Awalnya dia datang serupa embusan angin; melewati
tengkuk hingga membuatku merinding. Dengan tawa melengking dia memasukki
rumahku. Apa itu? Mataku waspada. Secepat kilat dia bersembunyi di balik gelap
di sudut rumahku, tapi mata merahnya mengawasi. Dia mengintai, menungguku
lengah. Aku tahu dia sedang mengincar nyawaku.
“Ada yang ingin membunuhku!” kataku pada seorang teman
di ujung telepon sana.
Hening, tidak ada sahutan. Aku tahu dia tidak akan
percaya dengan apa yang aku katakan.
“Halo?”
“Kau habis nonton film horor?” tanyanya enteng.
“Aku tidak bohong. Dia akan membunuhku.”
“Ini sudah malam, jadi lebih baik kau tidur.” Temanku
sama sekali tidak peduli dengan ketakutanku dan langsung menutup telepon;
membiarkanku menghadapi ketakutan ini sendirian.
Tidak akan ada yang percaya padaku, sedangkan di balik
pintu kamar sepasang mata itu mengintip menatapku, bibirnya menyeringai
menampilkan taring yang tajam. Aku yakin taring setajam itu mampu mengoyak
urat-urat nadiku hingga putus dan mengucurkan darah segar. Aku mungkin akan
mati pucat kehabisan darah. Perlahan dia terkekeh menyadari ketakutanku.
Aku tidak tahu siapa dia. Kenapa juga dia harus datang
ke rumahku dan menginginkan nyawaku. Yang pasti dia adalah sesuatu yang jahat
karena semua hal jahat pasti bersembunyi di balik gelap seperti yang dia
lakukan sekarang. Mungkinkah itu iblis? Aku pernah mendengar tentang iblis yang
memakan jiwa-jiwa yang tersesat untuk dibawa ke neraka. Di sana mereka
menjadikan jiwa-jiwa itu sebagai budak. Tapi, aku tidak pernah berhubungan
dengan iblis.
Kulirik jarum jam dinding yang telah melewati pukul
dua dini hari. Sejujurnya aku lelah dan mengantuk, tapi teringat bagaimana
tajamnya taring itu membuatku bertekad untuk tidak memejamkan mata. Aku akan
tetap terjaga hingga pagi. Tidak akan aku biarkan sesuatu di balik gelap itu
mengambil nyawaku, apalagi dengan cara mengoyak urat nadiku. Aku tidak akan
tidur selama sesuatu di balik gelap itu masih berada di rumahku!
Namun, hingga bermalam-malam kemudian, sesuatu di
balik gelap itu tidak beranjak dari rumahku. Dia tetap bersembunyi di kegelapan
yang menyelimuti rumahku; menunggu untuk membunuhku. Dia sama sekali tidak
membiarkanku terlelap barang sesaat. Di pagi hari ketika cahaya matahari
sedikit mengintip dari balik tirai jendela, kupikir aku bisa tidur, tapi dia
malah muncul dalam mimpiku. Dia menjelma mimpi buruk ketika aku terlelap.
Ketika aku terbangun dengan napas memburu, dia tertawa terbahak-bahak
mengejekku.
Sial! Aku tidak tahu bagaimana harus mengusir makhluk
itu.
“Kau tahu cara mengusir hantu?” Kembali aku menelepon
temanku, meski aku tidak yakin sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu
adalah hantu. Hantu tidak membunuh manusia; itu hanya dongeng untuk
menakut-nakuti anak kecil agar tidak keluyuran di malam hari.
“Kau minum bir pagi-pagi begini?”
Ingin aku meneriakkan sumpah serapah pada temanku ini
yang tidak mengerti kondisiku tapi justru menuduhku macam-macam. Aku ini sedang
ketakutan karena ada yang ingin membunuhku, tapi dia justru menuduhku minum bir
di pagi hari. Walaupun aku sering melakukannya, tapi ini bukan waktu yang tepat
untuk minum-minum.
“Ada sesuatu yang gelap bersembunyi di rumah. Dia
ingin membunuhku!”
“Lebih baik kau berhenti minum. Dengar, tidak ada
sesuatu yang gelap yang bersembunyi di dalam rumahmu. Itu hanya halusinasimu
saja.”
Halusinasi katanya? Aku bahkan bisa mendengar suara
tawa jahatnya setiap malam. Sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu terus
tertawa, menerorku, dan kadang menyanyikan lagu tentang kesedihan, tentang
kematian.
“Dia ingin aku mati,” ucapku lirih.
“Ya, kau memang pantas mati. Setiap laki-laki yang
menyia-nyiakan keluarganya memang pantas mati.”
“Apa?”
“Tidak ada sesuatu yang bersembunyi di rumahmu. Sudah
aku katakan, berhentilah minum-minum dan bayar utangmu padaku!”
Di situasi seperti ini dia justru menagih utang.
Nyawaku dipertaruhkan di sini. Bisa aku bayangkan, sepasang taring tajam di
antara seringaian itu.
“Itu adalah kesedihanmu yang bertumpuk-tumpuk. Bir
tidak akan menggantikan keluarga yang sudah kaubuang.”
Kesedihan dan keluarga? Aku tertegun mendengar ucapan
temanku. Ketika telepon itu ditutup dan ponselku meluncur dari genggaman, mataku
menyusuri sudut-sudut rumahku yang sepi; tidak ada orang lain, hanya ada aku
dan botol-botol bir yang isinya telah berpindah ke tubuhku, dan sesuatu di
balik gelap yang kini menyeringai makin lebar. Benar, aku sendirian, bahkan
tidak ada yang peduli padaku yang ketakutan menghadapi sesuatu yang jahat di
rumahku.
Orang-orang yang harusnya bersamaku telah lama pergi.
Istri dan anakku telah meninggalkanku. Aku sendirian. Rumah ini pernah begitu
ceria dan hangat, tapi sejak aku kehilangan pekerjaan dan botol-botol bir itu
menjadi lebih akrab denganku, keluargaku menjauh. Aku benci mereka yang
meninggalkanku ketika aku terpuruk, ketika aku berada di bawah. Terakhir kali
aku melihat istriku bersama laki-laki lain. Dia bilang, dia tidak tahan lagi
hidup bersamaku, terlebih dengan botol-botol yang membuatku lupa, botol-botol
yang kadang membuatku melayangkan tamparan dan pukulan ke tubuh istriku,
botol-botol yang membuatku mengucapkan sumpah serapah pada keluargaku.
Sedangkan putri semata wayangku telah lama pergi ke rumah neneknya. Gadis muda
itu bilang tidak mau mempunyai ayah yang pengangguran dan pemabuk. Mereka tidak
pernah kembali padaku.
“Harusnya kalian tidak meninggalkanku sendirian.” Aku
kembali terpuruk, sedangkan di luar sana gelap telah menyelimuti bumi.
Aku mengambil botol hijau di sebelahku. Kosong.
Botol-botol lain pun kosong seperti diriku. Aku benci kekosongan. Aku benci
ketika aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali seorang teman yang terus menagih
utang padaku. Kini hanya ada aku dan dia
yang tidak lagi bersembunyi di balik gelap. Sosok itu berdiri di hadapanku. Aku
bisa melihat mata merahnya, tajam taringnya, dan jubah hitamnya yang menjuntai.
*baca selengkapnya di https://madrasahdigital.co/sastra/sesuatudibalikgelap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar