Laman

Sabtu, 24 September 2022

Terdakwa


 (telah dimuat di Harian Fajar Makassar edisi Minggu, 16 Januari 2022)

Tepat tengah malam nanti, aku akan dieksekusi. Satu regu eksekutor bersenjata api akan menembakkan sebuah peluru panas yang akan melesat tepat ke jantungku, merobek pembuluh darahku dan menyeretku ke kematian.

“Pergi sana ke neraka! Manusia biadab!”

Aku masih ingat pekik teriakan orang-orang padaku. Neraka? Tahu apa mereka tentang neraka? Nyatanya, aku membunuh enam orang dengan cara paling keji dengan tawa dan kebahagiaan. Apakah aku akan pergi neraka setelah mati?

“Pergi sana ke neraka!” Seorang ibu yang anaknya aku mutilasi menjadi delapan bagian terus mengutukku. “Neraka jahanam adalah tempatmu! Mati sana!”

Ingin sekali kukatakan padanya untuk menahan emosi. Karena di usianya yang sudah lanjut itu, bisa saja dia tiba-tiba kena serangan jantung. Atau mungkin memang itulah tujuannya agar segera menyusul anak tercinta? Aku tersenyum tipis di kursi pesakitan mendengar teriakan dari orang-orang yang anggota keluarganya aku bunuh. Di luar, para awak media bersenjatakan kamera dengan flash yang menyilaukan mata membuat berita-berita yang semakin membuatku ingin tertawa.

Mereka bilang aku tak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun setelah melakukan pembunuhan yang keji. Aku kembali tersenyum bahkan kali ini nyaris tertawa terbahak-bahak. Kenapa harus menyesal? Aku sudah merencanakan pembunuhan ini sejak lama. Sejak tujuh orang biadab itu menodai Maria, pacarku. Mereka menyeret gadis berkerudung merah itu, merobek baju yang menutupi tubuh indahnya, mencumbu dengan ganas dan memenuhi pacarku bergantian; tujuh orang, berkali-kali, seolah pacarku tak lebih dari sebuah mainan. Bisa kubayangkan bagaimana rasa sakit yang dirasakan gadisku itu.

Sejak peristiwa itu, bagi Maria, dunia adalah kegelapan dan dia adalah manusia paling kotor. Maria tak mau lagi menemuiku karena di dalam perutnya tumbuh bayi iblis, padahal kami telah berjanji untuk menikah tahun depan; kami akan pindah ke kota yang lebih besar, tinggal di sana dan membangun rumah tangga yang harmonis dengan satu atau dua anak yang manis-manis seperti dirinya. Namun, itu sebuah sudah tinggal impian semata. Malam ketika bulan bersinar dengan sempurna, dia menulis nama-nama pendosa yang menodainya sebelum gantung diri di kamarnya. Mariaku pulang ke rumah Tuhan. Kelak, di akhir jaman, dia akan turun ke bumi untuk mengadili para pendosa.

Sejak dua tahun yang lalu, aku telah merencanakan pembalasan ini. Tak pernah satu hari pun pikiranku tidak tertuju pada rencana balas dendamku, karena aku tahu hukum di negeri ini tidak akan membela Mariaku, maka akulah yang harus menghukum mereka. Satu per satu aku mengintai para pendosa itu. Mereka hidup dengan tenang setelah membuat Mariaku meregang nyawa. Dua orang aku bunuh, tubuhnya aku potong menjadi delapan bagian dan kuberikan pada anjing liar di hutan. Satu orang aku cincang di kamar kontrakan, dua orang lagi aku pukuli di bekas gudang dengan tongkat baseball hingga tak berbentuk dan seorang lagi aku biarkan mati kehabisan darah setelah lidah dan kemaluannya aku potong dengan pisau di dalam hutan. Ah, itu semua bahkan tidak sebanding dengan rasa sakit yang harus dirasakan Maria.

“Mati sana, dasar manusia biabad!” Kembali teriakan para hadirin membuat persidangan ricuh.

Aku menoleh pada seorang wanita yang anaknya kupukuli hingga tewas. Matanya berlinang, persis seperti ibu Maria ketika pemakaman anaknya. Tak ada satu pun orangtua yang mau melihat kematian anaknya, tapi dunia amat kejam untuk kita. Anggaplah aku gila setelah kehilangan perempuan yang begitu aku puja seperti yang diberitakan di awal-awal kasusku diusut. Tidak. Aku tidak gila; dunia ini yang gila, juga mereka yang membuat Mariaku pergi dengan cara yang amat menyedihkan dan mereka masih bisa hidup dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah sebuah nyawa begitu tak berharganya.

Dan sebentar lagi, ketika hakim yang agung menjatuhiku hukuman mati kemudian eksekutor menembakkan timah panas tepat ke jantungku, aku akan segera menyusul Maria.

“Maaf, Sayang, aku tidak bisa menuntaskan dendam kita.”

Aku menatap tajam pada hakim yang agung yang tersenyum menang karena berhasil menghukum terdakwa yang mengincar anak bungsunya. Satu dari tujuh orang pemerkosa Maria tidak sempat aku bunuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar