iri padamu?
Kau menatapnya tanpa memedulikan
lalu-lalang kendaraan; menantangnya bahwa hidupmu yang lebih memprihatinkan.
Namun, semakin kau menatap ke dalam matanya kau merasakan suatu perasaan yang
belum pernah kau rasakan. Apa ini? Kau mengusap dadamu. Rasanya benar-benar
lara, seperti ada yang menyayat-nyayat hatimu begitu dalam dan pelan.
Kau menatap perempuan itu lagi, dia
mengangguk perlahan. Patah hati, itu yang kini tengah dia rasakan. Kau tidak
pernah merasakan patah hati karena hidupmu terlalu monoton untuk merasakan
cinta. Namun, dari tatap perempuan itu, kau tahu bahwa patah hati sangat
menyakitkan.
Napasmu mulai sesak entah karena
apa, seolah ada bongkahan batu yang mengganjal di dadamu. Sekeras apa pun kau
memukul-mukul dadamu, rasa sesak itu tetap ada dan kian parah. Kembali kau
menatap perempuan berambut kemerahan itu; matanya memerah seperti rambut
kemerahannya yang berkibar. Perempuan itu tengah mengadu padamu.
“Kenapa aku?” Kau tidak mengerti.
Kenapa perempuan itu harus mengadu padamu. Dan kenapa dia harus membagi rasa
patah hatinya padamu.
Kau nyaris muntah andai busmu tak
datang dan kau segera menghambur masuk. Kau tak bisa membendung air matamu.
Kenapa rasanya sesakit ini? Tanganmu gemetar hebat dan kau hanya bisa
menumpahkan tangismu hingga membuat orang yang duduk di sebelahmu menatap
heran.
Sesampainya di rumah kau segera
menghambur ke tempat tidur, menangis sepuasnya. Ini perasaan yang asing, tapi
juga familier bagimu. Apa kau pernah merasakan patah hati? Tiba-tiba kau
termenung.
“Pernahkah?” Kau bertanya pada
dirimu sendiri.
Ingatanmu sangat buruk; banyak hal
di masa lalu yang tidak bisa kau ingat dan itu membuatmu frustrasi. Untuk
sejenak kau menatap langit sore dengan semburat merah persis seperti rambut
perempuan di seberang jalan tadi. Kau masih termenung menghayati perasaan di
hatimu hingga ibumu memanggil dari biliknya.
Tubuh kurusnya makin menyatu dengan
kasur yang sudah kumal. Ah, kau belum bisa membelikan kasur yang lebih bagus
untuknya dan itu membuatmu merasa bersalah.
“Kemarilah,” ucap ibumu dengan lambaian
tangan. Tangan itu sama sekali tak berdaging; hanya tulang yang dibungkus kulit
kering.
Kau mendekat. Duduk di lantai agar
wajahmu dekat dengan wajah ibumu.
“Kau telah berjuangan dengan keras.”
Kau tak mengerti apa yang ibumu
maksud. Kau tak merasa telah berjuangan dengan keras selama hidupmu. Kau hanya
menjalaninya dari waktu ke waktu, tua, hingga waktunya bagimu untuk mati. Atau
mungkin kau akan mengakhiri hidupmu jika memang kau tak lagi punya alasan untuk
hidup.
“Hiduplah dengan baik.”
Kau masih tidak mengerti. Namun, kau
sedang tak ingin berpikir, rasa sakit di dada membuatmu hanya ingin kembali ke
kamarmu dan berbaring; melupakan hari ini, melupakan perempuan berambut kemerahan
itu.
Kau terbangun ketika suara
ribut-ribut tetangga yang memulai pagi. Kau tidak berniat untuk berangkat kerja
hari ini; membiarkan gajimu yang tidak seberapa dipotong oleh bosmu yang pelit
meski kau telah bekerja untuknya selama bertahun-tahun. Hingga siang kau hanya
mengurung diri di kamar. Sekali waktu keluar untuk membuat makanan untuk ibumu,
mengurusnya yang sudah tidak mampu melakukan apa pun. Kau kembali menekuni rasa
sakit di hatimu. Siapa perempuan itu? Kenapa dia patah hati? Apa yang terjadi
padanya?
Kau merasa pernah bertemu dengannya.
Entah kapan dan di mana. Rasanya itu sudah lama sekali. Kau berdecak. Ingatmu
yang bebal sangat menyusahkan! Tak ada yang bisa memberimu penjelasan kecuali
perempuan itu. Dan tak ada salahnya bertanya. Perempuan itu yang telah
membuatmu merasakan sakit. Maka, kau mulai melangkah menuju halte, berharap
perempuan itu berada di sana seperti kemarin.
Namun nihil. Perempuan berambut
kemerahan itu tidak ada di seberang jalan sana. Apa dia belum datang? Kau tak
tahu. Langit masih benderang, dan ini bukan waktu di mana kau pulang kerja. Kau
hanya bisa berdiri di halte. Menunggu. Hidupmu yang monoton membuatmu terlatih
untuk menunggu.
Sepasang muda-mudi yang kasmaran
duduk di bangku halte seperti kemarin. Kau tidak ingat apakah sebelum hari
kemarin mereka juga selalu berada di halte ini bersamamu. Kau tahu kau tidak
bisa mempercayai ingatmu yang bebal, maka kau hanya akan menunggu, menunggu,
hingga sebuah mobil sedan yang samar-samar kau ingat berhenti di seberang sana.
Ah, itu dia! serumu.
Perempuan itu turun dari mobil.
Seorang pria juga turun, memeluk perempuan itu untuk beberapa lama sebelum
kembali masuk ke mobil dan melaju. Pergi. Dan tinggallah perempuan itu
sendirian.
Dia hanya berdiri di trotoar seperti
patung di antara lalu lalang kendaraan yang pengendaranya ingin segera sampai
rumah. Pias wajahnya, sayu matanya seolah menjadi magnet bagi kakimu untuk
melangkah. Kau harus ke sana dan bertanya.
“Wanita jalang,” ucap sepasang
muda-mudi di belakangmu. Mereka tertawa pelan seolah tengah mengejekmu meski
kau tahu kata-kata mereka barusan ditujukan untuk perempuan di seberang jalan
sana.
Kau hendak melangkah ketika melihat
perempuan itu menghamburkan dirinya tepat di depan sebuah truk yang melaju.
Waktu seolah berhenti. Kau melihat perempuan itu terhamtan dengan keras sebelum
warna merah berhamburan dari tubuhnya seperti setangkai mawar merah yang
dihentakkan dengan cepat membuat kelopaknya berhamburan.
*baca selengkapnya di https://ideide.id/disforia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar