(Pertama kali dimuat di Harian Solopos edisi Minggu, 29 September 2019)
Aku berdoa semoga besok pagi ada yang meninggal di desaku. Satu saja
cukup. Namun, kalau aku boleh serakah,
Tuhan boleh mematikan paling tidak sepuluh orang sekaligus. Tentu kematian
bukanlah sebuah kabar yang menggembirakan bagi siapa pun. Aku tahu. Aku
mengerti betul arti kehilangan dalam sebuah kematian. Namun, kali ini aku
benar-benar berdoa semoga besok pagi aku bisa menggali sebuah liang lahad untuk
seorang jenazah.
Aku bergembira di atas kesedihan orang lain, begitu kira-kira yang orang
pikirkan tentangku. Mereka tidak salah. Kadang aku memang bersyukur jika ada
orang yang meninggal di desaku. Karena itu artinya aku mendapat pekerjaan,
menerima upah dan aku bisa membeli satu atau dua kilo beras juga beberapa
lembar ikan asin yang merupakan makanan mewah untuk keluargaku. Upah menggali
kubur memang tidak seberapa, tapi cukup untuk membuat dapur keluargaku tetap
mengepul ketika musim tanam telah lewat.
Dulu kematian adalah hal yang begitu dekat dengan desaku. Dan, menjadi
tukang gali kubur adalah pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan. Namun, semua
berubah ketika setahun yang lalu ada seorang dokter muda dari kota yang membuka
praktik di desaku. Dia membawa begitu banyak obat dan memberikan pengobatan
cuma-cuma pada warga. Dengan senyum yang selalu menghiasi wajah, Dokter Hasan,
begitu kami memanggilnya, memeriksa satu per satu warga yang datang padanya.
Ajaib, banyak warga yang tadinya sakit-sakitan langsung sembuh setelah
diperiksa olehnya. Dia pasti membawa obat paling mujarab dari kota.
“Kakiku langsung sembuh! Padahal sebelumnya, untuk berdiri saja susah.”
Suyud memamerkan kakinya yang sekarang mungkin bisa digunakan untuk lari
keliling desa jika mau.
“Telingaku yang tadinya berdengung juga sekarang sudah sembuh. Aku sudah
tidak budek lagi sekarang.” Radi ikut nimbrung ketika kami sedang istirahat di
bawah pohon kersen setelah mencangkul ladang milik Haji Bidin.
Teman-temanku yang lain juga memamerkan kesembuhan mereka. Mereka yang
kudisan sembuh setelah disuruh berendam air yang dicampur obat pemberian Dokter
Hasan. Mereka yang batuk-batuk setiap malam bisa bernapas lega setelah menelan
pil-pil dari Dokter Hasan. Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh
Dokter Hasan.
Hebat benar dokter muda itu. Aku pun tidak boleh melewatkan kesempatan
untuk jadi sehat. Punggungku yang sering nyeri ketika mencangkul juga harus
segera diperiksa. Maka, sepulang dari ladang, aku mengajak istriku berobat ke
Dokter Hasan. Kami tidak punya uang untuk membayar, tapi kata Suyud tadi di
ladang, Dokter Hasan tidak mematok harga untuk jasanya. Jadi kami membawa
beberapa batang singkong yang Haji Bidin berikan padaku sebagai tambahan upah.
Dokter muda itu memeriksaku dengan sebuah benda aneh yang ujungnya
disumpalkan ke telinganya sendiri dan ujung lain yang terbuat dari besi
ditempelkan ke dada kemudian perutku. Rasanya dingin di kulit ketika benda aneh
itu ditempelkan. Dokter Hasan tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya
kemudian berkata bahwa aku tak boleh makan kacang-kacangan. Hal yang sama juga
dilakukan pada istriku, bedanya istriku tidak boleh makan yang pedas dan asam.
Bagaimana tidak makan pedas, hampir setiap hari lauk di rumah kami adalah
sambal terasi yang cabainya diambil dari halaman rumah. Hanya itu makanan
sehari-hari kami jika aku tidak punya uang untuk membeli ikan asin.
Sejak kedatangan Dokter Hasan, kesehatan warga desa semakin terjamin.
Anak-anak sehat, ibu hamil melahirkan dengan selamat, para lansia berhenti
mengeluh tentang asam urat, reumatik, apalagi darah tinggi. Kini warga terbebas
dari penyakit kulit dan batuk menahun. Kepala desa tertawa puas melihat
kemakmuran warganya. Dia merasa telah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab
meski beberapa dana untuk pembangunan desa tidak luput masuk ke kantongnya
sendiri. Dokter Hasan adalah penolong, pahlawan, dan malaikat bagi kami.
Namun, kesehatan yang semakin terjamin berakibat pada jumlah kematian
yang menurun drastis. Dulu, setiap bulan paling tidak ada satu orang yang
meninggal, tapi sekarang sepertinya kematian adalah hal langka yang terjadi di desaku.
Dan itu artinya aku kehilangan salah satu mata pencaharianku.
Sudah hampir enam bulan ini aku menggantung cangkulku di sudut rumah.
Musim kemarau panjang membuat ladang Haji Bidin tidak bisa ditamani. Aku jadi
pengangguran sekarang. Berharap simpanan singkong yang dijemur hingga kering
oleh istriku bisa bertahan cukup lama sampai hujan sudi jatuh membasahi desaku
agar aku bisa kembali bekerja di ladang.
Musim kemarau semakin menyengsarakan desaku yang kini berisi begitu
banyak bayi yang baru lahir. Tentu kehadiran bayi-bayi itu tidak lepas dari
peran Dokter Hasan. Para lelaki yang sehat menciptakan bayi-bayi di rahim
istrinya, sedangkan Dokter Hasan menjamin kesehatan kandungan istri mereka
hingga melahirkan. Sukses, jumlah penduduk di desaku akan meledak dalam
beberapa tahun lagi jika terus seperti ini.
Anehnya, hingga saat ini istriku belum kunjung hamil. Kami belum
dikaruniai anak walaupun Dokter Hasan telah memeriksa kami. Padahal Suyud yang
usianya jauh lebih tua dibanding aku sudah menghamili kedua istrinya sejak
kedatangan Dokter Hasan. Bahkan—ini sebuah rahasia—dia juga menghamili lonte di
warung dekat ladang. Aku dan istriku tentu ingin punya anak, tapi melihat
kesulitan hidup yang harus dijalani juga usia yang sudah tidak muda lagi, kami
hanya bisa pasrah.
Kemarau semakin mencekik. Dapur kini berhenti mengepul karena tidak ada
lagi singkok yang tersisa dan suara tangis bayi memekakkan telinga. Aku
berharap Dokter Hasan segera pergi dari desaku. Atau semoga dia tidak punya
obat mujarab lagi yang bisa dibagikan cuma-cuma untuk warga desa. Doaku terkabul
setelah sebuah mobil hitam menjemputnya pada suatu sore. Dengan beberapa tas
besar, Dokter Hasan pergi setelah sebelumnya pamit pada kepala desa dan warga. Dia melambaikan tangan dan
tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya untuk terakhir kali. Cerita tentang
Dokter Hasan telah usai. Kelak, dia akan dikenang sebagai dokter muda yang
membawa banyak kesembuhan bagi warga. Para orang tua akan berdoa agar anak
mereka kelak menjadi dokter hebat seperti Dokter Hasan.
Kini yang tersisa adalah sebuah desa dengan begitu banyak tangisan bayi
kelaparan yang tenggelam dalam kemarau berkepanjangan. Suyud masih suka
menghamili istri-istrinya dan beberapa lonte di desa sebelah. Ladang Haji Bidin
berubah seperti telapak kaki yang kapalan; rekahan-rekahan tanah mengular
menggambarkan tandusnya tanah desa kami. Jangankan untuk menanam singkong atau
palawija, rumput liar pun tidak sudi tumbuh.
Aku sudah tidak bekerja dan istriku mulai sakit-sakitan karena sering
menahan lapar. Aku tidak tahu istriku sakit apa. Ada rasa menyesal karena aku
pernah berdoa agar Dokter Hasan pergi dari desaku. Jika dia masih ada pasti
istriku sudah sembuh dengan pil ajaibnya.
Malam ini, ketika istriku terbaring dengan rintih kesakitan di bagian
perutnya, aku berdoa agar besok pagi ada yang meninggal agar aku bisa menggali
kubur lagi. Aku harus membawa istriku berobat. Tuhan bisa biarkan bayi-bayi
Suyud yang berisik itu mati salah satu. Atau biar Suyud saja yang mati agar dia
tidak lagi membuat bayi di rahim sembarang wanita seperti pabrik bayi.
Rintih kesakitan istriku masih terdengar sampai aku terlelap tidur di
sampingnya dengan terus menggumamkan doa pada Tuhan.
“Tuhan, hamba mohon matikan salah satu bayi Suyud, atau Suyud saja yang
mati tidak apa-apa.”
***
Suara gemuruh dari luar juga tetesan air dari atap yang membasahi wajah
membangunkanku. Teriakan dari orang-orang di luar sana, juga suara petir
seketika membuatku terjaga. Aku beranjak membuka pintu. Langit seolah marah, ia
terus menumpahkan air tiada henti, petir menyambar dan angin menumbangkan
pohon-pohon kering tidak berdaun. Alam sedang mengamuk malam ini.
“Cepat ke balai!” teriak seorang warga memperingatkanku. “Bendungan
sebentar lagi jebol!” Berbondong-bondong warga menuju balai desa, menerjang
hujan, petir, dan angin. Susah payah aku menggendong istriku yang menggigil
kedinginan.
Wajah-wajah cemas menyelimuti warga yang kini berjubel di balai desa. Air
bah tanpa ampun menenggelamkan desa kami, menyeret warga yang kalah cepat
menuju balai. Alam benar-benar marah entah pada siapa. Musim kemarau dibalas
dengan hujan yang mengguyur semalaman hingga pagi.
Bantuan datang sehari kemudian. Orang-orang berbaju oranye mencari warga
yang terseret banjir, beberapa lagi memotong pohon tumbang yang menimpa rumah
warga. Desa kami sudah porak-peranda, hanya menyisakan bangunan yang terbuat
dari tembok bata, sedangkan rumah dengan welit seperti rumahku sudah tidak
berbentuk lagi. Selain orang-orang berbaju oranye, orang berjubah putih juga
datang. Di antara orang-orang itu, tersenyum Dokter Hasan yang kami kenal. Dia
tetap sama seperti beberapa bulan yang lalu, selalu memamerkan deretan gigi
putihnya. Dia memberikan obat pada istriku dan untuk pertama kalinya aku
bersyukur dia datang.
Tiga hari ini aku sibuk menggali liang lahad untuk para korban banjir.
Satu, dua, tiga, tidak terhitung berapa jumlah liang yang harus aku gali.
Bayi-bayi Suyud tidak terselamatkan, juga dirinya yang ikut terseret banjir
ketika sedang bergumul dengan lonte di dekat ladang. Tubuh mereka telanjang
berlumpur ketika ditemukan orang-orang berbaju oranye.
Aku teringat doaku malam itu. Tentang permohonanku agar Tuhan mematikan
sepuluh orang untukku. Mungkin Tuhan memang mengabulkan permohonanku, bukan
hanya sepuluh, tapi belasan bahkan puluhan orang.
Orang-orang berteriak agar aku berhenti, tapi aku tidak mau. Aku yang
telah berdoa memohon pada Tuhan. Dan semua mayat ini adalah tanggung jawabku.
Akan kugali liang lahad paling nyaman untuk mereka beristirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar