(telah dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 8 Desember 2019)
Dua ekor naga berwarna hijau
kehitaman bersarang di dada Mei, kekasihku. Sepasang, tepatnya jantan dan
betina. Mereka beterbangan ke sana kemari dan sesekali mencakar ketika akan
kawin. Mei hanya bisa meringis kesakitan ketika sepasang naga itu memberi bekas
cakar melintang di dadanya. Bahkan, tak jarang si jantan menyembur-nyemburkan
api untuk memikat si betina. Ketika itu terjadi, Mei akan buru-buru ke kamar
mandi untuk menyiram dadanya yang nyaris melepuh. Mei selalu dibuat kepayahan
oleh kedua ekor naga di dadanya.
Kukatakan padanya bahwa ia harus
mengusir naga-naga itu. Mereka menyakiti kekasihku. Dada Mei tak lagi seindah
dulu sejak kehadiran mereka. Naga-naga itu datang setahun yang lalu, tepatnya
setahun sejak kami pacaran. Mereka tiba-tiba muncul di sana entah datang dari
mana. Mei menjerit ketakutan ketika itu. Naga hanya ada dalam dongeng; Mei tak
percaya dengan apa yang dia lihat. Aku memeriksanya dan yakin bahwa itu
memanglah naga dengan sayap lebar, sisik, dan semburan api. Aku pun belum
pernah melihat naga secara langsung, hanya lihat dari buku dongeng dan
film-film ciptaan sutradara luar negeri. Sebelumnya, aku pun berpikir naga
hanyalah imajinasi orang-orang dengan khayalan tingkat tinggi.
Suatu malam, ketika kami
menghabiskan malam minggu dengan saling raba di teras rumah, naga itu terbang
dengan mengepakkan sayap lebar-lebar. Keduanya terbang tak beraturan menguasai
dada Mei. Mungkin mereka ingin kawin, sama sepertiku ketika melihat Mei yang
tampak lebih cantik dibanding malam-malam sebelumnya. Naga-naga itu tak
membiarkanku untuk melihat dada Mei. Mereka membangun sarang di sana, dengan
jerami, ranting-ranting juga kapas yang entah didapat dari mana. Kesal, aku
menyudahi kunjunganku malam itu. Aku harus menyingkirkan mereka, tekadku malam
itu.
Salah satu temanku bilang, mungkin
naga-naga itu adalah kiriman dari orang yang tak suka pada Mei. Mereka dendam
dan ingin mengganggu Mei dengan naga di dadanya. Aku tak yakin. Mei adalah
orang yang baik. Dia tak pernah terlibat masalah dengan orang lain. Di tempat
kerjanya, Mei adalah karyawan yang punya banyak teman, menjadi orang kepercayaan
atasan dan selalu bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Semua orang di
kantornya, baik laki-laki maupun perempuan, suka padanya. Jadi mana mungkin ada
yang menaruh dendam hingga mengirim naga mengerikan seperti itu pada Mei?
“Ayo kita ke paranormal,” ajakku
suatu hari. Mungkin dengan cara itu mereka akan menghilang. Namun, Mei menolak.
Dia tak mau pergi ke paranormal.
“Kau tidak dengar ada berita
tentang paranormal cabul?”
“Aku akan ada di sana, jadi mana
mungkin paranormal itu akan mencabulimu?”
“Tetap saja, dadaku yang akan
dilihat. Pokoknya aku tidak mau.” Tak ada lagi pembahasan tentang paranormal.
Mei menolak mentah-mentah usulanku.
Aku bisa mengerti ketakutannya,
tapi aku lebih takut pada apa yang akan terjadi pada dada Mei. Mau sampai kapan
sepasang naga itu bersarang di sana?
Kegelisahanku ini kian memuncak.
Bukan tanpa sebab, aku telah berencana untuk melamar Mei. Orangtuaku sudah
mewanti-wanti bahwa Mei harus menjadi menantu mereka. Bapak rela menjual sawah
untuk membiayai pernikahanku, tentu sebuah pesta pernikahan yang mewah guna
memboyong Mei yang cantik ke rumah kami. Orangtuaku sangat menyukai Mei. Mereka
berharap anaknya bisa mendapatkan istri sebaik dan secantik Mei dengan dada
yang mereka yakini bisa membuatku nyaman tertidur di atasnya. Entah apa yang
akan mereka pikirkan jika mengetahui ada sepasang naga mengerikan di dada yang
indah itu. Bagaimana jika ibuku jadi tak suka pada Mei? Bayang-bayang tentang
cinta yang tak direstui orangtua mulai menggangguku. Aku tak mau berpisah
dengan Mei hanya karena sepasang naga di dadanya.
Aku tak bisa membiarkan itu
terjadi. Maka, aku mencari informasi tentang naga di internet atau tentang
hewan yang tinggal di tubuh manusia. Jika itu cacing atau kutu masih bisa
dimaklumi, tapi ini dua ekor naga! Aku benar-benar bisa gila jika membiarkan
mereka tetap berada di sana. Dari media sosial, aku berkenalan dengan seseorang
yang bercerita tentang seekor burung yang pernah tinggal di dalam kepalanya.
“Mereka terbang, aku bisa mendengar
kepak sayapnya di kepalaku,” ucapnya ketika kami melakukan kopi darat untuk
lebih membahas tentang burung di kepalanya. Dia seorang laki-laki seumuranku.
“Aku tak bisa berkonsentrasi karena
burung itu terus berkoar-koar tak jelas. Bisa kau bayangkan suara burung yang
begitu memekakan telinga berada di dalam kepalamu?”
Ya, aku bisa membayangkan, itu
pasti sangat mengganggu. Sama seperti dua ekor naga di dada Mei. Mereka
mengganggu ketika aku ingin merabanya.
“Kenapa ada burung di kepalamu?”
tanyaku.
“Mungkin itu karma.”
Karma? Aku mengerutkan kening. Apa
benar ada karma di dunia ini sebagai hasil dari perbuatan buruk seseorang di
masa lalu?
“Dulu aku senang berburu burung di
kampungku, menggunakan senapan angin. Kau tahu, kan? Entah berapa ratus ekor
yang sudah aku tembak.”
Kejadian seperti itu bisa saja
terjadi walaupun aku tak begitu percaya tentang karma. Mungkin penguasa burung
telah mengutuk dan mengirim burung siluman untuk masuk ke dalam tempurung
kepalanya sebagai ganjaran atas apa yang telah orang ini lakukan. Namun, aku jadi
tak mengerti; tak mungkin naga-naga di dada Mei adalah sebuah karma. Mei tak
mungkin berburu naga, bukan?
“Lalu apa yang kau lakukan?”
tanyaku.
“Aku pergi ke paranormal. Di sana
aku diberitahu kalau aku harus melepas seratus ekor burung ke alam liar agar
kutukanku dicabut. Aku melakukannya dan sekarang aku sehat, tentu aku juga tak
lagi berburu. Kapok!”
Mei tak mau pergi ke paranormal.
Dia sangat benci hal-hal yang berbau mistis. Kemenyan, bunga setaman,
jampi-jampi adalah hal tabu bagi Mei. Aku bisa mengerti, mana mungkin Mei yang
baik dan cantik, harus pergi ke paranormal, bertemu dengan dukun mengerikan
yang berbau kemenyan. Sungguh malang nasib kekasihku. Maka, setelah
perbincangan kami usai, teman baruku ini mengantarku ke seorang paranormal.
“Katakan saja apa masalahmu,
paranormal itu akan memberikan jalan keluarnya. Kekasihmu pasti selamat.”
Bau kemenyan seketika menyerang
indra penciumanku begitu aku masuk ke sebuah rumah gubuk. Seorang laki-laki
dengan pakaian serba hitam menungguku di belakang meja yang penuh bebungaan.
“Kau harus meninggalkan kekasihmu,”
ucap sang paranormal setelah aku bercerita tentang kondisi Mei.
Bagaimana bisa aku harus
meninggalkan Mei? Aku ini cinta mati padanya dan berencana untuk melamar Mei.
Kami akan menikah, punya anak yang cantik-cantik seperti dirinya. Lagipula, apa
hubungannya naga dengan aku harus meninggalkan Mei?
“Itu jalan satu-satunya agar naga
di dada kekasihmu bisa menghilang.”
Aku tak mau. Lebih baik aku
membiarkan naga-naga itu tetap bersarang di dada Mei daripada aku harus
meninggalkannya. Aku tak masalah jika harus berbagi tempat dengan sepasang naga
itu.
“Naga itu memang sengaja ada di
sana agar kau tak menyentuh kekasihmu. Mereka tak akan pergi sebelum kau
meninggalkannya.”
Aku tak percaya. Kenapa juga
naga-naga itu tak memperbolehkan aku menyentuh Mei? Mei adalah pacarku dan dia
juga tak keberatan aku menyentuhnya karena kami saling mencintai. Paranormal itu pasti salah. Dia pasti belum
pernah merasakan cinta macam aku dan Mei. Aku pergi dengan amarah dan hati yang
gusar menuju rumah Mei. Aku akan katakan pada Mei bahwa aku tak masalah dengan
naga-naga di dadanya. Bulan depan aku akan melamarnya.
***
Sudah empat bulan aku tak mendengar
kabar Mei. Terakhir aku dengar dia akan menikah dengan atasannya, seorang
pemuda tampan yang kaya raya. Aku menyerah tentang Mei, juga tentang sepasang
naga di dadanya. Aku yakin sekarang naga-naga itu telah pergi, tak lagi
bersarang di sana apalagi mencakar dada Mei. Aku yakin kini Mei hidup tenang
karena kegelisahannya memang berasal dari diriku.
Kini aku mengerti ucapan paranormal
yang aku temui itu bahwa aku harus meninggalkan Mei agar naga-naga itu pergi.
Mereka memang tak ingin aku menyentuhnya. Lebih tepatnya, Mei tak ingin aku
menyentuh dirinya sedangkan dalam hatinya ada lelaki lain. Lelaki yang kini
akan menjadi suami Mei.
Malam itu, sepulang aku dari rumah
paranormal, aku melihat Mei sedang bercumbu dengan atasannya di dalam mobil di
halaman rumah Mei. Cumbuan hangat seperti yang sering kami lakukan di malam Minggu.
Walau dari kejauhan, aku bisa melihat naga-naga itu tak ada di dada Mei. Mereka
duduk tenang di sebelah Mei, membiarkan lelaki itu meraba dada kekasihku. Pun
tak ada penolakan dari Mei. Di sana aku sadar bahwa naga-naga itu berasal dari
diri Mei sendiri, bukan kiriman orang yang tak menyukainya atau pun karma dari
hal buruk yang pernah Mei perbuat. Mereka, lebih tepatnya Mei, berusaha menjaga
tubuhnya agar tak lagi aku jamah karena sudah luntur cinta untukku.
“Kau ingin bersama atasanmu itu?”
Akhirnya aku bertanya, Mei tak menjawab dan hanya bisa menangis. Kulihat
sepasang naga di dadanya ikut meringkuk di antara dua gundukan kembar. Mereka
mengiba.
Aku
pun tak lagi berkata-kata. Kutinggalkan Mei bersama sepasang naga di dadanya
yang sebentar lagi pun akan menghilang mengikuti kepergianku. Mungkin suatu
hari nanti sepasang naga itu akan datang kembali, bersarang di dada Mei ketika
mantan kekasihku itu bosan dengan atasannya. Mungkin aku akan ada di sana, tapi
mungkin juga aku sudah bersama gadis lain. Aku tak tahu. Mungkin juga suatu
hari akan aku temui naga serupa di dada kekasihku yang lain karena di dunia ini
tak pernah benar-benar ada yang namanya setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar