Ini adalah
rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Sejauh ini aku telah
merencanakan ratusan percobaan bunuh diri dalam hidupku. Dan yang mengesankan
adalah bahwa semua rencana bunuh diriku itu selalu gagal; nyawaku masih saja
tidak mau enyah dari tubuhku yang tidak berharga ini. Apakah bunuh diri memang
sesulit itu?
Aku lihat di
televisi, orang lain mudah saja bunuh diri; hanya menenggak larutan racun tikus
mereka langsung meregang nyawa dengan mulut berbusa dan terkejang-kejang
menyedihkan. Sayangnya, bagi tubuhku racun tikus tidak bekerja sebagaimana
mestinya dan dokter selalu bisa menyelamatkan nyawaku; membuatku harus
menjalani hidup yang tidak aku inginkan untuk kemudian kembali merencanakan
bunuh diri selanjutnya.
Harus kuberitahu
bahwa kegagalanku dalam bunuh diri bukan disebabkan karena aku takut menghadapi
kematian. Aku telah siap lahir batin untuk mati. Akan tetapi, agaknya Tuhan
masih ingin aku hidup dan menjalani kesengsaraan dunia. Aku pernah meminta
saran dari seorang kakek tua yang tinggal di gang sempit dekat pasar mengenai
cara bunuh diri. Kakek Tua yang sekilas terlihat seperti orang gila itu telah
membantu banyak orang untuk bunuh diri dengan saran-sarannya. Namun, saran
untukku tidak berjalan lancar. Dia memberiku saran untuk bunuh diri di rel
kereta; membiarkan tubuhku tertabrak gerbong tanpa ampun kemudian terseret atau
terlindas hingga tak berbentuk lagi. Itu adalah cara bunuh diri terbaik dan
termudah untuk orang yang sudah sangat putus asa sepertiku.
Aku yakin cara
itu akan berhasil membuatku mati. Aku sudah membayangkan kematian yang indah.
Aku sudah membayangkan nikmatnya meninggalkan hidup yang menyengsarakan ini.
Namun, rencana yang sudah kususun itu hancur berantakan ketika temanku
menghalangi dengan tangis yang memilukan. Temanku bersikeras aku harus hidup.
Ini tidak semenyengsarakan yang kau pikir, begitu katanya diikuti semua
kata-kata yang membuatku bingung dan aku menyerah.
Baiklah untuk
kali ini aku menyerah demi temanku yang cengeng, begitu kataku dan kami pulang ke
rumah seolah tidak terjadi apa-apa.
Esoknya aku
kembali ke gang sempit dekat pasar untuk meminta saran lagi pada Kakek Tua.
Namun, yang kutemui adalah kerumunan orang yang sedang berdesakan di gang
sempit di mana Kakek Tua harusnya berada. Setelah aku merangsek dengan susah
payah, barulah aku tahu kalau Kakek Tua yang seperti orang gila itu telah
menjadi korban pembunuhan semalam. Tubuh tua terbalut baju dan sarung kumal itu
terbujur bersimbah darah di dekat gerobak tempatnya biasa tidur.
Sial, makiku. Orang
yang harusnya memberiku saran bunuh diri justru meregang nyawa lebih dulu
sebelum bunuh diriku sukses.
Dari bisik-bisik
kerumunan kuketahui kalau Kakek Tua ditusuk seorang pemuda semalam. Pemuda itu
beberapa hari yang lalu menemui Kakek Tua untuk meminta saran bunuh diri, namun
rencana bunuh dirinya gagal entah apa sebabnya. Dan karena kesal pemuda itu
melampiaskannya pada Kakek Tua.
Dasar sinting!
Aku ingin memaki pemuda bodoh itu. Kalau Kakek Tua mati lalu bagaimana aku dan
dia meminta saran bunuh diri?
Pemuda bodoh itu
dijebloskan ke penjara setelah persidangan, sedangkan aku—yang sudah sangat
putus asa dengan hidup ini—dijebloskan ke tempat yang lebih mengerikan oleh
keluargaku; di mana seluruh ruangan berwarna putih, dan orang-orangnya memakai
baju dan jubah putih. Setiap pagi dan malam hari mereka membawakanku obat
berwarna putih yang pahitnya luar biasa. Di hari lain mereka menusuk lenganku
dengan jarum berisi cairan yang membuatku lemas kemudian kesadaranku
menghilang.
Aku dikurung di
ruang putih itu sendirian dengan kamera pengintai yang terus mengawasiku.
Keadaanku bahkan lebih menyedihkan dibanding pemuda bodoh yang telah menusuk Kakek
Tua hingga tewas. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ingatanku juga sedikit kacau
karena sering kehilangan kesadaran setelah orang berbaju putih menyuntikkan
cairan ke tubuhku. Terakhir aku ingat aku mencoba bunuh diri dengan cara
menenggelamkan diriku di bak mandi. Aku mendengar teriakan ayah dan ibuku, juga
suara pintu yang didobrak tepat sebelum aku kehilangan kesadaran. Aku pikir aku
telah berhasil bunuh diri.
Ah, akhirnya aku
berhasil, pikirku. Namun, ketika aku membuka mata, bukannya surga atau neraka
yang aku lihat, melainkan ruangan putih dengan bau antiseptik yang menyengat.
Aku menemukan diriku dalam keadaan terikat di ranjang dan tepat di sudut
ruangan kamera pengintai itu mengawasi seolah di sebelah ruangan sana ada
sekumpulan orang yang menjadikanku nontonan. Dan di antara mereka berdiri Ayah,
Ibu, dan saudaraku—dan mungkin juga temanku yang pernah mengagalkan rencana
bunuh diriku. Temanku mungkin akan menangis melihatku dari layar monitor
seperti yang biasa dia lakukan ketika mengetahui aku mencoba bunuh diri.
Dan ini adalah
rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku telah mencoba bunuh
diri beberapa kali di ruang putih ini, tapi selalu gagal karena kamera
pengintai selalu membuat orang-orang berbaju putih berhasil menyelamatkanku
sebelum nyawaku enyah. Aku benci benda bulat yang seperti mata itu.
Ini adalah
rencana bunuh diriku yang keseratus delapa puluh tujuh. Aku telah banyak
mempelajari aktivitas orang-orang berbaju putih. Sekitar puluh enam pagi, di
mana embun di luar sana mulai menguap, seorang wanita kurus akan membawakanku
sarapan dengan menu bubur dan abon sapi. Jujur aku katakan itu adalah bubur
paling tidak enak sedunia. Sepertinya pembuatnya tidak tahu takaran garam
karena rasanya selalu keasinan. Namun, aku harus menghabiskan bubur itu di
bawah tatapan wanita kurus yang membawanya.
Setelah bubur
habis tanpa sisa dia akan memberiku obat pahit. Aku tidak tahu itu obat apa.
Obat itu memiliki efek yang hampir sama dengan cairan yang disuntikkan ke
lenganku. Keduanya sama-sama membuatku kehilangan kesadaran. Hanya saja obat
ini efeknya tidak separah cairan. Jika yang cair langsung membuatku kehilangan
kesadaran seketika, maka pil ini hanya membuatku mengambang seperti setengah
terbang. Sulit untuk menjelaskannya. Aku hanya seperti tidak berada di
tempatku. Aku benci obat itu sama seperti aku benci bubur keasinan yang harus
aku makan.
Setelah prosesi
sarapan dan minum obat selesai, wanita kurus itu akan keluar diikuti suara
kunci pintu. Mereka tidak membiarkanku kabur. Aku hanya akan sendirian di
ruangan itu. Sepi sekali. Kadang aku menangis ketika teringat teman-temanku di
sekolah. Aku rindu sekolah. Aku rindu pelajaran Fisika yang memusingkan. Aku
rindu kakak kelas yang membuatku senyam-senyum kasmaran. Aku rindu temanku yang
cengeng dan cerewet. Dan aku rindu percobaan bunuh diriku. Ketika semua
kerinduan itu membuncah dalam diriku dan aku tidak bisa mengendalikannya,
orang-orang berbaju putih akan masuk dengan tergesa. Mereka segera menangkapku,
memegangi lenganku kuat-kuat sebelum menyuntikkan cairan yang membuatku melemah
dan kehilangan kesadaran.
Ketika
kesadaranku menghilang, aku melihat teman-temanku yang sedang bermain di
lapangan sekolah. Mereka tertawa dengan riang, sedangkan aku tidak bersama
mereka. Tangan dan kakiku terikat, kemudian muncul pria-pria berbadan besar.
Mereka melucuti pakaianku dengan tawa yang mengerikan. Aku berteriak, menangis,
tapi mereka justru makin senang. Aku takut. Aku memanggil teman-temanku, tapi
tidak ada yang mendengar. Lalu satu per satu pria berbadan besar dengan tawa
mengerikan itu membuka kakiku. Mereka memasukiku. Rasanya sakit luar biasa. Aku
seperti ditusuk dengan besi panas. Aku berteriak lebih keras hingga aku tidak
bisa mendengar teriakanku sendiri. Dan di sinilah aku berada; di sebuah bilik
rumah sakit jiwa.
Ini adalah
percobaan bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku sudah bosan hidup,
tapi aku harus bersabar untuk mengelabuhi orang-orang berbaju putih dan kamera
pengintai yang bisa menggagalkan rencanaku. Aku makan dengan teratur dan minum
obat tanpa ada lagi paksaan.
“Bagus. Kalau kau
menurut seperti ini terus, kau bisa keluar dari sini lebih cepat.” Wanita kurus
yang membawakanku obat tersenyum semringah setelah aku meminum obat.
Wanita itu bilang keadaanku mengalami perkembangan pesat. Terhitung sudah sebulan ini aku tidak lagi mengalami serangan panik. Kau menunjukkan perkembangan, begitu katanya. Aku hanya mengangguk dengan senyum sebelum mengambil sebuah buku cerita berjudul The Little Prince.
Selain wanita
kurus yang membawakanku makanan dan obat, ada juga wanita berjilbab yang
menemuiku tiga hari sekali. Biasanya dia akan bertanya tentang mimpiku semalam,
juga apa hal yang ingin kulakukan. Sebenarnya aku benci wanita berjilbab ini,
dia banyak bertanya. Tapi demi rencana bunuh diriku, aku harus bersabar.
Aku mengarang
cerita tentang mimpiku; aku bertemu dengan teman-teman sekolahku. Aku juga
bilang kalau aku berharap bisa bertemu dengan kakak kelas yang aku sukai. Di
lain waktu cerita itu sedikit kuubah dengan mengganti teman menjadi keluarga,
atau kakak kelas menjadi pelajaran Fisika. Wanita berjilbab tersenyum senang
mendengar jawabanku.
Ini adalah
rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku yakin tidak akan gagal
meski kamera pengintai itu masih terus mengawasiku. Aku senang melihat
orang-orang berbaju putih percaya bahwa aku tidak akan mencoba bunuh diri lagi
hanya karena aku bersikap baik dan meminum obat seperti perintah mereka. Namun,
mereka tidak tahu kalau obat-obat itu tidak pernah melewati kerongkonganku.
Obat itu hanya aku sembunyikan di bawah lidah untuk kemudian aku simpan di
bawah bantal.
Aku sudah
mengumpulkan obat-obat itu sejak sebulan terakhir. Jumlahnya sudah lebih dari
cukup untuk membuatku overdosis. Kalau obat itu bisa membuat setengah
kesadaranku menghilang dengan dosis yang tepat, artinya dengan dosis yang
melebihi batas obat itu bisa membuatkku kehilangan kesadaran selamanya. Maka,
malam ini, beberapa jam setelah wanita kurus itu memberiku obat dan mengunci
pintu, aku berbaring di ranjang dengan selimut menutupi hingga kepala. Di bawah
selimut aku menelan satu per satu obat yang telah aku kumpulkan.
Ini adalah
rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh, dan aku yakin kali ini aku
berhasil ketika semua yang kulihat bukan lagi ruangan putih, melainkan gelap
dan aku damai di dalamnya. Hidup, selamat tinggal. Aku bebas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar