Laman

Jumat, 13 September 2024

Perkara Kawin

 

(Sudah dimuat di Solopos edisi Sabtu, 7 September 2024)

Kali ini Aji yakin bahwa Tuhan pasti sedang kesal ketika menciptakan makhluk bernama perempuan. Lima tahun lamanya Aji pacaran dengan Sarmila yang kini menjadi istrinya. Bagi Aji, tidak ada perempuan lain sebaik istrinya itu. Sarmila lemah lembut, murah senyum dan jago memasak. Masakan andalan Sarmila—yang juga menjadi makanan favorit Aji—adalah bandeng kuah kuning dengan potongan belimbing wuluh yang banyak. Itu adalah masakan paling juara bagi Aji! Namun, sejak seminggu yang lalu, di tiga minggu usia pernikahan mereka, Sarmila mulai berubah. Sarmila sering marah-marah tidak jelas, padahal dulu saat masih pacaran, jangankan marah-marah, merajuk saja tidak pernah Sarmila lakukan.

Kata teman-teman Aji, itu hal biasa, wajar; setelah menikah sifat asli dari pasangan akan mulai terlihat. Namun, Aji tidak percaya. Istrinya itu bukan seorang perempuan yang hobi marah-marah. Dia mengenal Sarmila dengan baik.

“Kami pacaran lima tahun lamanya,” gumam Aji tak percaya kalau sifat asli istrinya adalah perempuan yang hobi marah-marah.

Kali pertama marah—atau lebih tepatnya mulai berubah—Aji pikir istrinya itu sedang datang bulan. Aji bisa memaklumi hal itu. Perempuan memang akan uring-uringan kalau sedang datang bulan, katanya. Akan tetapi, ternyata Sarmila tidak sedang datang bulan.

“Apa jangan-jangan istrimu sedang hamil?” kata Yu Midah, penjual toko kelontong depan gang. “Kalau perempuan sedang di awal kehamilan memang sering marah-marah.”

“Kami baru menikah tiga minggu yang lalu, Yu.”

“Memang tidak boleh baru nikah tiga minggu langsung hamil?”

Meski Aji berharap segera memiliki anak, tapi sepertinya itu bukan alasan Sarmila berubah sikap padanya. Lagipula, Aji tidak pernah melihat Sarmila mual-mual atau muntah-muntah di pagi hari seperti yang biasanya terjadi pada perempuan yang hamil muda. Samila tidak sedang hamil, kukuhnya dalam hati.

Tadi pagi, ketika Aji mengeluh tentang cucian yang tidak kering, Sarmila naik pitam. Perempuan dengan rambut kemerahan itu berkata bahwa dia tidak bisa memaksa matahari di atas sana untuk bersinar siang malam 24 jam, jadi bukan salahnya kalau cucian itu tidak kering! Aji terheran-heran. Dia hanya bertanya karena tidak bisa memakai kaus kesukaannya, tapi Sarmila menanggapinya dengan emosi seolah-olah Aji ketahuan selingkuh dengan anak Yu Midah yang seksi.

Ketika Aji bertanya kenapa Sarmila sekarang hobi sekali marah-marah, bukannya sadar diri dan minta maaf pada suami, Sarmila makin melunjak.

“Tidak bisakah seorang laki-laki cukup berpikir bahwa ketika seorang perempuan marah-marah tidak jelas adalah sebuah bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang bulan?”

Mulut Aji sampai menganga mendengar jawaban istrinya. Sebuah bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang bulan? Maka pada detik itu Aji yakin Tuhan pasti sedang kesal ketika menciptakan perempuan, khususnya ketika menciptakan Sarmila.

Puas marah-marah, Sarmila pergi meninggalkan Aji yang masih terbengong-bengong. Laki-laki yang baru memasukki usia tiga puluh itu bahkan tak sempat bertanya hendak ke mana istrinya itu karena sibuk memikirkan perubahan sikap istrinya.

Kata ayah Aji, seorang laki-laki harus sabar menghadapi perempuan.

“Perempuan itu selalu benar meski dia melakukan kesalahan. Jadi kau harus sabar. Ingat, seperti kata peribahasa; diam adalah emas. Dan lapangkan hatimu seluas samudra.”

Aji tidak tahu seberapa luas samudra, yang itu artinya dia harus memiliki kesabaran yang tidak terhingga untuk menghadapi Sarmila. Dan itu juga artinya dia harus bersiap jika Sarmila mengakatan hal tidak masuk akal seperti tadi pagi.

Sarmila tiba di rumah ketika Aji sedang sibuk dengan pekerjaannya mencetak pesanan undangan. Sarmila mengucapkan salam dan Aji bertanya dari mana yang langsung dijawab dengan bentakan.

“Kenapa bertanya seperti itu? Kau curiga padaku?”

Kembali Aji terheran-heran dengan jawaban Sarmila. Karena Aji sudah tahu tentang peribahasa diam adalah emas, dia memilih diam dan menyuruh istrinya masuk untuk menyiapkan makan malam.

“Tanpa kau suruh juga aku akan melakukannya. Memangnya kalau bukan aku yang menyiapkannya, kau yang akan melakukannya menggantikanku? Tidak, kan?”

Tangan Aji sedikit gemetar menahan emosi. Namun, dia ingat nasihat ayahnya tadi sore.

***

Sejak subuh tadi, Sarmila sudah bangun dan meninggalkan tempat tidur. Dia mandi, membuat sarapan di dapur, dan membereskan rumah kecil mereka yang sudah seperti kapal pecah karena pekerjaan Aji menerima pesanan cetak undangan, mulai dari undangan pernikahan sampai undangan khitanan. Sebenarnya Aji ingin memiliki sebuah tempat berupa kios untuk mengembangkan usaha percetakannya dengan mesin cetak yang lebih besar sehingga bisa menerima pesanan kalender dan spanduk serta mempekerjakan beberapa karyawan. Itu impian Aji yang terus diusahakan karena untuk membuat sebuah percetakan membutuhkan modal yang besar.

Aji bangun ketika sinar matahari yang menerobos tirai jendela mencapai wajahnya. Dengan gumaman serak dia bangkit, tersaruk-saruk berjalan menemui Sarmila yang sedang menyapu halaman.

“Kau sudah bangun, Sayang?”

Serta-merta Sarmila menjawab, “Tentu saja aku sudah bangun, memangnya kau, Pemalas. Matahari bahkan sudah lelah menggantung di angkasa dan kau baru membuka mata.”

Aji ingat, seminggu yang lalu, ketika bangun di pagi hari, Sarmila akan menyambutnya dengan kata cinta. Selamat pagi, Sayang, katanya. Juga dengan sebuah kecupan manis di pipi. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bermesraan. Namun, sekarang, jangannya kecupan manis di pipi, bentakan yang dia terima alih-alih sapaan sayang.

“Sarmila,” panggil Aji, “Abang mau ngomong bentar. Serius.”

Dengan hembusan napas yang kuat, Sarmila menghentikan kegiatannya menyapu halaman, dilemparnya sapu tidak berdosa itu ke bawah pohon kelengkeng kemudian ikut masuk ke rumah.

“Kau sebenarnya kenapa?”

Sarmila tidak menjawab.

“Lihat, kau tidak mau menjawab. Bagaimana aku tahu salahku di mana kalau kau terus diam seperti ini?”

“Tidak apa-apa.”

Selanjutnya Aji terus bertanya dengan banyak kata kenapa dan selalu dijawab tidak apa-apa. Aji ingat, hubungan yang baik dibentuk dari komunikasi yang baik pula. Namun, bagaimana dia bisa berkomunikasi dengan baik jika setiap kali ditanya kenapa Sarmila justru menjawab tidak apa-apa.

Aji rupanya mulai kehabisan kesabaran. Dengan langkah cepat dia masuk kamar, mengambil sesuatu di laci nakas dan memberikannya pada Sarmila.

“Kemarin Abang dapat uang muka dari pelanggan yang pesan undangan, pergilah ke pasar atau mal dan beli sesuatu yang kau suka.”

“Abang pikir aku ini istri mata duitan?”

“Sudah, Mila, kau bersenang-senang saja. Kau pasti lelah beberapa hari ini. Belilah baju atau sepatu yang kau mau.”

Sarmila diam untuk beberapa lama sambil memandangi segulung uang berwarna biru dan merah di telapak tangannya.

“Ya sudah, Mila siap-siap dulu. Dan juga, cepat selesaikan pesanan undangan itu.” Sarmila menunjuk tumpukan undangan yang semalam tadi dicetak Aji.

“Iya, hari ini selesai langsung Abang kirim ke orangnya. Kau sarapan dulu sebelum pergi. Abang mau mandi terus lanjut cetak undangan biar cepat selesai.”

Sarmila mengangguk kemudian beranjak ke kamar untuk ganti baju dan berdandan. Ketika Aji selesai mandi, Sarmila muncul dengan senyum semringah dan baju bagus siap untuk berbelanja dengan uang pemberian Aji.

“Mila berangkat dulu, Bang. Nanti Mila belikan bakso favorit Abang,” kata Sarmila sembari mencium tangan Aji untuk pamit.

Aji hanya geleng-geleng melihat sikap Sarmila yang tiba-tiba jadi lembut kembali. Sepeninggalan Sarmila, Aji kembali sibuk dengan mesin printer untuk mencetak pesanan undangan yang hari ini harus selesai. Di tengah kesibukannya mencetak undangan, Aji terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang membuat Sarmila marah-marah tidak jelas beberapa hari ini. Namun, dia tidak juga memperoleh titik terang, hingga satu nama yang tercetak di undangan membuat kening Aji mengkerut.

Dia sedikit ingat tentang nama mempelai laki-laki yang ada di undangan buatannya. Nama yang dulu sering Sarmila sebut-sebut sebelum mereka dekat kemudian berpacaran. Dan nama mempelai laki-laki itu adalah sama dengan nama mantan pacar Sarmila.

“Pantas saja!” gumam Aji.

Kini dia tahu persis alasan Sarmila marah-marah tidak jelas dan itu bertepatan ketika Aji bilang mendapat pesanan cetak undangan pernikahan dari seorang kenalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar