Besok, aku akan bunuh diri menggunakan selendang kesayanganku. Aku akan mengikatnya kuat di pohon kelengkeng
belakang rumah Haji Sugi; membiarkan leherku tercekik hingga lidahku terjulur
dan nyawaku enyah selamanya dari tubuhku. Jika cara itu tak berhasil, aku akan
gunakan cara kedua; akan kuikat kedua tangan dan kaki dengan selendang kemudian
akan kulempar tubuhku ke dalam sumur tua di ujung desa. Setelah itu, namaku
hanya akan menjadi kenangan sementara waktu dan perlahan terlupakan; kenangan tentang seorang gadis berselendang awan
yang mengusir hujan dan petir.
Aku bukan pawang hujan, meski ayah dan abangku bisa mengendalikan awan hitam di
langit. Seorang gadis tak bisa menjadi pawang hujan, begitu kata Ayah ketika aku
masih kecil. Aku bertanya apa alasannya, tapi Ayah tak menjawab. Aku selalu iri
melihat abangku yang setiap hari diajari Ayah berbicara pada awan yang
menggantung rendah di langit. Ayah dan abangku, berbicara pada awan seolah mereka adalah teman lama.
Ayahku seorang pawang hujan yang terkenal. Dia sering dimintai bantuan dalam
acara-acara penting. Misal saja, menggeser awan hitam di atas istana negara
saat upacara kemerdekaan
yang dihadiri utusan negara lain. Sepeninggalan Ayah, abangku
yang menggantikannya. Dia bahkan sekarang semakin terkenal di kota dan
meninggalkan aku sendirian
di desa. Sebagai gantinya, aku—yang menurut Ayah tak bisa menjadi pawang
hujan—diberi selembar selendang berwarna biru langit.
“Ini adalah
selendang awan,” ucap Ayah saat memberikan selendang cantik itu. “Ayah memintanya pada
awan-awan di langit khusus untukmu.”
“Kenapa seorang gadis tak boleh menjadi pawang hujan, Ayah?” tanyaku
untuk terakhir kalinya. Namun, Ayah tetap tak mau menjawab. Dia bungkam.
“Selendang ini akan melindungimu, seperti ibumu melindungimu saat kau
masih di dalam kandungannya.”
Walau aku tak bisa berbicara dengan awan seperti abangku, tapi dengan
selendang ini aku bisa mengendalikan awan dalam jumlah kecil. Jika aku butuh air
untuk menyirami tanamanku, aku cukup
mengibas-ngibaskan selendangku untuk memanggil gerimis. Atau
jika aku di jalan dan langit tak bersahabat, maka aku cukup menutupi kepala
dengan selendang agar awan
hitam di atasku pergi menjauh. Selendang ini melindungiku, persis seperti yang dikatakan Ayah.
Namun, beberapa hari ini, aku ingin
bisa mengendalikan awan dalam
jumlah besar. Kalau
bisa, aku ingin memanggil hujan badai yang mampu menghancurkan desa; memorak-perandakan seisi
desa dan membunuh semua orang. Aku ingat tatapan takut orang-orang yang
berpapasan denganku. Tatapan itu, membuatku semakin ingin menghancurkan desa ini
seperti mereka menghakimiku. Mereka adalah orang-orang tak tahu balas budi. Aku
menggunakan selendangku untuk menyelamatkan sawah mereka dari kekeringan dan
gagal panen, mengisi sumur-sumur dengan air, tapi sekarang mereka takut pada murkaku.
Besok tepatnya, aku akan memanggil hujan badai kemudian bunuh diri
dengan selendangku. Sudah aku putuskan.
“Aku tahu rencanamu!”
Aku sedang menatap awan kecil yang menyirami tanaman bunga di depan
rumah ketika Bang Ipan mampir ke rumahku sore ini. Dia menuding-nudingku dengan wajah merah padam.
Aku menatapnya tak peduli sambil mengelus perutku yang
membuncit. Lelaki itu tahu rencanaku? Itu bagus, karena artinya dia siap untuk mati.
“Aku akan menghentikanmu!” tegasnya.
Tidak ada yang bisa menghentikanku.
Besok, aku akan menghancurkan pesta pernikahan Bang Ipan dengan anak kepala
desa yang masih perawan itu. Tak seperti diriku yang sudah berulang kali
dijamah hingga bunting oleh Bang Ipan, anak gadis kepala desa bahkan mungkin
tak tahu bagaimana cara membuat bayi. Mungkin Bang Ipan lupa
malam-malam yang kami lewati bersama. Aku tak masalah karena aku masih mengingatnya.
Bang Ipan menatapku jijik seolah aku ini lonte murahan, padahal sebelum
dijodohkan dengan anak kepala desa, dia selalu memujaku. Gadis cantik
berselendang awan, begitu dia merayuku hingga aku jatuh dalam pelukannya. Harta
memang segalanya sampai Bang Ipan melupakan aku dan memilih sawah puluhan hektar
yang dijanjikan kepala desa jika Bang Ipan menikahi anak gadisnya.
Apa perlu aku ceritakan bagaimana Bang Ipan mengawiniku di
semar belukar perbatasan desa saat hujan deras? Selendang awanku ini saksinya, tapi dia menyangkal
dan mengatakan pada semua orang bahwa aku ini gadis gila, lonte murahan.
Dan sekarang mereka ketakutan memikirkan caraku balas dendam.
Kembali aku mengelus perutku berisi
anak Bang Ipan yang sering dia suruh untuk digugurkan. Biar aku jadi gila
karena memiliki anak tanpa suami, tapi aku tak akan membunuh darah dagingku
sendiri! Aku akan melahirkannya setelah melihat kematian Bang Ipan dan
orang-orang desa, setelah itu aku akan bunuh diri.
“Kami semua tak akan membiarkanmu!”
Bang Ipan pergi dari muka rumahku dengan sebuah ancaman. Aku hanya mencibirnya dan
kembali menatap awan kecilku.
***
Aku merasakan sekujur tubuhku sakit luar biasa. Terutama di pergelangan
tangan dan kakiku. Kubuka pelan mataku, rasa pusing menyerang seketika dan bau kotoran sapi menyeruak memenuhi indra penciumanku. Suara
petir di luar menyadarkanku bahwa kini desa sedang diguyur hujan lebat. Kutatap
sekelilingku. Aku berada di bekas kandang sapi. Hanya ada satu bekas kandang
sapi di desaku dan itu milik kepala desa.
Aku ingat semalam orang berbondong-bondong ke rumahku. Mereka
menerobos, menyeretku tanpa ampun tak memedulikan perutku yang membuncit besar.
Mereka memaki, mengatakan bahwa aku yang membuat hujan tak turun selama
sembilan bulan di desa kami. Bicara apa mereka? Mereka pikir aku ini Tuhan? Aku
bahkan tak bisa bicara pada awan seperti ayah dan abangku.
“Ambil selendangnya!” perintah salah seorang dari mereka.
Aku melihat
Bang Ipan di antara orang-orang itu. Dia diam dengan
wajah puas. Ini pasti rencana Bang Ipan agar aku tak menghancurkan pesta
pernikahannya.
Orang-orang itu merebut selendang yang tersampir di leherku.
Menariknya, memisahkan kami berdua. Jangan ambil selendangku, teriakku. Mereka
tak peduli. Satu tendangan di perutku membuat semua menjadi gelap dan aku
berakhir di sini, di bekas kandang sapi.
Aku menggeliat pelan, berusaha bergerak meski perut besarku
menyulitkan. Aku harus keluar dari sini dan mencari selendangku, mereka tak
boleh memilikinya. Mulai kugigiti tali yang mengikat tanganku. Suara petir
kembali terdengar membuatku rindu pada selendangku. Hawa dingin membuatku
mengigil ketika berhasil melepas tali-tali yang menjerat. Aku beranjak membuka
pintu kandang yang ternyata tak terkunci. Bodoh sekali mereka tak memasang
kunci di sini. Atau mereka memang sengaja membiarkanku lolos dengan mudah?
Kubuka perlahan pintu itu dan yang terlihat adalah sebuah padang luas
dengan bangunan yang rata dengan tanah. Hujan masih menguyur dengan lebat,
angin berputar-putar menghancurkan bangunan yang masih tersisa dan petir
menyambar siapa saja yang masih bernapas. Di sebelah pintu tergeletak dua
manusia gosong tak bernyawa yang aku yakini sebagai orang yang ditugasi untuk
berjaga agar aku tak kabur.
Apa yang sudah terjadi di desaku? Apakah ini kiamat? Aku pernah dengar
kalau kiamat itu akan terjadi pada hari Jumat, tapi sekarang bukan
hari Jumat. Ini hari... hari pernikahan Bang Ipan dengan anak kepala desa! Aku
tersenyum, entah apa yang lucu dan mulai melangkah meninggalkan kandang sapi.
Perlahan, hujan mereda, angin berdamai dan petir menghilang. Kulangkahkan
kakiku menyusuri desa dengan orang-orang gosong bergelimpangan.
Bang Ipan berada
di antara orang-orang itu,
matanya menatap kosong dengan wajah menghitam dan tubuh mengeluarkan asap. Kususuri jalanan meninggalkan desa yang sudah porak-peranda. Di
langit, sinar matahari mulai mengintip di balik awan. Selendang awanku terbang seolah melambai padaku. Kuikuti arah
terbangnya. Kini kusadari, selendangku yang telah mengundang hujan, angin, dan petir
untuk membinasakan desa. Pasti selendangku cemas dan menolongku dengan caranya
sendiri. Lagipula, itu sudah menjadi rencana kami beberapa hari yang
lalu.
Di sebuah dahan pohon kelengkeng, selendangku menanti. Perutku sakit,
bayi dalam perutku meronta ingin keluar; ikut menyaksikan
kehebatan selendang awan milik ibunya. Aku menuruti, kurenggangkan kedua
pahaku dan mendorongnya keluar. Kubiarkan dia melewati lorong
sempitku demi mendengar tangis pertama yang memekakkan telinga. Suaranya kencang sekali seperti guntur yang membelah langit di
siang hari.
Tugasku selesai. Sebentar lagi, orang-orang dari desa sebelah akan berdatangan
untuk menolong warga desa, mereka juga akan mendengar
suara bayiku. Aku ingat rencanaku untuk bunuh diri. Maka, aku mulai memanjat
pohon. Sesuai rencana, kuikat selendang di dahan dan melilitkannya di leher.
Dalam satu sentakan, selendang awan mencekikku yang bergelantungan dengan kaki
mengejang hebat.
Perlahan napasku habis, nyawaku ingin melepaskan diri. Mulai dari ujung
kaki, kurasakan nyawaku menghilang dan merambat naik ke atas. Pada detik-detik
terakhir, kulihat Ibu tersenyum padaku. Warna bajunya sama dengan warna selendang awan.
“Tugas Ibu selesai untuk menjagamu, Nak.”
Aku tak mengerti
arti ucapannya. Mungkinkah dia adalah selendang
awanku? Aku ingat kata-kata Ayah saat memberikan selendang itu. Selendang awan
akan melindungiku, seperti Ibu yang melindungiku dalam kandungnnya sebelum dia
meninggal karena melahirkanku.
“Sekarang, giliranmu menjaga anakmu.”
Nyawaku tersedot menuju selendang yang membelitku. Warnanya mulai
berubah, dari biru muda menjadi warna merah darah.
Kini tubuhku terbujur lemah
tergantung di dahan pohon kelengkeng dengan mata
terbelalak dan lidah terjulur. Namun, aku masih hidup; hidup dalam selendang
merah untuk menjaga anakku. Sekarang aku paham, kenapa seorang gadis tak bisa menjadi pawang
hujan. Dengan sebuah selendang awan saja aku bisa memorak-perandakan desa karena amarahku, lalu bagaimana jika aku bisa berbicara dan mengendalikan awan? Semoga kelak, anak
perempuanku akan lebih bijak dalam hidupnya.
Kudekap tubuh mungilnya agar hangat. Tak berapa lama, orang-orang dari desa sebelah
berdatangan dan menemukan seorang bayi berselimut selendang awan merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar