Laman

Rabu, 16 Oktober 2019

Sebuah Percakapan

(Pertama kali tayang di Apajek.id)

Kau datang lagi setelah sekian lama menjauhiku. Kau datang bak teman lama yang kembali dari sebuah perjalanan jauh dan aku harus menyambutmu dengan suka cita, dengan senyuman, meski aku tak menginginkannya. Aku memang pernah menantikanmu datang padaku. Namun, aku harus jujur bahwa untuk saat ini aku tidak sedang menantikanmu. Pergilah, jangan datang untuk saat ini. Kau datang di saat yang tidak tepat.

“Semua orang mengatakan itu,” ucapmu datar.

Kecuali aku maksudmu? Aku pernah memintamu datang. Kau mungkin lupa bahwa bertahun-tahun yang lalu aku memintamu datang menjemputku dan kau begitu tak acuh padaku. Aku memohon kedatanganmu, hingga aku lupa cara memohon yang benar. Dan, kau masih tidak pernah datang.

“Semua ada waktunya. Seperti tanaman di pekarangan rumahmu yang berbuah pada musimnya, begitu juga tentang kedatanganku.”

Angin di luar sana berembus, mempermainkan dedaunan seperti juga kau mempermainkan orang-orang sepertiku. Kau seolah tengah menertawakan ketidakberdayaanku dengan datang dan tak acuh sesuka hati. Apa itu kuasa Tuhan? Aku yakin Tuhan tak memberimu kuasa semacam itu untuk mempermainkan manusia.

“Itulah yang disebut takdir. Bukankah aku sudah tercatat dalam takdir hidupmu bahkan sebelum kau lahir? Ketika kau baru berbentuk segumpal daging kala itu.”

Takdir macam apa yang begitu jahat? Tentu kau masih ingat bagaimana kau menjemput kedua orangtuaku secara biadab dalam sebuah pembantaian orang-orang berbendera merah. Padahal ayah dan ibuku hanya seorang petani melarat yang memberi makan anak-anaknya dengan ampas singkong, hingga aku dan saudara-saudaraku mengalami gizi buruk. Paceklik sudah mencekikku sejak lahir. Di usia tiga tahun aku masih menyusu pada ibuku hingga puting itu mengering tanpa sisa dan aku masih juga berharap untuk mendapat makan dari sana karena tidak ada makanan lain untuk mengganjal perutku.  Jangankan berpikir untuk memberontak pada negeri, bahkan berpikir tentang perut kami esok hari pun kami tak sanggup. Dan aku harus melihat para tentara itu menyembelih orangtuaku sebelum kau menjemput ajal mereka.

“Peperangan dan pembantaian selalu menjadi jalan yang manusia ambil untuk sebuah perdamaian. Entah apa yang mereka pikirkan karena itu adalah dua hal yang bertolak belakang. Dan itu bukan kuasaku.”

Jangan berkata seolah kau tak pernah menjadi alasan dari tangis di dunia. Seorang anak yang ditinggal ibunya, seorang adik yang ditinggal kakaknya, seorang ayah yang ditinggal anaknya, dan seorang …,

“Dan seorang suami yang ditinggal istri tercintanya?”

Kau masih mengingatnya.

“Kau tak pernah belajar ikhlas!”

Ikhlas yang seperti apa?

“Bahwa di setiap kedatanganku, manusia diajarkan untuk ikhlas.”

Hal yang wajar jika aku merasa kehilangan, bukan? Dia gadis yang cantik. Bunga desa. Dan kami saling cinta. Dalam ikatan suci kami membina rumah tangga, melahirkan putra-putri yang sehat. Namun, kau mengambilnya setelah bertahun-tahun istriku harus berjuang melawan kanker rahim.

Malam itu dia begitu rapuh, begitu pucat, dingin, dan dengan napasnya yang tinggal satu-satu istriku berkata bahwa dia begitu takut meninggalkanku. Sejujurnya aku tidak takut kematian, aku hanya takut harus meninggal orang selemah dirimu, begitu katanya. Dan benar, selepas pemakamannya aku memilih beranjak ke kamar, mengurung diri, dan tak pernah lagi membuka pintu bahkan untuk anak-anak kami. Aku begitu kehilangan istriku.

Sehari, dua hari, berlalu menjadi minggu, bulan dan tahun. Anak-anakku masih setia mengetuk pintu kamarku, memohon agar aku keluar dan kembali melihat dunia. Ibu pasti sedih melihat Ayah seperti ini, kata si sulung. Ayah harus bangkit dan melanjutkan hidup, itu yang diinginkan Ibu, kata si bungsu. Namun, aku tetap dalam perkabunganku dengan terus memohon agar kau datang. Ambil nyawaku agar aku bisa bertemu dengan istri tercintaku, kataku, tapi kau tak acuh.

“Maka harusnya kau ikhlas, seperti benih-benih bunga dandelion yang ikhlas terbawa angin untuk tumbuh di tempat lain.”

Aku tidak bisa. Aku terlalu mencintainya. Di tengah malam aku merasakan kerinduan yang menyesakkan. Aku masih memanggilmu agar bisa bertemu dengan istriku. Sebuah kematian tidak akan pernah mengerti arti cinta bagi manusia.

“Itulah kesalahanmu. Bukankah istrimu yang kau bilang sangat kau sayang itu telah memintamu menjaga warisannya yang paling berharga, yaitu anak-anak kalian. Namun, kau memilih berjibaku dengan perkabunganmu yang menyedihkan. Kau mengabaikan mereka, padahal mereka adalah tanggung jawabmu.”

Maka inilah saatnya. Si sulung tengah hamil dan katanya bulan depan cucu pertamaku itu akan lahir ke dunia. Jadi, biarkan aku menyambutnya dulu. Aku ingin melihat jari-jarinya yang kecil dan mendengar pekik tangisnya. Aku mohon, beri aku waktu.

“Kau sendiri pasti tahu bahwa ini sudah terlambat. Ingat usiamu, lihat tubuh rentamu yang digerogoti penyakit. Aku bukanlah mengabaikanmu, Wahai Manusia, aku hanya menunggu di waktu yang sudah Tuhan tentukan untukmu.”

Benar, aku telah lama mengabaikan mereka. Aku berkutat pada kesedihanku sendiri yang tidak berujung; menganggap dunia telah berhenti ketika istriku dikebumikan, padahal dunia masih terus berputar, waktu terus berjalan, tapi aku memilih mengurung diri dalam kamar hingga satu per satu penyakit tua menghampiriku.

“Sudah cukup kesedihanmu di dunia. Mari kita pulang. Anak dan cucumu telah belajar banyak tentang arti kehilangan darimu, jadi mereka akan baik-baik saja.”

Pelan kau mengusap kepalaku yang tertutup uban. Dalam sentuhan yang lembut itu aku merasa kantuk yang tak tertahankan. Sesuatu dalam diriku tengah mengalir menuju jari-jarimu; tersedot. Saat itu aku tahu bahwa kau tengah menjemputmu, sama seperti ketika kau menjemput istriku, orangtuaku, dan saudara-saudaraku.

Di antara napas yang tinggal seleher, aku melihat istriku yang tersenyum manis persis seperti puluhan tahun lalu. Senyum yang membuatku jatuh cinta padanya.

Sayang, aku pulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar