Satu kata tentang
ayahku: kolot. Bagaimana bisa beliau secara sepihak menjodohkanku, putri semata
wayangnya, dengan seorang sepupu? Ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya.
“Memangnya
kenapa? Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini,” ucap Mas Adi, sepupu yang
dijodohkan denganku, tiap kali aku menentang perjodohan dengannya.
Tentu saja
masalah! Beda usia kami lebih dari sepuluh tahun. Tepatnya tiga belas tahun
empat bulan. Bayangkan, Mas Adi sudah menginjak usia remaja ketika aku baru
lahir. Dan juga bayangkan misal kami menikah, dia sudah menjadi om-om,
sedangkan aku baru menginjak usia matang. Astagah, apa kata dunia? Aku
benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan Ayah menjodohkanku dengan
sepupuku itu.
“Banyak, kok,
yang beda usianya lebih jauh dari kita. Lagipula, kita sudah saling kenal sejak
kecil, bahkan sejak kau masih orok. Aku bahkan pernah memandikanmu ketika kau
masih kecil.”
Kalimat terakhir sukses membuat wajahku
terbakar saking malu. Baiklah, aku akui kami memang dekatnya sejak kecil karena
aku selalu dititipkan di rumahnya. Aku tidak punya ibu sejak lahir karena ibuku
meninggal sesaat setelah melahirkanku. Dan solusi terbaik untukku—yang
mempunyai ayah yang sibuk bekerja—adalah menitipkanku pada keluarga Mas Adi,
maka sejak kecil aku sudah seperti adiknya sendiri, lalu gagasan tentang
perjodohan konyol ini disambut baik oleh segenap keluarga. Mas Adi dengan
senang hati menyetujuinya, sedangkan aku nyaris pingsan.
Aku mengetahui
perjodohan ini ketika usia lima belas. Tepatnya ketika aku baru duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas. Rasanya seperti ada bola bekel yang menyangkut di
tenggorokanku ketika Ayah menyampaikan hal itu. Kau hanya akan menikah dengan
Mas Adi, kata Ayah.
Usiaku baru lima
belas, duniaku masih panjang dan gagasan tentang perjodohan dengan sepupu
sendiri yang sudah seperti kakak kandung adalah kekonyolan terbesar. Aku
menolak mentah-mentah gagasan yang telah diamini oleh Mas Adi dan segenap
keluarga. Kalau diibaratkan sebagai bunga, aku ini baru mekar, dan banyak
kumbang yang ingin mendekat. Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, tentu
ingin merasakan jatuh cinta, pacaran dengan seorang yang membuat jantungku
berdebar-debar. Itu hal wajar, yang tidak wajar adalah menikah dengan om-om.
“Kita tidak akan
menikah hari ini atau besok. Aku juga tidak mau menikah dengan anak di bawah
umur.”
Ucapan Mas Adi
benar-benar menohok, tapi lagi-lagi aku akui itu benar. Maka yang bisa aku
lakukan hanya tertunduk malu dan memikirkan bagaimana cara agar aku terbebas
dari perjodohan ini.
“Kau ingin
pacaran, silakan. Kau ingin menikmati usia remajamu, silakan. Tapi jika
waktunya sudah tiba kita akan menikah.”
“Itu artinya kau
sudah mengikatku dengan rantai, memberi kebebasan palsu.”
Tidakkah mereka
berpikir bahwa itu menyakitkan? Perjodohan, entah untuk alasan yang baik ataupun
dengan seseorang yang terbaik tetaplah sesuatu yang mengikat kebebasan. Aku
tahu Mas Adi mungkin terbaik untukku, dia punya segalanya sebagai seorang
suami. Aku akui dia tampan—banyak teman-teman yang minta dikenalkan denganya—dan
punya pekerjaan yang mapan. Tampan dan mapan adalah kombinasi sempurna dari
seorang laki-laki. Namun, bukankah hidup juga butuh cinta? Dan aku tidak
memilikinya untuk sepupuku itu.
“Begini saja,”
katanya, “jika sampai di usiamu yang kedua puluh lima aku belum berhasil
membuatmu jatuh cinta padaku, kau boleh menikah dengan laki-laki pilihanmu.”
Sejujurnya aku
tidak paham mengapa Mas Adi setuju dijodohkan denganku—terlepas dari kami dekat
sejak kecil. Aku yakin dengan wajah dan kemapanannya itu dia bisa mendapat
wanita yang jauh lebih baik dariku, setidaknya seorang wanita matang, bukan bocah
ingusan sepertiku. Atau mungkin dia memang sudah mencintaiku sejak kecil?
Ah, mana ada yang seperti itu, maka sejak itu aku bebaskan diriku
untuk menikmati masa remaja; mengenal lebih banyak orang, jatuh cinta, dan
pacaran layaknya remaja pada umumnya. Ayah tentu saja kebakaran jenggot
mengetahui aku pacaran dengan orang lain. Tapi aku bilang padanya bahwa aku
sudah mendapat izin dari Mas Adi.
“Mas Adi yang
bilang aku boleh menikmati masa remajaku, termasuk pacaran.”
Ayah tidak bisa
berkata apa-apa lagi ketika Mas Adi membenarkan ucapanku. Malam itu entah
setelahnya mereka membicarakan apa, aku disuruh masuk kamar dan tidak boleh
keluar sampai besok pagi. Mungkin Mas Adi sedang bernegosisasi tentang hidupku.
Malang nian nasibku.
Aku hitung
setidaknya aku pacaran sampai dua puluh kali ketika SMA dan tidak ada yang
berjalan mulus. Para pemuda itu cepat bosan dan hobi sekali selingkuh dengan
temanku sendiri. Dan setiap kali ini terjadi, Mas Adi hanya menertawakanku.
“Pacaran itu
hanya untuk orang-orang yang bernyali besar, bukan untuk anak cengeng
sepertimu.” Puas dia menertawakanku.
Aku tidak peduli.
Lulus SMA aku kuliah di luar kota yang membuat Ayah uring-uringan dan menyuruh
Mas Adi mengawasiku. Sepupuku itu tentu saja dengan senang hati mengikutiku.
Katanya demi menjagaku, calon istrinya. Lagi-lagi aku tidak peduli. Ketika
kuliah pun aku menjadi hubungan dengan beberapa laki-laki, meski tidak pernah
bertahan lama. Agaknya laki-laki memang jenis manusia yang cepat bosan. Namun,
saat semester akhir kuliahku, aku menjalin seorang laki-laki dari pulau
seberang. Dia baik, humoris, anak band, tampan—tak kalah dengan Mas Adi—dan
yang terpenting dia seumuran denganku. Hingga lulus kuliah dan bekerja aku masih
menjalin hubungan dengannya.
Aku yakin dia
adalah jodohku, apalagi sebentar lagi usiaku dua lima. Aku sudah membayangkan
menikah dengannya. Kami akan tinggal di rumah keluargaku yang sepi dan kami
akan punya anak satu atau dua. Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa
aku tidak harus menikah dengan Mas Adi. Bukankah dia sudah janji untuk
melepasku jika dia tidak bisa membuatku jatuh cinta sampai usia dua lima?
Memang ada
kalanya kita memimpikan sesuatu dan menurut kita itu sangat mudah diwujudkan.
Namun, agaknya takdir juga suka sekali memuat hancur hati seseorang. Aku nyaris
gila ketika pacarku bilang harus pulang kampung untuk menikah dengan seorang
sepupu.
“Kami sudah
dijodohkan,” katanya.
Aku berkeras
hati, kukatakan padanya bahwa aku juga sudah dijodohkan tapi sekarang aku hanya
untuk dirinya. Aku juga menawarkan agar kami kawin lari saja dan kabur ke pulau
lain. Tapi pacarku menolak. Dia masih sayang pada kebuh cengkeh dan pala
daripada harus dicoret dari daftar keluarga karena memilih menikah denganku.
Sejak itu aku
hanya mengurung diri di kamar. Bayangan tentang pernikahan dan rumah tangga
dengan pacarku hancur sudah. Kebun cengkeh lebih berharga dibanding aku yang
mencintainya sepenuh hati.
Mas Adi yang biasanya
menertawakanku habis-habisan kali ini hanya diam. Mungkin dia sudah lelah
menertawakanku atau aku terlalu menyedihkan untuk ditertawakan. Dia hanya
sekali waktu menjengukku, memastikan aku tetap makan meski sedikit. Kadang aku
berharap dia menemaniku lebih lama agar aku tahu aku tidak sendirian. Di saat
seperti ini siapa pun pasti butuh seseorang untuk tempat bersandar.
“Aku selalu di
sini, tidak pergi ke mana-mana,” katanya ketika aku bilang dia mulai
mengabaikanku padahal Ayah mempercayakanku padanya. “Justru kau terus menerus
lari entah ke mana.”
Kapan aku lari?
Aku hanya menikmati hidupku seperti yang dia katakan ketika usiaku lima belas.
“Aku tidak akan
pernah bisa membuatmu jatuh cinta jika kau terus menutup hati.”
Kadang aku juga
berpikir kenapa aku tidak berusaha menerima Mas Adi saja dan justru sibuk
mencari seorang kekasih yang aku harapkan menjadi jodohku. Mas Adi telah begitu
setia di sisiku entah untuk alasan apa pun; entah sebagai kakak, calon suami,
sepupu, atau jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku. Dia bersedia menungguku
bahkan melihatku jatuh cinta dengan laki-laki lain berulang kali. Mendadak aku
berpikir apakah di balik tawanya ketika menertawakanku yang ditinggal pacar
juga terdapat kecemburuan, amarah, dan kesedihan? Yang pasti lagi-lagi dia
selalu ada di sisiku setiap kali itu terjadi dan harusnya itu sudah cukup
bagiku untuk jatuh cinta.
“Hanya saja aneh
bagiku menganggapmu yang sudah seperti kakakku sendiri sebagai calon suami.”
Mas Adi hanya
tersenyum kemudian tertawa mendengarku. Dan dari tawanya itu aku tahu bahwa dia
akan tetap di sisiku. Aku menyadari bahwa aku terlalu angkuh selama ini;
menganggap berbedaan usia kami sebagai sesuatu yang tabu. Padahal Tuhan telah
menunjukkan dengan amat jelas siapa jodohku ketika Mas Adi tertawa, tersenyum
dan bicara padaku.
“Apa ini yang
namanya jodoh?”
Sekali lagi Mas
Adi tertawa sebelum mengangguk kemudian memelukku. Ah, sepertinya dia berhasil
mencuri hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar