Kau melihat takdir
teman-temanmu ketika mereka berusia dua puluh tujuh tahun. Di antara tawa dan
canda saat ini, kau melihat sekelebat peristiwa tentang mereka lima tahun yang
akan datang. Ada yang menikah, ada yang sudah mempunyai anak, bekerja di sebuah
perusahaan besar sesuai impian, dan ada juga yang bercerai dengan pasangannya.
Namun, dari semua penglihatan itu kau tidak bisa melihat takdirmu sendiri di
usia dua puluh tujuh.
Entah ini sebuah
kutukan atau berkah; sejak kecil kau bisa melihat kejadian-kejadian di masa
depan. Kau melihat sidang perceraian kedua orangtuamu jauh sebelum ayahmu
ketahuan selingkuh dengan sekretarisnya yang seksi. Kau melihat kakakmu menikah
bahkan sebelum dia bertemu dengan kekasihnya yang berada di benua seberang. Kau
melihat dirimu kuliah di sebuah kampus bergengsi bahkan sebelum kau masuk
Sekolah Menengah Atas. Selama ini kau menganggap itu semua sebagai berkah,
meski artinya kau juga harus melihat kematian dan kehilangan orang-orang yang kau
sayangi jauh sebelum semua itu terjadi.
Sering kali kau menangisi
sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari. Seperti ketika kau melihat ibumu
meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas setahun sebelum kejadian itu
terjadi. Ketika perkabunganku selesai, ketika kau sudah mengikhlas, kejadian
sebenarnya baru datang dan kau dipaksa untuk mengulang kesedihan yang sama.
Beberapa orang
menganggapmu monster karena penglihatanmu. Kau yang bisa melihat masa depan
atau ucapanmu yang seperti kutukan bagi orang lain? Orang-orang membolak-balik
kata membuatmu frustrasi, maka kau lebih banyak diam ketika melihat masa depan
mereka; entah itu sebuah kebahagiaan atau sebuah kematian.
“Jika itu memang
takdir, maka biarkan semua bergulir apa adanya. Kita manusia hanya bisa
berharap dan berdoa yang terbaik.”
Kau ingat
kata-kata ibumu ketika kau sampaikan penglihatanmu tentang takdirnya. Sejak itu
kau tak pernah lagi membahas tentang penglihatanmu bahkan ketika kau melihat
kekasihmu meninggalkanmu untuk perempuan lain.
“Aku yakin kau
sudah melihat ini jauh sebelum aku mulai berkencan dengan temanmu, bukan?” ucap
kekasihmu di malam ketika ia meminta putus darimu, padahal berbulan-bulan
sebelumnya kau telah mati-matian menahan amarah tentang apa yang akan terjadi
pada kalian berdua.
Benar, kau memiliki
penglihatan yang membuatmu tahu bahwa dia akan mengkhianatimu dengan menjalin
hubungan dengan temanmu sendiri. Akan tetapi, jika dia bisa menebak kalau kau sudah
mengetahui jauh sebelum itu terjadi, bukankah sangat jahat karena dia
menganggap kau bisa menerimanya dengan lapang dada? Kau juga perempuan yang
pasti sakit jika dikhianati, sedangkan dia berkata seolah itu suatu hal yang
tidak menyangkut perasaan. Kau bisa saja memilih meninggalkannya lebih dulu
daripada harus merasakan sakitnya dikhianati. Tapi kau tidak melakukannya
karena kau mencintainya. Kekasihmu tidak tahu bahwa sejak kau melihat takdir kalian,
kau berusaha untuk mengubahnya, tapi sama seperti yang ibumu katakan; takdir
akan tetap bergulir dan kau tidak bisa mengubahnya sedikit pun.
Sejak itu hatimu
tertutup. Orang-orang datang dan pergi; kau melihat kelahiran, kematian,
kebahagiaan, dan kesedihan di sekelilingmu silih berganti. Kau melihat
teman-temanmu di usia kedua puluh tujuh mereka yang akan datang; ada yang
sesuai harapan, ada juga yang di luar dugaan. Namun, dari semua penglihatan itu
kau tidak bisa melihat takdirmu sendiri di usia dua puluh tujuh. Hanya ada
gelap di sana.
Tahun-tahun
berganti, berharap suatu hari—mungkin ketika kau bangun tidur atau ketika hujan
turun—kau bisa melihat masa depanmu. Namun, penglihatan yang kau harapkan tidak
kunjung hadir seolah kau hanya bisa melihat takdir orang lain, seolah kau tidak
pernah bisa melihat masa depanmu sendiri sebelumnya.
“Mungkin
penglihatan itu tertutup oleh kesedihanmu yang bertumpuk-tumpuk,” ucap kakakmu
via telepon.
Selama ini kau hanya
bisa bercerita tentang penglihatanmu pada kakak perempuanmu ini yang sekarang
jauh di Rusia sana sejak menikah dengan suaminya. Kau tidak yakin kesedihan
karena dikhianati oleh kekasih yang masih sangat kau cintai atau kesedihan
karena kematian ibumu bisa menutup penglihatan tentang takdirmu sendiri. Kau juga
sedih dan hancur ketika kedua orangtuamu bercerai karena kau masih membutuhkan
sosok mereka berdua, tapi nyatanya kau masih tetap bisa melihat takdirmu
sendiri setelah perceraian mereka. Jadi, pasti bukan itu masalahnya.
Lalu satu
pemikiran itu muncul dan berdengung-dengung di batok kepalamu.
“Mungkinkah usiaku
tidak sampai di angka dua puluh tujuh?” Mendadak kau limbung, tubuhmu
menggigil. Sekarang usiamu dua puluh lima tahun, itu artinya paling lama dua
tahun lagi mungkin kau akan mati.
Kau terbiasa
melihat kematian orang-orang di sekelilingmu tanpa pernah berpikir bahwa suatu
hari kematian juga akan menghampirimu.
“Jadi itu sebabnya
aku hanya melihat gelap di sana?”
“Ayolah, Yara, kau
masih muda. Kenapa memikirkan tentang kematian?”
“Anak yang baru
lahir meninggal, Ibu yang masih sehat meninggal. Mungkin karena itu aku tidak
bisa melihat hidupku di usia dua puluh tujuh tahun karena aku telah selesai di
dunia ini.”
Kau merasa ini
tidak adil; ketika kau bisa melihat teman-temanmu satu per satu menikah dan
bahagia sedangkan kau harus mati entah apa sebabnya. Kau berpikir, kau telah
banyak menderita dalam dua puluh lima hidupmu; kehilangan Ayah ketika dia
memilih menikah lagi, kehilangan Ibu, dikhianati kekasih dan teman sendiri,
bahkan kau harus hidup sendirian setelah pernikahan kakakmu.
“Aku juga ingin
bahagia,” ucapmu lirih.
Kini kau tidak
lagi bisa menatap langit dengan cara yang sama; ada kegetiran jika mengingat
sebentar lagi kau akan mati—entah kapan tepatnya, mungkin di hari ulang tahunmu
yang kedua puluh tujuh. Kau seperti seorang yang tengah sekarat karena suatu
penyakit mematikan, padahal kau masih sehat dan menyaksikan takdir teman-temanmu
menjadi kenyataan.
Hari ini adalah
sidang perceraian temanmu dengan suaminya. Persis sama seperti yang pernah kau lihat
lima tahun lalu. Dengan mata sayu bergelayut kesedihan, temanmu mengajakmu
bicara.
“Kau pasti sudah
melihat semua jauh sebelum hari ini, bukan?”
Kau hanya diam.
“Andai kau
memberitahuku lebih dulu.”
“Semua orang
mengatakan itu, bahkan jika sebelumnya mereka membantah penglihatanku tentang
kematian orang terdekat mereka. Orang-orang hanya akan mencari pembenaran untuk
diri mereka sendiri, lalu mereka berkata mungkin bisa mengubah tadir.”
“Setidaknya aku bisa bersiap.”
“Tidak ada orang
yang bisa bersiap menghadapi kehilangan ataupun perpisahan. Aku bahkan terpuruk
sekian lama karena kehilangan kekasihku padahal aku sudah melihatnya jauh
sebelum dia meninggalkanku.”
Mungkin harusnya kau
teriakkan kalimat itu ke telingamu sendiri agar kau juga sadar bahwa kau tidak
akan pernah sanggup jika harus mengetahui hari kematianmu. Namun, kau memilih
larut dalam keterpurukan. Di antara rintik-rintik hujan pagi ini, kau berdoa
pada Tuhan, berterimakasih untuk apa pun yang telah dilimpahkan padamu;
penglihatanmu. Dan kau berharap agar tidak harus melihat masa depan lagi. Kau tidak
ingin menjadi angkuh karena merasa bisa menghadapi semua dengan lebih baik
dibanding orang lain, tapi nyatanya tidak.
“Yara, kamu di
mana? Aku sudah di pintu keluar bandara.”
“Iya, ini sudah
sampai tempat parkir.”
Kakakmu pulang
dari Rusia hari ini beserta keluarga kecilnya demi melihat keadaanmu. Dari
balik jendela mobil, kau lihat langit mendung yang masih setia menumpahkan
berjuta liter air hujan sejak subuh tadi. Sialnya kau lupa membawa payung.
Tak mau mendengar
ocehan kakakmu di ujung sana, kau membuka pintu mobil dan bergegas menerobos
hujan. Subuh tadi kau berdoa agar tidak lagi melihat masa depan ataupun berharap
bisa melihat masa depanmu. Namun, detik ini, ketika kau berpapasan dengan
seorang laki-laki yang juga sedang menerobos hujan, ketika mata kalian beradu,
lesatan kejadian-kejadian beradu tubruk dalam benakmu. Pernikahan, senyum,
tangis seorang bayi, sebuah keluarga kecil yang penuh dengan tawa, masa tua
yang damai.
“Masa depanku!”
Seketika kau berbalik untuk menghentikan laki-laki itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar