Tepat tengah malam nanti, aku akan dieksekusi. Satu regu eksekutor
bersenjata api akan menembakkan sebuah peluru panas yang akan melesat tepat ke
jantungku, merobek pembuluh darahku dan menyeretku ke kematian.
“Pergi sana ke neraka! Manusia biadab!”
Aku masih ingat pekik teriakan orang-orang padaku. Neraka? Tahu apa
mereka tentang neraka? Nyatanya, aku membunuh enam orang dengan cara paling
keji dengan tawa dan kebahagiaan. Apakah aku akan pergi neraka setelah mati?
“Pergi sana ke neraka!” Seorang ibu yang anaknya aku mutilasi menjadi
delapan bagian terus mengutukku. “Neraka jahanam adalah tempatmu! Mati sana!”
Ingin sekali kukatakan padanya untuk menahan emosi. Karena di
usianya yang sudah lanjut itu, bisa saja dia tiba-tiba kena serangan jantung.
Atau mungkin memang itulah tujuannya agar segera menyusul anak tercinta? Aku
tersenyum tipis di kursi pesakitan mendengar teriakan dari orang-orang yang
anggota keluarganya aku bunuh. Di luar, para awak media bersenjatakan kamera
dengan flash yang menyilaukan mata membuat berita-berita yang semakin
membuatku ingin tertawa.
Mereka bilang aku tak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun
setelah melakukan pembunuhan yang keji. Aku kembali tersenyum bahkan kali ini
nyaris tertawa terbahak-bahak. Kenapa harus menyesal? Aku sudah merencanakan
pembunuhan ini sejak lama. Sejak tujuh orang biadab itu menodai Maria, pacarku.
Mereka menyeret gadis berkerudung merah itu, merobek baju yang menutupi tubuh
indahnya, mencumbu dengan ganas dan memenuhi pacarku bergantian; tujuh orang,
berkali-kali, seolah pacarku tak lebih dari sebuah mainan. Bisa kubayangkan
bagaimana rasa sakit yang dirasakan gadisku itu.
Sejak peristiwa itu, bagi Maria, dunia adalah kegelapan dan dia
adalah manusia paling kotor. Maria tak mau lagi menemuiku karena di dalam
perutnya tumbuh bayi iblis, padahal kami telah berjanji untuk menikah tahun
depan; kami akan pindah ke kota yang lebih besar, tinggal di sana dan membangun
rumah tangga yang harmonis dengan satu atau dua anak yang manis-manis seperti
dirinya. Namun, itu sebuah sudah tinggal impian semata. Malam ketika bulan
bersinar dengan sempurna, dia menulis nama-nama pendosa yang menodainya sebelum
gantung diri di kamarnya. Mariaku pulang ke rumah Tuhan. Kelak, di akhir jaman,
dia akan turun ke bumi untuk mengadili para pendosa.
Sejak dua tahun yang lalu, aku telah merencanakan pembalasan ini. Tak
pernah satu hari pun pikiranku tidak tertuju pada rencana balas dendamku,
karena aku tahu hukum di negeri ini tidak akan membela Mariaku, maka akulah
yang harus menghukum mereka. Satu per satu aku mengintai para pendosa itu.
Mereka hidup dengan tenang setelah membuat Mariaku meregang nyawa. Dua orang
aku bunuh, tubuhnya aku potong menjadi delapan bagian dan kuberikan pada anjing
liar di hutan. Satu orang aku cincang di kamar kontrakan, dua orang lagi aku
pukuli di bekas gudang dengan tongkat baseball
hingga tak berbentuk dan seorang lagi aku biarkan mati kehabisan darah setelah
lidah dan kemaluannya aku potong dengan pisau di dalam hutan. Ah, itu semua
bahkan tidak sebanding dengan rasa sakit yang harus dirasakan Maria.
“Mati sana, dasar manusia biabad!” Kembali teriakan para hadirin
membuat persidangan ricuh.
Aku menoleh pada seorang wanita yang anaknya kupukuli hingga tewas.
Matanya berlinang, persis seperti ibu Maria ketika pemakaman anaknya. Tak ada
satu pun orangtua yang mau melihat kematian anaknya, tapi dunia amat kejam
untuk kita. Anggaplah aku gila setelah kehilangan perempuan yang begitu aku
puja seperti yang diberitakan di awal-awal kasusku diusut. Tidak. Aku tidak
gila; dunia ini yang gila, juga mereka yang membuat Mariaku pergi dengan cara
yang amat menyedihkan dan mereka masih bisa hidup dengan tenang seolah tidak
pernah terjadi apa-apa. Seolah sebuah nyawa begitu tak berharganya.
Dan sebentar lagi, ketika hakim yang agung menjatuhiku hukuman mati
kemudian eksekutor menembakkan timah panas tepat ke jantungku, aku akan segera
menyusul Maria.
“Maaf, Sayang, aku tidak bisa menuntaskan dendam kita.”
Aku menatap tajam pada hakim yang agung yang tersenyum menang karena
berhasil menghukum terdakwa yang mengincar anak bungsunya. Satu dari tujuh orang
pemerkosa Maria tidak sempat aku bunuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar