Kali ini Aji yakin bahwa Tuhan pasti sedang kesal
ketika menciptakan makhluk bernama perempuan. Lima tahun lamanya Aji pacaran
dengan Sarmila yang kini menjadi istrinya. Bagi Aji, tidak ada perempuan lain
sebaik istrinya itu. Sarmila lemah lembut, murah senyum dan jago memasak.
Masakan andalan Sarmila—yang juga menjadi makanan favorit Aji—adalah bandeng
kuah kuning dengan potongan belimbing wuluh yang banyak. Itu adalah masakan
paling juara bagi Aji! Namun, sejak seminggu yang lalu, di tiga minggu usia
pernikahan mereka, Sarmila mulai berubah. Sarmila sering marah-marah tidak
jelas, padahal dulu saat masih pacaran, jangankan marah-marah, merajuk saja
tidak pernah Sarmila lakukan.
Kata teman-teman Aji, itu hal biasa, wajar; setelah
menikah sifat asli dari pasangan akan mulai terlihat. Namun, Aji tidak percaya.
Istrinya itu bukan seorang perempuan yang hobi marah-marah. Dia mengenal
Sarmila dengan baik.
“Kami pacaran lima tahun lamanya,” gumam Aji tak
percaya kalau sifat asli istrinya adalah perempuan yang hobi marah-marah.
Kali pertama marah—atau lebih tepatnya mulai
berubah—Aji pikir istrinya itu sedang datang bulan. Aji bisa memaklumi hal itu.
Perempuan memang akan uring-uringan kalau sedang datang bulan, katanya. Akan
tetapi, ternyata Sarmila tidak sedang datang bulan.
“Apa jangan-jangan istrimu sedang hamil?” kata Yu
Midah, penjual toko kelontong depan gang. “Kalau perempuan sedang di awal
kehamilan memang sering marah-marah.”
“Kami baru menikah tiga minggu yang lalu, Yu.”
“Memang tidak boleh baru nikah tiga minggu langsung
hamil?”
Meski Aji berharap segera memiliki anak, tapi
sepertinya itu bukan alasan Sarmila berubah sikap padanya. Lagipula, Aji tidak
pernah melihat Sarmila mual-mual atau muntah-muntah di pagi hari seperti yang
biasanya terjadi pada perempuan yang hamil muda. Samila tidak sedang hamil,
kukuhnya dalam hati.
Tadi pagi, ketika Aji mengeluh tentang cucian yang
tidak kering, Sarmila naik pitam. Perempuan dengan rambut kemerahan itu berkata
bahwa dia tidak bisa memaksa matahari di atas sana untuk bersinar siang malam
24 jam, jadi bukan salahnya kalau cucian itu tidak kering! Aji terheran-heran.
Dia hanya bertanya karena tidak bisa memakai kaus kesukaannya, tapi Sarmila
menanggapinya dengan emosi seolah-olah Aji ketahuan selingkuh dengan anak Yu Midah
yang seksi.
Ketika Aji bertanya kenapa Sarmila sekarang hobi
sekali marah-marah, bukannya sadar diri dan minta maaf pada suami, Sarmila makin
melunjak.
“Tidak bisakah seorang laki-laki cukup berpikir bahwa
ketika seorang perempuan marah-marah tidak jelas adalah sebuah bentuk kewajaran
dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang
bulan?”
Mulut Aji sampai menganga mendengar jawaban istrinya. Sebuah
bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu
tidak sedang datang bulan? Maka pada detik itu Aji yakin Tuhan pasti sedang
kesal ketika menciptakan perempuan, khususnya ketika menciptakan Sarmila.
Puas marah-marah, Sarmila pergi meninggalkan Aji yang
masih terbengong-bengong. Laki-laki yang baru memasukki usia tiga puluh itu
bahkan tak sempat bertanya hendak ke mana istrinya itu karena sibuk memikirkan
perubahan sikap istrinya.
Kata ayah Aji, seorang laki-laki harus sabar
menghadapi perempuan.
“Perempuan itu selalu benar meski dia melakukan
kesalahan. Jadi kau harus sabar. Ingat, seperti kata peribahasa; diam adalah
emas. Dan lapangkan hatimu seluas samudra.”
Aji tidak tahu seberapa luas samudra, yang itu artinya
dia harus memiliki kesabaran yang tidak terhingga untuk menghadapi Sarmila. Dan
itu juga artinya dia harus bersiap jika Sarmila mengakatan hal tidak masuk akal
seperti tadi pagi.
Sarmila tiba di rumah ketika Aji sedang sibuk dengan
pekerjaannya mencetak pesanan undangan. Sarmila mengucapkan salam dan Aji
bertanya dari mana yang langsung dijawab dengan bentakan.
“Kenapa bertanya seperti itu? Kau curiga padaku?”
Kembali Aji terheran-heran dengan jawaban Sarmila.
Karena Aji sudah tahu tentang peribahasa diam adalah emas, dia memilih diam dan
menyuruh istrinya masuk untuk menyiapkan makan malam.
“Tanpa kau suruh juga aku akan melakukannya. Memangnya
kalau bukan aku yang menyiapkannya, kau yang akan melakukannya menggantikanku?
Tidak, kan?”
Tangan Aji sedikit gemetar menahan emosi. Namun, dia
ingat nasihat ayahnya tadi sore.
***
Sejak subuh tadi, Sarmila sudah bangun dan
meninggalkan tempat tidur. Dia mandi, membuat sarapan di dapur, dan membereskan
rumah kecil mereka yang sudah seperti kapal pecah karena pekerjaan Aji menerima
pesanan cetak undangan, mulai dari undangan pernikahan sampai undangan khitanan.
Sebenarnya Aji ingin memiliki sebuah tempat berupa kios untuk mengembangkan
usaha percetakannya dengan mesin cetak yang lebih besar sehingga bisa menerima pesanan
kalender dan spanduk serta
mempekerjakan beberapa karyawan. Itu impian Aji yang terus diusahakan karena
untuk membuat sebuah percetakan membutuhkan modal yang besar.
Aji bangun ketika sinar matahari yang menerobos tirai
jendela mencapai wajahnya. Dengan gumaman serak dia bangkit, tersaruk-saruk
berjalan menemui Sarmila yang sedang menyapu halaman.
“Kau sudah bangun, Sayang?”
Serta-merta Sarmila menjawab, “Tentu saja aku sudah
bangun, memangnya kau, Pemalas. Matahari bahkan sudah lelah menggantung di
angkasa dan kau baru membuka mata.”
Aji ingat, seminggu yang lalu, ketika bangun di pagi
hari, Sarmila akan menyambutnya dengan kata cinta. Selamat pagi, Sayang,
katanya. Juga dengan sebuah kecupan manis di pipi. Pagi hari adalah waktu yang
tepat untuk bermesraan. Namun, sekarang, jangannya kecupan manis di pipi,
bentakan yang dia terima alih-alih sapaan sayang.
“Sarmila,” panggil Aji, “Abang mau ngomong bentar. Serius.”
Dengan hembusan napas yang kuat, Sarmila menghentikan
kegiatannya menyapu halaman, dilemparnya sapu tidak berdosa itu ke bawah pohon
kelengkeng kemudian ikut masuk ke rumah.
“Kau sebenarnya kenapa?”
Sarmila tidak menjawab.
“Lihat, kau tidak mau menjawab. Bagaimana aku tahu
salahku di mana kalau kau terus diam seperti ini?”
“Tidak apa-apa.”
Selanjutnya Aji terus bertanya dengan banyak kata
kenapa dan selalu dijawab tidak apa-apa. Aji ingat, hubungan yang baik dibentuk
dari komunikasi yang baik pula. Namun, bagaimana dia bisa berkomunikasi dengan
baik jika setiap kali ditanya kenapa
Sarmila justru menjawab tidak apa-apa.
Aji rupanya mulai kehabisan kesabaran. Dengan langkah
cepat dia masuk kamar, mengambil sesuatu di laci nakas dan memberikannya pada Sarmila.
“Kemarin Abang dapat uang muka dari pelanggan yang
pesan undangan, pergilah ke pasar atau mal
dan beli sesuatu yang kau suka.”
“Abang pikir aku ini istri mata duitan?”
“Sudah, Mila, kau bersenang-senang saja. Kau pasti lelah
beberapa hari ini. Belilah baju atau sepatu yang kau mau.”
Sarmila diam untuk beberapa lama sambil memandangi segulung
uang berwarna biru dan merah di telapak tangannya.
“Ya sudah, Mila siap-siap dulu. Dan juga, cepat
selesaikan pesanan undangan itu.” Sarmila menunjuk tumpukan undangan yang
semalam tadi dicetak Aji.
“Iya, hari ini selesai langsung Abang kirim ke
orangnya. Kau sarapan dulu sebelum pergi. Abang mau mandi terus lanjut cetak
undangan biar cepat selesai.”
Sarmila mengangguk kemudian beranjak ke kamar untuk
ganti baju dan berdandan. Ketika Aji selesai mandi, Sarmila muncul dengan
senyum semringah dan baju bagus siap untuk berbelanja dengan uang pemberian Aji.
“Mila berangkat dulu, Bang. Nanti Mila belikan bakso
favorit Abang,” kata Sarmila sembari mencium tangan Aji untuk pamit.
Aji hanya geleng-geleng melihat sikap Sarmila yang
tiba-tiba jadi lembut kembali. Sepeninggalan Sarmila, Aji kembali sibuk dengan
mesin printer untuk mencetak pesanan undangan yang hari ini harus selesai. Di
tengah kesibukannya mencetak undangan, Aji terus bertanya-tanya apa sebenarnya
yang membuat Sarmila marah-marah tidak jelas beberapa hari ini. Namun, dia tidak
juga memperoleh titik terang, hingga satu nama yang tercetak di undangan
membuat kening Aji mengkerut.
Dia sedikit ingat tentang nama mempelai laki-laki yang
ada di undangan buatannya. Nama yang dulu sering Sarmila sebut-sebut sebelum
mereka dekat kemudian berpacaran. Dan nama mempelai laki-laki itu adalah sama
dengan nama mantan pacar Sarmila.
“Pantas saja!” gumam Aji.