(Pertama kali dimuat di Rubrik Fiksi Harian Denpost edisi Minggu, 13 Oktober 2019)
Ada orang yang tidak saling cinta tapi hidup bersama hingga tua dan
mati. Ada orang saling cinta, hidup bersama, bertengkar dan pisah. Ada orang
saling cinta, hidup bersama, dan bahagia. Bagi kita, cinta saja tidak cukup
untuk membuat kita bersama. Takdir dan alam tidak mempertemukan kita untuk
bahagia bersama. Kita bagai ikan yang melawan arus air dan tidak pernah sampai
ke hulu.
Sudah berapa kehidupan yang kita jalani untuk saling menemukan, Sayang?
Aku tidak lagi bisa menghitung. Agaknya Tuhan sangat senang mempermainkan kita.
Apa yang salah dari saling mencintai? Tapi kita dihukum dengan cara paling
menyesakkan: dilahirkan kembali untuk saling menemukan tapi kemudian dipisahkan
lagi dengan kematian.
Aku ingat di kehidupan yang telah lalu ketika kau lahir sebagai api. Kau
begitu panas, Sayang, dan sangat indah. Kita merayakan pertemuan kita di tanah
lapang, menuntaskan rindu dalam percintaan. Namun, alam mengutuk kita. Menyebut
pertemuan kita sebagai bencana. Dan, manusia menyebut kita sebagai tornado api;
ketika angin dan api berputar-putar membakar lahan, rumah, dan menewaskan
makhluk hidup lain. Bumi berkabung karena pertemuan kita.
Kita tidak mengerti apa yang terjadi. Kau dan aku hanya menuntaskan
rindu yang tidak berkesudahan. Namun, lagi-lagi Tuhan menghukum kita dengan
kematian.
“Mengapa begitu sulit bagi kita untuk bersama?” tanyamu saat itu.
Entahlah, Sayang. Sepertinya Tuhan memang senang bermain dengan perasaan
kita. Dia yang menciptakan sebuah perasaan di antara kita, tapi Dia juga yang
melarang dan menghukum kita. Seperti Tuhan menciptakan buah khuldi dan melarang
Adam dan Hawa memakannya.
“Mungkin kita hanya perlu bersabar sedikit lagi, Sayang?”
Mungkin. Mungkin, Sayang. Sedikit lagi, setelah beberapa kehidupan lagi,
mungkin Tuhan akan luluh. Mungkin Dia akan mengerti bahwa tidak pernah ada
setitik dosa pun dalam sebuah cinta. Terlebih cinta seperti yang kita miliki.
Jadi, mari bersabar sebentar lagi.
Setelahnya aku terlahir kembali. Puluhan tahun hidup aku jalani untuk
mencarimu. Mungkin kau berada di belahan bumi lain. Kulintasi cakrawala dengan
sayap lebar seekor elang, membelah langit untuk mencarimu. Tajam mataku
berusaha menemukanmu dari ketinggian. Mungkin kau lahir sebagai pohon, lalat,
kucing, atau cacing. Tapi aku tidak kunjung juga menemukanmu hingga akhir
hayat. Kau tidak terlahir di kehidupan ini.
Bukan hanya sekali itu terjadi. Kita tidak selalu terlahir bersamaan
untuk saling menemukan. Ada kalanya kau lahir, tapi aku masih terperangkap di
akhirat. Atau aku terlahir ke dunia dan hanya bisa menemukan jejak-jejakmu,
peninggalanmu, atau jasadmu yang membusuk. Maka, aku lebih memilih untuk segera
mengakhiri hidup. Tidak ada gunanya terlahir tanpa dirimu di sini.
Dan kini, aku lahir sebagai seorang anak manusia. Kurasakan setiap angin
yang datang, mungkin itu dirimu, tapi bukan. Aku berbisik pada tiap pohon,
menebakmu, tapi tidak ada satu pun pohon yang itu adalah kau. Aku meninggalkan
pesan pada setiap hewan dan tumbuhan untuk menyampaikan salamku padamu,
Kekasihku. Tidak ada jawaban. Yang ada justru guncingan dari orang-orang yang
menganggapku gila.
“Anakmu sudah gila,” begitu kata tetangga pada perempuan yang
melahirkanku.
Mereka tidak mengerti. Aku hanya sedang mencari kekasihku. Perempuan
yang mengaku ibuku pun tidak mengerti. Dia beranggapan sesosok hantu telah
membuatku menjadi gila dan hanya ada satu cara untuk menyembuhkanku, yaitu
menikahkanku!
Aku tidak mau menikah dengan orang lain. Aku hanya ingin dirimu, tapi
kau entah ada di mana; mungkin terperangkap di akhirat dan belum terlahir
kembali. Sedangkan aku harus terperangkap dalam pernikahan dengan orang asing
yang entah di kehidupan yang lalu dia ini siapa atau apa. Aku katakan padanya
bahwa aku harus mencari kekasihku.
“Mungkin sekarang dia lahir sebagai batu atau es di kutub, sehingga
tidak bisa mendengar salamku. Aku harus mencarinya,” kataku, tapi dia justru
memakiku, meneriakku layaknya aku adalah orang gila.
“Kenapa aku harus menikah dengan orang gila,” katanya.
Aku tidak pernah memintanya menikah denganku. Aku pun sengsara dengan
pernikahan ini. Dia sendiri yang keranjingan tidak sabar menikahiku begitu
melihatku. Sayang, aku harap kau tidak cemburu. Aku sungguh terpaksa menikah
dengan orang asing yang tidak mengerti arti cinta sejati ini demi status yang
selalu digaung-gaungkan oleh perempuan yang mengaku ibuku.
Di malam hari, aku sering meninggalkannya di kamar sendirian. Aku pergi
ke luar untuk berbisik pada hewan-hewan malam juga pada bintang-bintang untuk
menyampaikan salamku andai mereka bertemu denganmu.
“Katakan pada kekasihku bahwa aku masih tetap mencintainya, jadi
tunggulah di kehidupan selanjutnya,” salamku untukmu.
Pada tiap salam yang aku titipkan, aku berharap ada satu salam yang
sampai padamu walaupun salam itu harus melewati kematian sekalipun. Kau harus
tahu bahwa aku masih terus menunggu dan mencarimu dengan cinta yang sama saat
pertama kali kita bertemu.
Di pagi buta, aku menyusuri hutan di perbatasan kampung; berbisik pada
tiap-tiap pohon di sana. Itukah kau, Sayang, bisikku. Tidak ada jawaban yang
artinya itu bukan kau. Maka, aku melangkah lebih jauh lagi ke dalam hutan;
bertemu ular dan tupai yang kegirangan melihat seorang anak manusia memasuki
hutan.
“Aku mencari kekasihku,” kataku.
“Mungkin di sana, jauh di dalam hutan yang gelap,” kata mereka.
Aku kembali melangkah, menembus dahan-dahan yang menghalangi jalan,
menyingkirkan ranting-ranting yang tumbang. Entah mungkin karena rindu yang
sudah tidak lagi bisa aku bendung, aku merasa sebentar lagi akan bertemu
denganmu di hutan ini. Kau berada tidak jauh dariku sekarang, Sayang.
Dan, benar saja. Kau memang di sini, dalam hutan
ini ketika mata tajammu melihatku. Aku terkesiap sesaat ketika melihat sosokmu.
Cantik, anggun, dan begitu buas. Aku mundur selangkah begitu menyadari dirimu yang kali ini terlahir
sebagai seekor harimau.
Kau memang cantik, kau memang anggun, dan kau pasti mengenaliku sebagai
kekasihmu, tapi hewan buas tetaplah hewan buas. Dalam sekali lompat, kau
menerkamku. Cumbuan yang harusnya begitu mesra berubah menjadi gigitan buas
yang meremukkan tulang-tulangku, mengoyak dagingku dan mencabiknya. Darahku
mengucur dari bekas gigitanmu yang tanpa ampun. Tanganku masih berusaha
membelaimu.
“Aku merindukanmu, Sayang,” bisikku.
Apa yang lebih indah dari kematian di tangan
seorang kekasih? Aku ingat pertemuan pertama kita. Kau lelaki yang gagah dan
aku adalah suami dari seorang wanita. Apa yang salah dari rasa cinta yang
tumbuh di antara kita? Aku pun tidak mengerti sampai sekarang, tapi Tuhan masih
saja menghukum kita. Terus. Berulang kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar