1/
Puluhan orang
bersorak gembira ketika seekor babi hutan dengan luka menganga di leher
berusaha melepaskan diri dari gigitan anjing Rottweiler di bagian moncongnya.
Ketika akhirnya dia terlempar ke sudut arena, darah mengalir deras dari moncong
hitamnya.
“Habisi celeng
itu!” Ben, pemilik anjing Rottweiler itu, berteriak menyemangati piaraannya
yang kemudian disambut dengan sorak-sorai penonton lain.
Perutku
bergejolak. Aku ingin kabur dari tempat ini, tapi Ben menahanku. Kau harus
menyaksikan kehebatan anjingku, begitu bisiknya. Dia bahkan menarikku untuk
melihat bagaimana babi hutan itu kepayahan berdiri sebelum kembali diserang
oleh Bleki—anjing Ben.
“Jangan jadi
lemah, dan saksikan mereka bertarung!” Kembali Ben berbisik di tengah teriakkan
penonton.
Kedua hewan itu
kembali berhadapan di arena. Napas mereka memburu. Pertandingan yang tidak
imbang karena babi hutan itu sudah kepayahan. Dan benar saja, ketika Bleki
melompat, anjing itu mengigit tepat di leher si babi hutan yang sudah terluka;
mengoyaknya tanpa ampun. Terdengar kuikan panjang seperti orang merintih dari
si babi hutan sebelum tubuhnya terlempar di kubangan di pinggir arena. Tubuhnya
tidak lagi bergerak, hanya tarikan napas yang membuat perutnya kembang kempis
seperti juga perutku yang menahan mual.
“Bunuh! Bunuh!”
teriak Ben, disambut teriakan yang sama dari penonton lain.
“Bunuh! Bunuh!
Bunuh!”
“Tidak, jangan,”
bisikku tidak terdengar siapa pun. Mataku tepat menatap mata babi hutan yang
sudah tidak berdaya.
Tidak ada lagi
kekuatan dalam sorot matanya. Babi hutan itu seakan tahu bahwa ajalnya telah
tiba; mati sebagai tontonan brutal untuk manusia-manusia. Namun, ketika tatapan
mata kami bertemu, babi hutan itu seakan meminta pertolongan dariku. Dia tidak
ingin mati, terlebih di dalam arena ini.
“Hentikan!
Hentikan!”
2/
Aku yakin aku
tidak memasuki permukiman manusia. Aku masih jauh di dalam hutan dengan pohon
yang rimbun. Seekor ular melingkar di dahan tak jauh dariku. Dia mendesis
memperingatkanku. Hati-hati, katanya. Tidak ada yang perlu aku takutkan di
dalam hutan, kecuali buaya yang biasa berdiam diri di dalam rawa untuk menunggu
mangsa.
“Tetap saja. Kau
harus berhati-hati pada manusia.” Ular itu kembali mendesis kemudian beranjak
ke dahan yang lebih tinggi. Tubuh tua membuat gerakannya lebih lambat.
Aku tahu para
penghuni hutan—terlebih babi hutan sepertiku—sedang khawatir pada manusia yang
akhir-akhir ini senang berburu di hutan. Para manusia itu bersama anjing-anjing
yang menyalak memburu babi hutan untuk dibawa ke permukiman. Aku tidak tahu
persis apa yang terjadi pada babi-babi hutan itu. Namun, menurut burung-burung
kecil, babi-babi hutan itu dibawa ke sebuah tempat dengan puluhan manusia untuk
diadu dengan anjing besar.
“Manusia akan
membawa babi itu ke tengah tanah lapang yang dipagari dan anjing-anjing akan
menyerang mereka bergantian tanpa ampun.”
Membayangkannya
saja membuatku bergidik. Para manusia itu seperti sudah kehilangan hiburan
setelah membabat hutan dan menggantinya dengan gedung. Aku berniat kembali ke
seberang rawa ketika ular di atasku kembali mendesis.
“Mereka datang!”
Belum sempat aku
berpikir, terdengar gonggongan anjing diikuti derap langkah. Para pemburu!
Segera aku berlari memasuki hutan lebih dalam. Aku yakin ular tua itu akan aman
di atas dahan. Sekarang yang terpenting aku harus lolos dari para pemburu. Aku
tidak mau berakhir di moncong seekor anjing.
Aku berlari lebih
cepat. Namun, anjing dengan badan ramping itu berlari lebih cepat. Gonggongan
mereka sahut menyahut membuatku tersadar bahwa anjing itu tidak hanya ada satu
atau dua; pasti lebih dari tiga! Mereka mengejar, mereka ingin menangkapku.
Di belakang sana,
seekor anjing kembali menggonggo membuatku berlari lebih cepat, menerobos
semak, melewati ranting. Aku yakin bisa lolos. Namun, seekor anjing hitam
tiba-tiba muncul dari samping. Anjing itu melompat dan tepat mengigit leherku,
membuatku terbanting ke samping dan anjing itu tidak mau melepasku.
Anjing-anjing lain segera menyerbu. Mereka menggonggong menang atas diriku
sekaligus memanggil tuan-tuan mereka.
Setelahnya,
seperti yang diduga, kaki-kakiku diikat pada sebatang dahan untuk dipanggul.
Mereka membawaku ke tempat yang disebut arena. Bangkai babi-babi hutan yang
lebih dulu tertangkap terlihat mengenaskan dengan kepala yang telah terpenggal.
Sedangkan di sisi lain, beberapa babi terpancang dengan luka-luka yang belum
mengering. Babi hutan tidak pernah semenyedihkan ini di rumah mereka di dalam
hutan.
Dan di sinilah aku
keesokan harinya. Di dalam arena, bertarung melawan seekor anjing berbadan
besar dengan liur yang menetes dari sela gigi-gigi yang tajam siap mengoyakku.
Napasku tersengal setelah anjing itu mengigit moncongku tanpa ampun.
Manusia-manusia makin bersorak menyemangati anjing itu, sedangkan aku terdesak
dan nyali kian menciut di tengah sorak-sorai manusia. Susah payah aku bangkit
dengan kaki gemetar. Moncongku perih dan masih terus mengucurkan darah. Anjing
itu kembali menatapku. Dia akan menghabisiku, karena begitulah perintah
tuannya.
“Habisi celeng
itu!”
Anjing itu
melompat ke arahku. Taringnya tepat mengenai leherku yang sudah terkoyak
membuatku menguik tajam sebelum terlempar ke kubangan. Manusia kembali bersorak
menyambut kekalahanku. Aku pasti akan mati. Tubuhku sudah tidak lagi bisa
digerakkan. Aku ingat bangkai teman-temanku yang terpenggal. Apakah aku juga
akan berakhir seperti teman-temanku?
Pandangan mataku
makin melemah sebelum mataku menangkap sosok manusia muda yang terbelalak
menatapku. Tubuhnya gemetar hebat di tengah teriakan manusia yang menginginkan
kematianku. Namun, pemuda itu berbeda.
Tolong aku.
3/
Aku harus menang.
Bagaimanapun caranya aku harus bisa mengalahkan babi hutan. Itu yang
diperingatkan Ben, majikanku, ketika dia membawaku ke arena.
“Jangan membuatku
malu. Habisi celeng itu,” ucap Ben sebelum dia menyerahkanku pada beberapa
orang yang akan membawaku ke hadapan babi hutan sudah berada di tengah arena.
Babi hutan itu masih muda dan terlihat kebingungan di tengah manusia-manusia
yang terus bersorak. Suara pelantang memekak memberi pengumuman bahwa aku akan
melawan babi hutan itu hingga salah satu di antara kami sekarat atau bahkan
mati.
Bagi manusia, aku
dan babi hutan itu tidak lebih dari sebuah nontonan. Namun, bagi Ben, aku
adalah sebuah kebanggaannya. Dia telah merawatku dan sudah semestinya aku
memberi kebanggaan untuknya. Maka ketika Ben berteriak aku harus menghabisi
babi hutan itu, aku melompat, mengiggit moncongnya tanpa ampun.
Kudengar babi itu
menguik kesakitan setelah terlempar. Ah, dia bahkan sudah terluka sebelum aku
datang. Sorot matanya melemah, dia kepayahan. Aku tidak tahu semua ini benar
atau tidak, tapi bagiku semua benar asal itu berasal dari Ben.
“Habisi celeng
itu!” Ben kembali berteriak ketika babi hutan itu kembali berdiri dengan kaki
gemetar.
Harusnya semua ini
sudah berakhir, tapi Ben kembali berteriak. Maka, aku kembali melompat ke arah
babi hutan itu. Kukoyak luka di lehernya dan melemparnya tanpa ampun ke
kubangan. Pada titik ini harusnya babi itu sudah dibawa keluar arena. Babi
hutan itu tidak lagi bergerak; hanya napasnya yang naik turun. Kutatap matanya
yang kian melemah seolah separuh nyawanya telah melayang meninggalkan tubuhnya
yang penuh luka. Namun, baik Ben maupun orang-orang di pinggir arena
meneriakkan kata yang sama: bunuh! Bunuh! Bunuh!
4/
Kakakku memang
laki-laki lemah. Tidak ada yang bisa dia lakukan dengan benar karena dia selalu
memulai segala sesuatu dengan ketakutan. Dia takut pada ketinggian. Dia takut
pada tikus di rumah. Dia takut pada teman-teman yang berbadan besar. Dan,
ketika aku membawa seekor anjing ras Rottweiler ke rumah, dia menjerit
ketakutan nyaris pingsan.
Seorang laki-laki
haruslah pemberani, berulang kali kukatakan pada kakakku. Namun, tetap saja dia
tumbuh sebagai penakut. Kakakku tidak mau dekat-dekat dengan anjingku, bahkan
jika aku memintanya memberi makan.
“Apa kau bisa
menjamin bukan aku yang akan dia makan?”
Aku tidak tahu
bagaimana dia hidup dengan segala macam ketakutan pada dirinya, tapi yang pasti
kakakku harus berubah! Maka ketika aku mendengar tentang pertandingan liar
antara anjing dan babi hutan, aku membawa anjingku ke sana.
Dalam arena
berukur dua puluh kali sepuluh meter itu, seekor babi hutan dan seekor anjing
akan diadu. Dengan membayar sejumlah uang, kubiarkan anjingku bertanding untuk
berlatih.
Kakakku tentu saja
langsung merengek minta pulang saat tahu aku membawanya melihat pertandingan.
Dia muntah beberapa kali ketika melihat dua hewan buas itu beradu dan saling cabik,
tapi aku tidak membiarkannya pergi. Kupegang erat-erat tangan kakakku yang
sedingin es; memaksanya untuk tetap menyaksikan.
“Jangan jadi
lemah, dan saksikan mereka bertarung!”
Kakakku makin
mengigil ketika anjingku berhasil mengoyak leher si babi hutan dan melemparnya
ke kubangan. Napasnya kian memburu di tengah teriakkan orang-orang yang
menyuruh anjingku membunuh si babi hutan.
“Bunuh! Bunuh!
Bunuh!”
“Hentikan,”
desisnya.
Tiba-tiba Kakak
mendorongku hingga terjerembap dan dia berlari ke arena, menerobos wasit yang
berjaga. Tepat ketika anjingku melompat untuk mencabik babi hutan itu untuk
terakhir kalinya, kakakku menghadang dengan tubuh ringkihnya.
Kakakku adalah
laki-laki yang lemah, dan tidak seharusnya dia mendadak menjadi berani untuk
melindungi si babi hutan yang tengah sekarat. Kakakku adalah laki-laki lemah,
dan tidak seharunya dia berakhir di moncong anjingku sendiri.
*catatan: cerpen ini terinspirasi dari artikel di vice(dot)com
berjudul “Gladiator Kaki Empat: Mengintip Arena Duel Terlarang Anjing Versus
Babi Hutan di Jabar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar