Laman

Sabtu, 24 September 2022

Ketika Dua Puluh Tujuh


 (telah tayang di Detik.com edisi Sabtu, 27 Juli 2019)

Kau melihat takdir teman-temanmu ketika mereka berusia dua puluh tujuh tahun. Di antara tawa dan canda saat ini, kau melihat sekelebat peristiwa tentang mereka lima tahun yang akan datang. Ada yang menikah, ada yang sudah mempunyai anak, bekerja di sebuah perusahaan besar sesuai impian, dan ada juga yang bercerai dengan pasangannya. Namun, dari semua penglihatan itu kau tidak bisa melihat takdirmu sendiri di usia dua puluh tujuh.

Entah ini sebuah kutukan atau berkah; sejak kecil kau bisa melihat kejadian-kejadian di masa depan. Kau melihat sidang perceraian kedua orangtuamu jauh sebelum ayahmu ketahuan selingkuh dengan sekretarisnya yang seksi. Kau melihat kakakmu menikah bahkan sebelum dia bertemu dengan kekasihnya yang berada di benua seberang. Kau melihat dirimu kuliah di sebuah kampus bergengsi bahkan sebelum kau masuk Sekolah Menengah Atas. Selama ini kau menganggap itu semua sebagai berkah, meski artinya kau juga harus melihat kematian dan kehilangan orang-orang yang kau sayangi jauh sebelum semua itu terjadi.

Sering kali kau menangisi sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari. Seperti ketika kau melihat ibumu meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas setahun sebelum kejadian itu terjadi. Ketika perkabunganku selesai, ketika kau sudah mengikhlas, kejadian sebenarnya baru datang dan kau dipaksa untuk mengulang kesedihan yang sama.

Beberapa orang menganggapmu monster karena penglihatanmu. Kau yang bisa melihat masa depan atau ucapanmu yang seperti kutukan bagi orang lain? Orang-orang membolak-balik kata membuatmu frustrasi, maka kau lebih banyak diam ketika melihat masa depan mereka; entah itu sebuah kebahagiaan atau sebuah kematian.

“Jika itu memang takdir, maka biarkan semua bergulir apa adanya. Kita manusia hanya bisa berharap dan berdoa yang terbaik.”

Kau ingat kata-kata ibumu ketika kau sampaikan penglihatanmu tentang takdirnya. Sejak itu kau tak pernah lagi membahas tentang penglihatanmu bahkan ketika kau melihat kekasihmu meninggalkanmu untuk perempuan lain.

“Aku yakin kau sudah melihat ini jauh sebelum aku mulai berkencan dengan temanmu, bukan?” ucap kekasihmu di malam ketika ia meminta putus darimu, padahal berbulan-bulan sebelumnya kau telah mati-matian menahan amarah tentang apa yang akan terjadi pada kalian berdua.

Benar, kau memiliki penglihatan yang membuatmu tahu bahwa dia akan mengkhianatimu dengan menjalin hubungan dengan temanmu sendiri. Akan tetapi, jika dia bisa menebak kalau kau sudah mengetahui jauh sebelum itu terjadi, bukankah sangat jahat karena dia menganggap kau bisa menerimanya dengan lapang dada? Kau juga perempuan yang pasti sakit jika dikhianati, sedangkan dia berkata seolah itu suatu hal yang tidak menyangkut perasaan. Kau bisa saja memilih meninggalkannya lebih dulu daripada harus merasakan sakitnya dikhianati. Tapi kau tidak melakukannya karena kau mencintainya. Kekasihmu tidak tahu bahwa sejak kau melihat takdir kalian, kau berusaha untuk mengubahnya, tapi sama seperti yang ibumu katakan; takdir akan tetap bergulir dan kau tidak bisa mengubahnya sedikit pun.

Sejak itu hatimu tertutup. Orang-orang datang dan pergi; kau melihat kelahiran, kematian, kebahagiaan, dan kesedihan di sekelilingmu silih berganti. Kau melihat teman-temanmu di usia kedua puluh tujuh mereka yang akan datang; ada yang sesuai harapan, ada juga yang di luar dugaan. Namun, dari semua penglihatan itu kau tidak bisa melihat takdirmu sendiri di usia dua puluh tujuh. Hanya ada gelap di sana.

Tahun-tahun berganti, berharap suatu hari—mungkin ketika kau bangun tidur atau ketika hujan turun—kau bisa melihat masa depanmu. Namun, penglihatan yang kau harapkan tidak kunjung hadir seolah kau hanya bisa melihat takdir orang lain, seolah kau tidak pernah bisa melihat masa depanmu sendiri sebelumnya.

“Mungkin penglihatan itu tertutup oleh kesedihanmu yang bertumpuk-tumpuk,” ucap kakakmu via telepon.

Selama ini kau hanya bisa bercerita tentang penglihatanmu pada kakak perempuanmu ini yang sekarang jauh di Rusia sana sejak menikah dengan suaminya. Kau tidak yakin kesedihan karena dikhianati oleh kekasih yang masih sangat kau cintai atau kesedihan karena kematian ibumu bisa menutup penglihatan tentang takdirmu sendiri. Kau juga sedih dan hancur ketika kedua orangtuamu bercerai karena kau masih membutuhkan sosok mereka berdua, tapi nyatanya kau masih tetap bisa melihat takdirmu sendiri setelah perceraian mereka. Jadi, pasti bukan itu masalahnya.

Lalu satu pemikiran itu muncul dan berdengung-dengung di batok kepalamu.

“Mungkinkah usiaku tidak sampai di angka dua puluh tujuh?” Mendadak kau limbung, tubuhmu menggigil. Sekarang usiamu dua puluh lima tahun, itu artinya paling lama dua tahun lagi mungkin kau akan mati.

Kau terbiasa melihat kematian orang-orang di sekelilingmu tanpa pernah berpikir bahwa suatu hari kematian juga akan menghampirimu.

“Jadi itu sebabnya aku hanya melihat gelap di sana?”

“Ayolah, Yara, kau masih muda. Kenapa memikirkan tentang kematian?”

“Anak yang baru lahir meninggal, Ibu yang masih sehat meninggal. Mungkin karena itu aku tidak bisa melihat hidupku di usia dua puluh tujuh tahun karena aku telah selesai di dunia ini.”

Kau merasa ini tidak adil; ketika kau bisa melihat teman-temanmu satu per satu menikah dan bahagia sedangkan kau harus mati entah apa sebabnya. Kau berpikir, kau telah banyak menderita dalam dua puluh lima hidupmu; kehilangan Ayah ketika dia memilih menikah lagi, kehilangan Ibu, dikhianati kekasih dan teman sendiri, bahkan kau harus hidup sendirian setelah pernikahan kakakmu.

“Aku juga ingin bahagia,” ucapmu lirih.

Kini kau tidak lagi bisa menatap langit dengan cara yang sama; ada kegetiran jika mengingat sebentar lagi kau akan mati—entah kapan tepatnya, mungkin di hari ulang tahunmu yang kedua puluh tujuh. Kau seperti seorang yang tengah sekarat karena suatu penyakit mematikan, padahal kau masih sehat dan menyaksikan takdir teman-temanmu menjadi kenyataan.

Hari ini adalah sidang perceraian temanmu dengan suaminya. Persis sama seperti yang pernah kau lihat lima tahun lalu. Dengan mata sayu bergelayut kesedihan, temanmu mengajakmu bicara.

“Kau pasti sudah melihat semua jauh sebelum hari ini, bukan?”

Kau hanya diam.

“Andai kau memberitahuku lebih dulu.”

“Semua orang mengatakan itu, bahkan jika sebelumnya mereka membantah penglihatanku tentang kematian orang terdekat mereka. Orang-orang hanya akan mencari pembenaran untuk diri mereka sendiri, lalu mereka berkata mungkin bisa mengubah tadir.”

“Setidaknya aku bisa  bersiap.”

“Tidak ada orang yang bisa bersiap menghadapi kehilangan ataupun perpisahan. Aku bahkan terpuruk sekian lama karena kehilangan kekasihku padahal aku sudah melihatnya jauh sebelum dia meninggalkanku.”

Mungkin harusnya kau teriakkan kalimat itu ke telingamu sendiri agar kau juga sadar bahwa kau tidak akan pernah sanggup jika harus mengetahui hari kematianmu. Namun, kau memilih larut dalam keterpurukan. Di antara rintik-rintik hujan pagi ini, kau berdoa pada Tuhan, berterimakasih untuk apa pun yang telah dilimpahkan padamu; penglihatanmu. Dan kau berharap agar tidak harus melihat masa depan lagi. Kau tidak ingin menjadi angkuh karena merasa bisa menghadapi semua dengan lebih baik dibanding orang lain, tapi nyatanya tidak.

“Yara, kamu di mana? Aku sudah di pintu keluar bandara.”

“Iya, ini sudah sampai tempat parkir.”

Kakakmu pulang dari Rusia hari ini beserta keluarga kecilnya demi melihat keadaanmu. Dari balik jendela mobil, kau lihat langit mendung yang masih setia menumpahkan berjuta liter air hujan sejak subuh tadi. Sialnya kau lupa membawa payung.

Tak mau mendengar ocehan kakakmu di ujung sana, kau membuka pintu mobil dan bergegas menerobos hujan. Subuh tadi kau berdoa agar tidak lagi melihat masa depan ataupun berharap bisa melihat masa depanmu. Namun, detik ini, ketika kau berpapasan dengan seorang laki-laki yang juga sedang menerobos hujan, ketika mata kalian beradu, lesatan kejadian-kejadian beradu tubruk dalam benakmu. Pernikahan, senyum, tangis seorang bayi, sebuah keluarga kecil yang penuh dengan tawa, masa tua yang damai.

“Masa depanku!” Seketika kau berbalik untuk menghentikan laki-laki itu.

 

Pekalongan, Januari-Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar