Langit berubah
menjadi kelam dan bumi terguncang, saat itu pula istrimu, Ni Layonsari, tahu
bahwa sesuatu telah terjadi padamu. Perempuan yang baru tujuh hari kau
persunting itu telah lama mendapat firasat buruk tentangmu.
“Linuh,
linuh!”1 Orang-orang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi.
Namun, tidak dengan istrimu. Ni Layonsari menatap langit kelam dengan guntur
bersahut-sahutan, meratap pada Dewata. Harusnya ia melarangmu pergi
melaksanakan titah raja. Mimpinya beberapa malam yang lalu adalah peringatan.
Banjir bandang itu
terasa begitu nyata di dalam mimpi istrimu. Air bah yang entah datang dari mana
itu menyeret rumah kalian sebagai pertanda buruk. Namun, kau adalah seorang
abdi yang begitu setia, apapun perintah Raja Kalianget.
“Aku harus pergi
melaksanakan perintah raja,” begitu katamu.
“Aku yakin
mimpiku semalam adalah pertanda buruk. Bisakah kau urungkan keberangkatanmu?
Raja pasti akan mengerti.”
Namun, kau
bukanlah orang yang akan menolak perintah Raja Kalianget. Kau akan tetap
melaksanakan perintahnya seolah itu adalah perintah Dewata.
“Aku pasti akan
kembali.”
Bagimu, Raja
Kalianget bukan hanya sekadar penguasa. Ia adalah sosok ayah yang memberimu
sandang dan pangan ketika seluruh keluargamu dilahap wabah. Kau sebatang kara
ketika Raja Kalianget membawamu ke istana dan menjadikanmu anak angkatnya. Raja
Kalianget mengajarimu menggunakan panah, keris dan tombak. Raja Kalianget mengajarimu
membaca dan menulis; menjadikanmu abdi kerajaan kesayangannya. Bagimu Raja
Kalianget adalah sosok dewa di dunia.
Suatu hari Raja Kalianget
memerintahkanmu untuk memilih salah satu dayangnya untuk kau ambil sebagai
istri. Bagimu, itu adalah hal lancang karena dayang istana adalah milik raja,
maka kau memohon agar diperbolehkan mencari gadis di luar istana. Raja
Kalianget setuju, maka berangkatlah kau menuju pasar di pagi hari; mengamati
gadis-gadis di keramaian pasar.
Satu gadis
dengan mata bening dan wajah ayu itu mencuri hatimu. Kau mengamati gadis itu.
Lemah gemulai gerakannya, lembut dan santun tutur katanya, hingga tatapan
kalian bertemu. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang malu-malu. Siapa gerangan
gadis itu? Kau bertanya-tanya pada orang di pasar.
“Ia anak gadis
Jero Bendesa2,” tutur seorang warga.
Dengan hati
berbunga kau menghadap Raja Kalianget. “Hamba telah menemukan gadis pujaan hati
hamba, jika raja berkenan hamba ingin menikahinya.”
“Siapa gerangan
gadis itu?”
“Ia putri Jero Bendesa.
Ni Layonsari namanya.”
Berbekal surat
dari Raja Kalianget, kau datang ke rumah Jero Bendesa untuk melamar gadis
pujaanmu. Siapa pula yang tidak mengenalmu. Kau adalah abdi kerajaan kesayangan
raja, pemuda gagah dengan tutur kata yang santu. Kau pun tahu, lewat senyum
malu-malu di wajah ayu itu, Ni Layonsari pun telah menaruh hati padamu. Jero
Bendesa setuju putrinya kau pinang.
Tepat di hari
Selasa Legi Wuku Kuningan, Raja Kalianget menggelar upacara pernikahanmu. Anak
angkat raja, abdi kerajaan kesayangan raja akan melepas masa lajangnya,
begitulah Raja Kalianget ingin sebuah upacara pernikahan yang meriah untukmu.
Namun, ketika kau dan Ni Layonsari menghadap untuk memberi hormat, Raja
Kalianget terdiam menatap istrimu.
Kau tahu itu
bukan tatapan seorang ayah yang bahagia melihat menantu perempuannya. Bukan.
Kau juga tahu itu bukan tatapan seorang raja pada istri abdinya. Bukan. Tatapan
itu seperti tatapan seekor harimau kala melihat rusa betina.
Dengan hati
gundah kau pulang selepas acara perjamuan kerajaan bersama istrimu. Tak ingin
memikirkan arti tatapan raja pada Ni Layonsari. Mungkin saja aku salah, ucapmu.
Tujuh hari
setelah pernikahanmu dengan Ni Layonsari, Patih Saunggali datang memberi kabar.
Raja Kalianget memerintahkanmu untuk pergi ke Teluk Terima.
“Perahu-perahu
di sana telah dihancurkan dan orang-orang Bajo dengan sesuka hati berburu
menjangan. Kita tidak bisa membiarkan hal ini.”
Sejujurnya kau
tidak ingin pergi. Bagaimana mungkin kau meninggalkan istri yang baru sepekan
kau nikahi? Kau juga ingat mimpi Ni Layonsari semalam. Sebuah banjir bandang
menghanyutkan rumah kalian. Oh, Dewata, pertanda buruk apakah itu? Kau gusar.
Ni Layonsari pun tidak ingin kau pergi. Ia cemas. Namun, kau pun tidak bisa
menolak perintah raja.
Dengan janji
bahwa kau akan kembali, pada akhirnya kau berangkat bersama Patih Saunggali ke
Teluk Terima. Ada kegusaran yang terus mengusik batinmu. Entah mengapa, kau
tahu bahwa kau mungkin tidak akan pernah kembali pada Ni Layonsari. Kau akan
mati di Teluk Terima, begitu yang firasatmu terus menghantui pada setiap
langkah.
“I Jayaprana,
kau pasti sudah berfirasat. Ini adalah titah Raja Kalianget, maka kau harus
menerimanya.” Patih Saunggali menyodorkan sepucuk surat.
Tumpah sudah air
matamu. Raja Kalianget ingin kau mati. Kau telah melewati batasmu dengan
menikahi Ni Layonsari yang jelita yang harusnya menjadi istri raja, begitu isi
surat itu. Amarah dalam dadamu membuncah. Pernikahanmu dengan Ni Layonsari
adalah perintah Raja Kalianget, lalu mengapa raja pula yang menginginkan istrimu?
Di satu sisi kau ingat semua kebaikan yang telah Raja Kalianget berikan padamu.
Kehidupan, martabat, keluarga, semua telah ia berikah padamu. Hidupmu memang
telah sepatutnya kau serahkan pada Raja Kalianget.
Kau tersedu;
memohon pada Dewata. Kau teringat pada istrimu yang jelita; ia menunggumu di
rumah. Tak mengapa, kau mengerti. Raja pun pasti akan memberikan kehidupan yang
baik pada istrimu seperti pula ia memberikan kehidupan padamu sejak kanak dulu.
Kau pasrah. Kau
serahkan kerismu pada Patih Saunggali. “Bunuhlah aku, Paman. Katakan pada Raja
Kalianget, aku adalah abdi setianya.”
Kau ambruk dalam
dekapan Patih Saunggali setelah keris itu menembus lambung kirimu. Air matamu
membasahi pundaknya sebelum kau benar-benar tewas.
“Aku hanya melaksanakan
perintah raja, aku hanya melaksanakan perintah raja,” berulang kali Patih
Saunggali mengatakan hal itu.
Darah yang
mengucur dari tubuhmu menguarkan harum semerbak cendana. Langit cerah di atas
sana kini berubah kelam. Bumi terguncang seakan murka pada apa yang terjadi
padamu. Angin bergulung-gulung merusak apa pun yang dilewati dan bunga-bunga
berguguran seakan bersedih untukmu.
“Oh, Dewata,
inikah murkamu?” Patih Saunggali kebingungan. Ia ingat selepas upacara pernikahanmu
dan Ni Layonsari, Raja Kalianget gusar. Raja menginginkan Ni Layonsari untuk
dirinya sendiri. Dan Patih Saunggali menginginkan kepercayaan yang Raja
Kalianget berikan padamu. Ia ingin menjadi abdi setia kesayangan Raja Kalianget.
Utuslah I
Jayaprana ke Teluk Terima. Hamba yang akan mengurus sisanya, begitu usul Patih
Saunggali. Raja Kalianget setuju. Setelah kau tewas, ia akan memboyong Ni
Layonsari ke istana untuk dijadikan istri.
“I Jayaprana
telah tewas demi menyelamatkan negeri dari orang-orang Bajo. Ia adalah pahlawan
bagi negeri kita.”
Istrimu tertawa
mendengar penuturan Raja Kalianget. Siapa yang akan percaya bahwa kau tewas
karena orang-orang Bajo? Ni Layonsari jelas ingat tatapan Raja Kalianget
padanya kala kau dan dirinya memberikan penghormatan setelah upacara
pernikahan. Ni Layonsari tahu Raja Kalianget menaruh iri pada anak angkatnya.
Raja yang begitu diagungkan olehmu tak lebih dari seorang laki-laki yang
mengingkan apa yang bukan menjadi miliknya.
Ni Layonsari
bukanlah perempuan bodoh. Ia tahu kematianmu adalah akal-akalan Raja Kalianget.
Orang-orang Bajo yang berburu menjangan dan merusak perahu di Teluk Terima
hanyalah alasan.
Istrimu hanya
tertawa ketika ditawari gelar, kedudukan dan harta sebagai istri Raja Kalianget.
Baginya hanya ada dirimu, I Jayaprana, suami yang meninggalkannya demi
pengabdian terhadap raja yang adigungkan melebihi Dewata.
Ni Layonsari
murka. Ia memilih mengikuti kematianmu dengan menikam dadanya sendiri dengan
keris. Hina baginya menjadi istri Raja Kalianget setelah kepergianmu. Dalam doa
yang abadi kepada dewa-dewa, Ni Layonsari bermunajat agar ia bisa bersatu
denganmu di nirwana. Dunia begitu fana untuk kalian berdua. Kelak, di suatu
masa yang jauh, tempat di mana kau bersemayam adalah larangan bagi suami istri
untuk berjalan bersama. Alam telah memberikan penghormat bagi kau dan Ni
Layonsari.
Catatan:
[1] Linuh: gempa
[2] Jero
Bendesa: Kepala Desa Adat