Laman

Selasa, 29 Oktober 2024

MONOKROM


Ini adalah catatan di hari ulang tahunku ke-32; dan aku memberinya judul: Monokrom.

Ah, 32. Angka yang tidak pernah aku bayangkan untuk mencapainya. Dulu, ketika aku masih lebih muda, aku berpikir aku tidak akan lebih dari 27 (itu sebabnya aku pernah menulis cerpen berjudul "Pada Usia Dua Puluh Tujuh"). Entahlah, aku hanya berpikir tidak ada lagi angka setelah 27 dan itu adalah yang terbaik.

Namun, aku sampai pada 32.

Banyak hal yang terjadi setahun ke belakang. 

Sulit untuk menjelaskan apa yang terjadi di pertengahan tahun ini. Semua terasa begitu cepat dan aku linglung. Rasanya seperti naik rollercoaster.

Aku terbiasa membuat planning di awal tahun; apa-apa yang ingin aku capai dalam setahun. Namun kemudian rasanya semua mimpi yang sedang aku usahakan tiba-tiba hancur. Aku melihat mimpi-mimpi itu berserakan dan aku tidak tahu bagaimana cara menyusunnya lagi.

Aku benci ketika orang-orang meminta maaf padaku.
Kenapa?
Kenapa kalian meminta sesuatu yang berat padaku?
Aku pun sama rapuhnya dengan kalian.

Aku sakit.

Aku ingat ketika orang-orang di sekitarku berkata, "Kami semua sayang sama kamu." Tapi aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Aku berusaha menyusun lagi mimpi-mimpiku. Aku berusaha untuk kembali tersenyum agar orang-orang yang sayang padaku tidak lagi khawatir. Aku ingin seperti bunga matahari yang besar dan bersinar.

Tapi aku tetap sakit.

Aku ingat ketika seorang senior berkata, "Untuk Tiqom Tarra yang selalu lincah dan ceria." Nyatanya aku tidak selalu bisa menjadi lincah, apalagi ceria. Dan aku benci.

Kalian tahu, apa bagian paling menyebalkan dari perjalanan ini? Ketika aku menyadari bahwa aku kehilangan diriku sendiri hanya untuk dicintai oleh orang lain.

Aku banyak merenung, berbincang dengan orang-orang yang lebih dewasa dan mendengarkan.

Ada satu kesimpulan yang aku dapat dari perjalananku tahun ini.
"Seperti itulah kehidupan; ini bukan tentang hitam atau putih, baik atau jahat karena tidak pernah benar-benar ada hitam dan putih dalam kehidupan."

Sedikit demi sedikit aku kembali menyusun mimpi-mimpiku. Kompas. Rumah. Dan aku bukan hanya bisa kembali tersenyum, tapi aku tertawa, terbahak-bahak sampai batuk, kemudian temanku berkata, "Lihat, kamu sudah sembuh."

Aku ingin berterima kasih pada orang-orang yang tetap berada di sisiku ketika aku kehilangan diriku sendiri dan sakit. Terima kasih karena telah menjadi pendengar yang baik.

Aku ingin tetap menjadi bunga matahari yang besar dan ceria. Tiqom Tarra.

Banyak hal yang harus aku selesaikan sebelum akhir tahun. Dan aku akan bilang, "Jalani saja, walaupun sambil ya Allah ya Allah."

Terakhir, aku ingin memaafkan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Apakah itu seperti membuka office word ketika aku akan menulis cerita baru? Atau seperti ketika aku menyirami tanaman hortensia yang sudah 2 tahun kutanam tapi tetap tidak mau berbunga dengan harapan suatu hari akan muncul kuntum bunga di pucuk salah satu dahan? Mungkin pelan-pelan?

Atau biarkan Tuhan membawa kita pada ujung sungai yang sama? Atau seperti puisi Lawi, "...melalui suara yang kalap diteriakkan: Biarkanlah ia tenang dalam derau."


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar