Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Perempuan yang Hendak Menyatakan Cinta

(Pertama kali dimuat di Harian Media Indonesia edisi Minggu, 2 Juni 2019)

Dia berharap punya cukup keberanian seperti yang dimiliki sang ibu ketika menyatakan cinta pada ayahnya. Dia juga berharap mempunyai sedikit keberanian seperti kakaknya ketika mengatakan cinta pada kakak iparnya. Namun, bagaimanapun dia belajar untuk menjadi berani, dia tetap membisu di hadapan lelaki pujaannya. Entah hilang ke mana narasi yang telah dia siapkan. Entah menguap ke mana keberanian yang telah dia kumpulkan semalaman; semua lenyap tak tersisa.
Dalam keluarganya istilah perempuan hanya bisa menunggu tidak berlaku. Perempuan dalam keluarganya selalu mengambil langkah untuk perasaan mereka terhadap lawan jenis. Dari nenek buyut hingga kakaknya, semua menyatakan cinta lebih dulu pada lelaki pilihan mereka sebelum akhirnya mereka menikah.
“Ini adalah keberanian turun-temurun!” kata sang kakak di ujung telepon. “Kau juga harus memiliki keberanian yang sama,” lanjutnya.
Entah sang kakak mengetahui dari mana perihal hatinya kini yang dirundung keresahan pada seorang lelaki. Mungkin karena ini memang sudah waktunya, sedangkan selama ini dia tidak pernah tampak dekat dengan seorang lelaki pun.
“Bagaimana Kakak yakin kau tidak akan patah hati?”
“Jadi kau hanya takut patah hati?”
Dia tidak menjawab. Sejujurnya bukan itu yang dia takutkan.
“Aku hanya seorang editor magang saat itu, sedangkah kakak iparmu seorang dokter. Bayangkan betapa ragunya aku menghadapi kenyataan itu. Banyak wanita yang jauh lebih baik dibanding aku mengantre menjadi istrinya. Tapi kata orang, jodoh itu wajahnya mirip dengan kita, makanya aku yakin dia jodohku dan aku menyatakan perasaanku.”
“Dan kalian menikah?”
“Tentu saja. Ayah dan Ibu juga seperti itu, jadi kau juga harus punya keberanian yang sama.”
Kali ini dia tersenyum; jodoh selalu memiliki wajah yang mirip.
Sudah empat bulan sejak dia mengenali degup jantung yang tidak beraturan sebagai cinta. Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia merasakan sensasi mendebarkan itu. Sayangnya, ketika dia menyadari bahwa itu adalah sebuah naluri paling purba di bumi, dia mengutuki perasaannya sendiri. Ini tidak akan berhasil, harusnya aku tidak jatuh hati padanya, katanya setiap waktu.
Mati-matian dia melupakan perasaannya. Namun, perasaan yang telanjur tertanam itu bagai virus yang menyebar begitu cepat dan tidak bisa hilang bagaimanapun dia berusaha untuk melupa. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menyatakan perasaannya. Aku mencintaimu. Cukup dua kata itu, tapi dia tidak punya keberanian seperti pendahulunya; hanya kebisuan yang bisa dia tawarkan pada lelaki pujaannya.
Hari ini dia harus membawa kucing piaraannya ke klinik dan itu sudah cukup sebagai alasan baginya untuk bertemu dengan lelaki pujaannya. Dia harus mempunyai sebuah alasan bahkan untuk sekadar bertemu, karena dia tidak punya keberanian seperti yang dimiliki ibu ataupun kakaknya untuk mendekati lelaki pilihan mereka. Semalaman, dia telah meramu keberanian yang diwariskan secara genetik dari keluarganya. Tak lupa pula dia menyusun narasi untuk sekadar mewakili perasaannya.
Keberanian yang harusnya telah mendarah daging itu bagai teracuni dan hilang. Sedangkan narasi yang telah dia pelajari selama mengenyam pendidikan sastra tiba-tiba membebal ketika dia berhadapan dengan lelaki pujaannya. Yang bisa dilakukan hanyalah meremas buku-buku jarinya untuk mengatasi kegugupan. Jantungnya bagaimana berpacu dan dia sampai takut jika lelaki di hadapannya itu dapat mendengar degup jantungnya yang sudah seperti genderang.
Sadarkan dirimu! Kau harus bersikap normal, makinya dalam hati.
“Kucingmu mengalami gangguan pencernaan. Sepertinya dia salah makan. Kau harus lebih memperhatikan makanannya,” ucap lelaki itu setelah memeriksa kucing piaraannya yang tiga hari ini terlihat lesu.
“Oh, begitu.” Sekali lagi perempuan itu mengutuki diri sendiri atas ucapan yang barusan saja dia katakan. Harusnya dia menjawab lebih panjang lagi agar punya bahan untuk berbincang dengan lelaki di hadapannya.
Dia memeras otak, mengingat narasi yang telah dia siapkan semalam, tapi tak ada yang tersisa. Dia tidak pernah sebodoh ini di sekolah. Kini perempuan itu mulai berpikir mungkin saja dia bukan anak kandung dari keluarganya. Mungkin saja dia hanya anak pungut karena tidak punya keberanian seperti ibu dan kakakknya.
“Untuk tiga hari ke depan jangan dimandikan dulu, ya. Dan juga jangan lupa minggu depan jadwal vaksinisasi.”
Agak tersentak dia mendengar ucapan lelaki pujaannya. Itu artinya minggu depan mereka akan bertemu lagi dan itu artinya seminggu ini dia harus mengumpulkan keberanian juga narasi cinta untuk disampaikan pada lelaki pujaannya. Dia tidak ingin terlihat bodoh lagi seperti hari ini. Setidaknya dia harus membuat lelaki pujaannya mengetahui perasaannya. Agar lelaki pujaannya mengerti arti gugupnya selama ini. Agar lelaki pujaannya itu tahu betapa gundah hatinya selama ini menanggung rindu.
Dalam benaknya kini dia hanya memikirkan cara untuk mengumpulkan keberanian. Dibacanya buku-buku tentang cinta; bait-bait puisi yang menggugah hatinya. Namun, dia tidak yakin itu akan berhasil. Dia berpikir, apakah semua cinta harus diungkapkan? Dan apakah cinta seperti miliknya ini pantas untuk disampaikan?
“Setidaknya menyatakan perasaan bisa membuatmu lega,” kata seorang teman.
Ini tidak sesederhana yang mereka bayangkan, katanya. Dia semakin frustrasi pada cinta di hatinya. Setiap malam dia merasaan sesak tak tertahankan di dada. Debar jantungnya seolah akan meledakkan dirinya menjadi serpihan. Jatuh cinta tak pernah semenyesakkan ini. Tak ada jalan lain, dia harus menyatakan perasaannya apa pun risiko yang akan ditanggung setelahnya.
Apa kira-kira yang membuat seorang lelaki menaruh hati pada seorang perempuan? Apa kiranya yang membuat Ayah yakin bahwa Ibu adalah jodohnya? Dan apa yang membuat kakak iparnya yakin untuk menerima pernyataan cinta kakaknya?
“Ayah harap Tuhan sedikit bermurah hati dengan memperlihat benang merah di jari kelingking kita yang terhubung dengan jodoh yang telah Dia siapkan. Tapi tidak ada yang seperti itu dan ibumu datang dengan sebuah hati yang penuh dengan cinta untuk Ayah.”
Perempuan itu berharap mempunyai kisah cinta seperti orangtuanya. Mereka bertemu di waktu yang tepat, dengan keberanian Ibu menyatakan cinta, kemudian menikah dan bahagia hingga kini. Perempuan itu yakin jika suatu hari nanti kedua orangtuanya meninggal karena usia, keduanya akan bertemu kembali di surga.
“Ayah, apakah ada yang namanya cinta yang salah?”
“Kenapa bertanya seperti itu? Apakah kau tidak percaya pada cintamu sendiri?”
“Aku hanya sangat takut.”
“Nyatakan perasaanmu seperti ibu dan kakakmu. Bukan cinta namanya jika hanya dipendam dan tak pernah tersampaikan.”
Bersama kucing berbulu putih yang harus divaksinisasi, perempuan itu datang ke klinik lelaki pujaannya. Dengan segenggam keberanian, sebait narasi yang telah dia siapkan, dan nasihat ayahnya, dia siap untuk menyatakan cinta. Terus dia dengungkan ucapan ayahnya semalam: bukan cinta namanya jika hanya dipendam dan tak pernah tersampaikan.
Kegugupan seketika menyeretnya ketika melihat binar mata lelaki pujaannya. Senyum lembut yang telah meluluh hatinya itu mengobrak-abrik keberanian yang telah dia kumpulkan. Nyaris saja dia melangkah pergi dan menjadi pecundang jika dia tak mengingat-ingat nasihat sang ayah.
“Kau jadi agak pendiam akhir-akhir ini. Apa kau sedang ada masalah?”
Ingin sekali perempuan itu berkata bahwa masalah ada pada lelaki di hadapannya. Lelaki yang telah mencuri hatinya dengan paksa, membuatnya memuja dan lupa segalanya. Salah lelaki itu begitu perhatian padanya hingga dia mengartikannya sebagai sesuatu yang lain dan jatuh cinta pada hati yang tak semestinya. Salah lelaki itu membuatnya menangis tiap malam karena menahan rindu. Ingin dia ucapkan semua itu, tapi dia tak berani. Yang bisa dia lakukan hanya menggelang pelan.
“Kakakmu cerita, katanya kau sedang jatuh cinta pada seorang lelaki?” Lagi-lagi, lelaki itu senyum begitu lembut. “Aku harap kau punya keberanian seperti kakakmu untuk menyatakan cinta pada lelaki pujaanmu itu.”
Kali ini tangan perempuan itu mengepal keras, jantung berdetak begitu keras membuatnya sesak napas, dan bau cairan antiseptik membuatnya sedikit limbung. Apakah ini saatnya? Batin perempuan itu.
“Aku bersyukur bertemu dengan kakakmu dan menikahinya.”
Satu kalimat itu seperti menyeretnya ke kenyataan; membuat telinganya berdengung seperti dilewati sederet gerbong kereta yang melaju begitu cepat. Ini adalah kenyataan yang selama coba dia abaikan.
“Aku harus pulang lebih awal. Hari ini adalah ulang tahun pertama pernikahanku dengan kakakmu. Aku harus menyiapkan hadiah istimewa untuknya.”
Perempuan itu ingat ketika kakaknya berkata bahwa dua orang yang berjodoh memiliki wajah yang mirip. Perempuan itu tahu dia memiliki kemiripan dengan lelaki di hadapannya ini, tapi lelaki itu lebih mirip dengan kakaknya karena mereka berdua adalah suami istri.
“Kalaupun aku mempunyai keberanian untuk menyatakan cinta padanya, cinta ini tidak akan pernah berhasil. Karena aku jatuh cinta pada sebuah hati yang tak seharusnya.”

Harusnya Adikku Tidak Pulang Malam Itu



(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 12 Mei 2019)

Sejak kepulangannya setelah satu pekan menghilang, adikku selalu menatapku dengan tatapan aneh. Dia seolah akan menelanku dalam sekali lahap. Kadang aku memergokinya sedang menatap awas padaku dengan mulut komat-kamit seolah sedang merapalkan mantra. Menyadari itu seketika aku merinding dan kabur. Aku tentu yakin adikku tidak sedang merapalkan mantra karena adikku terlalu bodoh untuk mengetahui apalagi menghafal sebuah mantra. Namun, bagaimana cara dia menatapku pelan-pelan membuatku bergidik.

Aku memang jarang sekali akur dengan adikku. Malah, aku berharap dia tidak terlahir sebagai adikku. Atau jika Ayah dan Ibu tetap menginginkan seorang adik untukku, aku harap bukan dia orangnya. Adikku sangat bodoh. Dia sering berteriak-teriak tanpa sebab, bahkan pernah suatu hari dia melempari teman-temanku dengan benda lengket yang entah dia dapat dari mana. Karena kejadian itu untuk beberapa lama aku dijauhi oleh teman-teman karena mereka menganggap aku mempunyai adik yang gila.

Memang benar adikku itu gila. Dia suka bicara dan tertawa sendiri; tertawa kemudian berteriak-teriak tidak jelas. Adikku juga tidak bersekolah. Memangnya ada sekolah yang mau menerima murid gila? Tidak, kan? Maka, adikku tidak sekolah. Kerjaan sehari-harinya hanya membuat berantakkan isi rumah, membuat Ibu kepayahan karena ulahnya.

Pernah suatu hari aku berkata pada Ibu kalau harusnya adikku tidak perlu lahir. Ibu marah mendengarku. Ibu bilang aku tidak seharusnya mengatakan hal demikian.

“Bagaimanapun dia adalah adikmu,” begitu katanya. Ibu juga menambahkan bahwa adikku hanya mempunyai kebutuhan khusus dan aku tidak seharusnya bicara seperti itu.

Tetap saja aku benci adikku. Aku tidak mau dikatai mempunyai adik gila oleh teman-temanku. Ibu dan Ayah tidak merasakan bagaimana aku diejek oleh teman-temanku karena kelakuan tidak normal dari Adik.

“Jangan main dengan Budi. Adik Budi gila. Dan kata ibuku, gila itu menurun, jadi ada kemungkinan Budi juga gila. Mungkin sebentar lagi.”

Aku berharap adikku menghilang saja, tapi tidak ada yang menghiraukan kata-kataku tentang Adik. Ayah dan Ibu tetap sayang padanya meski kelakuannya tidak normal. Ibu tetap mengajarinya baca tulis di rumah—karena tidak ada sekolah yang mau menerima Adik sebagai murid. Dan sesabar apa pun Ibu mengajarinya, Adik tetap bebal. Sekadar mengeja mama papa saja dia tidak bisa. Yang bisa Adik lakukan hanya membuat keributan, memberantakkan rumah, dan mengganggu hidupku.

Pernah suatu hari kulihat Adik bermain dengan kucing piaraanku. Karena kulihat dia tidak sedang kumat, kubiar dia bermain. Namun, baru sebentar aku ke toilet untuk buang air, Adik dan kucingku sudah tidak berada di tempat di mana aku meninggalkan mereka. Ketika kucari ke belakang rumah, Adik menggantung kucing piaraanku dengan seutas tali di dahan pohon mangga, sedangkan dia berjingrak ria di bawahnya sambil bernyanyi Balonku Ada Lima.

Kucingku tak terselamatkan meski Ayah segera memberi pertolongan setelah mendengar jerit histerisku. Ketika melihat kucingku berbujur karena mati lemas, dalam benakku aku membayangkan sedang memukuli kepala Adik dengan sebongkah batu. Mungkin kalau kepalanya yang bebal itu dihajar dengan batu hingga berdarah baru adikku bisa sembuh dari penyakit gila. Tapi aku tahu Ayah dan Ibu tidak akan membiarkanku melukai Adik, maka yang bisa kulakukan hanya menangis histeris hingga aku lelah dan tertidur.

Kucingku dikubur di bawah pohon, di mana ia digantung oleh Adik. Dan untuk beberapa hari ke depan aku mogok makan. Aku katakan pada Ibu bahwa aku tidak akan makan kalau Adik tidak diusir dari rumah. Namun, Ibu tentu tak mendengarku. Ibu bilang Adik tidak sengaja. Mendengar itu aku terbengong-bengong.

Aku pernah tidak sengaja memecahkan vas bunga, tapi tidak sengaja menggantung seekor kucing di dahan pohon mangga hingga mati bukan hal yang bisa diterima akal sehat!

Ayah dan Ibu terus membujukku. Mereka bilang akan membelikanku seekor kucing yang sama persis seperti sebelumnya atau yang lebih bagus lagi dengan bulu putih yang lebat. Aku menolak. Tak terbayang bagaimana jika nasib kucing yang baru sama mengenaskannya di tangan Adik.

Sejak kematian kucingku, setiap malam aku menyusun rencana agar terbebas dari adikku; agar dia keluar dari rumah, agar dia tidak lagi menjadi adikku. Apa pun akan kulakukan. Rasanya sudah cukup semua penderitaan yang harus aku terima karena kehadiran adikku yang tidak waras.

Suatu hari, di mana ada pasar malam di kompleks sebelah, aku membiarkan Adik ikut denganku. Ayah dan Ibu tentu senang karena mereka menganggap aku sudah mulai berbaikan dengan Adik.

“Bagus, memang seperti itulah harusnya kakak-beradik,” kata Ayah yang dilanjut dengan tawa penuh kebanggaan, begitu juga dengan Ibu.

Tidak tahu saja mereka kalau setibanya di pasar malam, aku meninggalkan adikku di dekat komedi putar. Kutinggalkan dia yang masih senyam-senyum melihat benda-benda yang belum pernah dilihatnya. Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke mampir ke rumah temanku agar rencanaku berhasil. Namun, setibanya di rumah, betapa terkejutnya aku melihat Adik sudah duduk manis di depan televisi sambil menjilati lolipop yang tadi kubelikan untuknya.

Ibu bilang, seorang tetangga menemukan Adik dan membawanya pulang. Dan dengan gagap aku berbohong bahwa sejak tadi aku berusaha mencari Adik yang entah hilang ke mana. Entah kedua orangtuaku percaya atau tidak karena setelahnya aku disuruh mandi kemudian tidur.

Hari-hari berjalan seperti biasanya; penuh kegaduhan yang diakibatkann oleh Adik. Sampai suatu hari Adik menghilang sepekan lamanya. Ayah dan Ibu mencari ke sana kemari, tidak juga ketemu. Mereka juga pelaporkan ke polisi, menempel poster di setiap tiang listrik, bahkan menampilkan foto Adik yang penuh liur di berita di televisi. Adik tidak juga ketemu, sampai di suatu malam, di tengah hujan lebat, seseorang mengetuk pintu depan. Pelan. Sebanyak tiga kali.

Ibu yang membukakan pintu seketika menangis tak henti-henti melihat Adik berdiri kedinginan di depan pintu. Ayah ikut menangis haru, sedangkan aku jatuh terduduk saking terkejut melihat Adik.

“Tidak, tidak mungkin,” gumamku.

Ada perubahan yang begitu kentara dari diri adikku sejak kepulangannya. Dia tidak seperti adikku yang gila. Adik tidak pernah lagi bicara ataupun tertawa sendiri seperti dulu. Dia tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila dan yang lebih mengherankan, adikku bisa baca tulis. Dia bisa mengeja kata dengan baik hingga Ibu berpikir untuk segera memasukkannya ke sekolah yang sama denganku. Sebagai hadiah, Ayah juga membelikannya seekor kelinci putih. Setiap hari adikku bermain dengan kelinci itu dan tidak ada tanda-tanda dia ingin menggantungnya di dahan pohon mangga belakang rumah. Adikku benar-benar menjadi seseorang yang berbeda.

Sejujurnya aku senang dengan perubahan adikku. Seperti itulah harusnya adikku; manis, penurut, penyayang binatang, dan pandai, bukan gila dan hobi berteriak-teriak. Namun, melihat bagaimana dia setiap kali menatapku membuatku bergidik ngeri.

Setiap malam, aku bermimpi buruk Adik mencekikku hingga aku kehabisan napas seperti kucing piaraanku. Aku ketakutan, tapi aku tidak bisa bercerita pada siapa pun. Aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh adikku yang kini pindai dan selalu tersenyum manis. Mungkin aku harus mulai belajar berdamai dengannya, setidaknya agar aku tidak lagi merasa ketakutan?

Melihat kepandainya yang terus berkembang, setahun kemudian adikku telah masuk sekolah dan disenangin banyak orang karena sikapnya manis. Dia punya banyak teman, sedangkan aku tetap menyimpan ketakutan pada adikku. Ketika suatu hari kedua orangtua kami pergi untuk sebuah urusan dan aku hanya tinggal berdua dengan adikku, kuberanikan diri untuk menanyainya.

Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keberanian. Belum lagi tatapan adikku yang seolah ingin melahapku membuat nyaliku menciut.

Dia sedang bermain dengan kelinci-kelincinya yang kini berjumlah puluhan ekor di taman belakang rumah di mana dulu kucingku dikubur. Aku mendekatinya dengan perasaan was-was. Bisa saja dia benar-benar akan melahapku saat itu juga, terlebih tidak ada orang lain di rumah.

“Siapa kamu?” tanyaku.

Dia menoleh, membuat rambutnya yang hitam panjang berkibar tertiup angin. Dengan mata beningnya dia menatapku dan senyum begitu manis. Tatapan kami bertemu. Saat itulah aku tahu bahwa dia memang bukan adikku. Bukan. Karena setahun yang lalu, sebelum dia menghilang sepekan lamanya, aku mendorongnya ke sumur dekat taman kompleks.

Aku jelas mendengar suara kecipak air di dalam sumur menandakan adikku tercebur di dalam sana. Aku juga melihat tangan kecilnya yang melambai-melambai meminta tolong. Saat itu aku ingat bagaimana kucingku mati karena dirinya, aku ingat bagaimana aku diejek teman-temanku karena kelakuannya. Harusnya dia tidak terlahir sebagai adikku, maka kututup sumur tua itu dengan seng seolah tidak terjadi apa pun.


Bojong, Mei 2019



Perona Merah di Wajah Ibu

(Pertama kali tayang di website ideide.id edisi Minggu, 4 Februari 2019)
Sejak perceraiannya dengan Ayah, Ibu tak mau lagi berhias. Sekadar memulas pemerah bibir atau perona pipi pun ia enggan. Hanya sebuah sisir yang ia gunakan untuk merapikan rambut panjang, selebihnya segala macam perlengkapan rias ia singkirkan dari kamar. Bagiku, pucat wajah Ibu sama halnya dengan layu dirinya. Seperti bunga yang kehilangan warna, Ibu memudar.
“Aku berhias hanya untuk ayahmu, tapi sekarang tak ada lagi alasan bagi Ibu untuk melakukannya.”
Aku tak lagi bisa memaksanya, meski aku rindu melihat Ibu yang berlama-lama di meja rias untuk menabur bedak, menyamarkan garis-garis di kening, menghilangkan lingkaran hitam di sekitar mata, dan membuat bibir yang selalu tersenyum itu menjadi merah serupa buah stroberi. Aku rindu melihat Ibu yang sibuk mematut wajahnya di cermin dan merasa percaya diri bahwa dialah wanita paling cantik di dunia; tak ada wanita lain!
Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti dan memahami keputusan kedua orangtuaku untuk bercerai. Aku tak mau terlalu egois dengan mengharapkan sebuah keluarga utuh hanya demi status sosialku di masyarakat sedangkan aku tahu ada gejolak dalam keluargaku. Aku mengerti inilah yang terbaik. Meski itu tidak berarti aku mengerti mengapa Ayah lebih memilih wanita lain.
Kurang cantikkah Ibu? Kurang baikkah Ibu? Bagiku Ibu adalah seorang wanita yang sempurna; ibu yang baik dan istri yang teladan.
Selalu ada buah yang lebih segar. Mungkin itu yang menggoda Ayah. Usia Ibu memang tak bisa dibohongi atau ditutup dengan perias wajah, sedangkan Ayah menginjak masa pubertas kedua. Ayah berpaling pada sekretarisnya yang matang, yang senyumnya lebih menggairahkan, berkulit mulus kencang. Sejak itu begitu banyak pertengkaran, amarah yang tak lagi bisa dibendung, kekecewaan tak lagi bisa diadang. Mereka menyerah dalam persidangan.
“Tak bisa Ibu bayangkan ayahmu menghabiskan malam bersama wanita lain. Lebih baik Ibu sendiri daripada menghadapi kesakitan berbagi.”
Selepas hari persidangan Ibu menghapus riasan di wajahnya dan sejak itu tak pernah lagi aku melihat ia berhias. Ia biarkan garis-garis halus muncul di wajah. Ia biarkan pipi itu mengendur tak berperona. Ia biarkan bibir tanpa senyum itu mengering. Ibuku seperti seorang yang tengah sekarat dan sebentar lagi malaikat maut mengambilnya.
Kadang ingin aku berkata, jika bercerai adalah pilihan agar Ibu tak harus dimadu, mengapa Ibu berkabung dalam duka? Bukankah akan lebih baik jika Ibu tunjukkan pada Ayah bahwa Ibu bisa tetap bahagia, bahwa Ibu tak membutuhkan seorang laki-laki yang tak setia? Mungkin memang benar Ibu telah cinta mati pada Ayah dan sekarang Ibu tahu bahwa cinta itu tak lagi terbalas. Maka, pada sebuah kekecewaan yang mahakuat Ibu menyerah, memilih berkabung dan tak lagi bisa melihat dunia seperti dulu.
Aku teringat pada nenekku yang ditinggal mati oleh Kekek. Bagiku mereka adalah gambaran cinta sejati. Kakek dan Nenek telah melewati waktu yang teramat panjang untuk saling mencintai, saling menjaga dalam kasih dan duka. Dan ketika ajal itu merenggut Kakek, Nenek tak mampu lagi bertahan meski berulang kali ia katakan ikhlas. Tepat sebulan sejak kepergian Kakek, Nenek menyusulnya setelah menahan kesakitan rindu yang dihasilkan dari perpisahan. Mereka dimakamkan bersebelahan.
Aku yakin di surga mereka telah bahagia; menghabiskan keabadian dalam cinta selamanya. Aku pun yakin Ibu ingin memiliki cinta yang sama seperti kedua orangtuanya; menikah, hidup bersama sampai tua, mati, dan bertemu kembali di surga. Namun, Ayah berkehendak lain.
“Maafkan Ayah, Nak,” kata Ayah seusai persidangan.
Aku tak cukup dewasa untuk mengerti bagaimana seorang laki-laki yang telah bersumpah setia, mengingkari janji demi seorang wanita lain. Dan aku tak cukup dewasa untuk mengerti arti kesedihan yang ditunjukkan Ibu. Bagiku tak mengapa mereka berpisah, tapi aku berharap mereka bisa mendapat kebahagiaan satu sama lain. Bukankah itu impas?
“Kau hanya belum mengerti, Nak,” kata Ibu.
Ya, aku memang belum mengerti. Aku biarkan Ibu dalam kesedihannya; hari-hari berlalu dengan kepucatan di wajah Ibu. Ia menua lebih cepat, seperti Nenek yang menemuai ajal lebih cepat demi bertemu kakek.
Aku pikir setahun atau dua tahun cukup bagi Ibu, tapi aku salah; ia tetap melanjutkan kesedihannya. Bahkan di hari pernikahanku, putri semata wayangnya, ia tetap tak berhias. Meski terkadang menampakkan senyum di bibir, tapi tetap saja ia serupa pelayat yang mengantar jenazah ke liang lahat dengan muka pucat, baju serba hitam. Pasti karena itu ada orang yang berbisik, “Mungkin ibunya tidak merestui.”
Sejak itu aku mengenal arti kata benci. Tak seharusnya Ibu begitu keras kepala hanya untuk menunjukkan kesedihannya ditinggal kekasih hati. Bagaimanapun aku anaknya yang ingin semua sempurna di hari pernikahanku. Mau ditaruh di mana mukaku ketika mertuaku bertanya perihal Ibu? Aku hanya bisa menunduk dalam-dalam padahal aku telah menyiapkan kebaya indah berwarna merah muda untuk Ibu; kebaya yang jauh hari sudah aku wanti-wanti untuk Ibu kenakan, tapi Ibu lebih memilih pakaian pelayat.
Jika Ibu berkabung begitu lama untuk sebuah kekecewaan pada Ayah, maka aku bisa membenci dengan waktu yang sama lamanya untuk kekecewaan pada Ibu. Aku hengkang dari rumah yang membesarkanku. Mengubah kesepakatan dengan Mas Bram, suamiku, bahwa kami akan tinggal di rumah orangtuaku demi menjaga Ibu. Aku memilih tinggal jauh dari Ibu.
Aku tahu tak seharusnya aku membenci Ibu untuk keputusannya. Mas Bram selalu menasihatiku, tapi aku tak bisa. Aku terlalu kecewa.
“Mungkin kamu hanya belum mengerti arti kesedihan Ibu,” kata Mas Bram setiap aku menolak untuk mengunjungi Ibu.
Bertahun lamanya aku memelihara kekecewaan. Hingga anakku lahir, aku belum pernah sekalipun menjenguk Ibu. Aku yakin ia masih dalam perkabungannya; mengenakan pakaian serba hitam, tanpa perona di pipi, apalagi lipstik di bibir. Aku hidup bahagia dengan keluarga kecilku, hingga kusadari ada yang sedang bermain di belakangku.
Mas Bram jadi lebih jarang pulang ke rumah. Ada saja alasannya dan aku mulai curiga. Ketika kutanya ia marah, mengatakan bahwa aku tak seharusnya curiga apalagi menuduhnya macam-macam. Ia tak tahu kalau sudah memegang bukti-bukti perselingkuhannya dengan seorang klien. Bisnis katanya, padahal mereka memadu cinta di pulau seberang.
“Mari kita akhiri saja,” tukasnya.
Harusnya aku yang mengatakan itu. Sejujurnya aku mungkin bisa berbagi, tapi Mas Bram tidak mau. Ia lebih memilih menceraikanku untuk bisa bersama kekasihnya yang baru. Hingga putusan persidangan dibacakan Mas Bram tak pernah sekalipun datang; ia meninggalkan rumah besar kami, mengabaikan putra kecil kami. Rumah ini serasa kuburan yang sepi dan penuh kesedihan.
Di depan cermin di mana biasanya aku mematut diri untuk merasa menjadi yang paling cantik untuk suamimu, kuhapus lipstik di bibir, perona di pipi, dan menggerai rambutku yang panjang. Tak ada lagi cinta yang tersisa. Tak ada lagi gunanya aku merias wajah karena kekasih yang begitu aku puja memilih wanita lain.
“Pakailah.” Ibu datang dengan senyum tipis di wajah. Disodorkannya selembar baju berwarna hitam padaku.
Seperti inikah yang selama ini Ibu rasakan? Ketika kekasih hati pergi, bukan untuk Tuhan, melainkan untuk wanita lain, maka separuh jiwaku telah mati. Kini yang tersisa adalah perkabungan panjang karena aku tahu tak akan ada cinta yang lain. Bisa saja saat ini Ibu mengatakan alasannya tentang apa yang selama ini ia sikapkan, tetapi tidak ia lakukan.
***
Bojong, 29 Januari 2019

Beristri Batu


(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 13 Januari 2019)

Tidak ada yang percaya jika kukatakan bahwa salah satu arca di candi Prambanan adalah istriku. Empat tahun lalu, aku mengutuk istriku menjadi sebuah arca seperti Bandung Bondowoso yang mengutuk Roro Jongrang karena sifat keras kepalanya. Tidak jauh beda, karena alasan itu pula aku mengutuk istriku.
Kadang aku menyesali tindakanku, tetapi aku yakin bahwa apa yang aku lakukan adalah yang terbaik untuk dirinya dan untuk putri semata wayang kami yang jelita dan bermata bening seperti samudera.
Sering kali aku bercerita pada wisatawan yang menyewa jasaku sebagai pemandu. “Namanya Sekar, dia istriku yang sangat aku cintai dan ibu dari anakku yang cantik bernama Jelita. Aku sendiri yang membuatnya menjadi seperti ini. Istriku yang keras kepala memang pantas menjadi batu.”
Banyak yang menganggap aku hanya bercanda atau lebih parah menganggapku gila. Tidak apa. Aku bisa mengerti ketidakpercayaan mereka pada ucapanku dan membiarkan mereka saling bisik sambil menyilangkan jari telunjuk di kening. Dasar gila! Begitu kata kebanyakan wisatawan yang pernah menyewa jasaku. Namun, aku tidak pernah ada bosannya mengatakan pada setiap wisatawan bahwa arca yang berdiri di salah satu sudut candi Prambanan adalah istriku.
Sering kali, di senja hari setelah memandu para wisatawan yang berkali-kali memakiku gila, aku duduk di hadapan arca istriku, memandanginya tanpa jemu. Aku berbisik, bercerita tentang anak kami yang kini tumbuh menjadi remaja. Berulang kali, menceritakan hal yang sama seolah takut istriku lupa.
“Dia cantik,” kataku, “mirip denganmu. Bahkan matanya juga sama seperti milikmu.” Lalu aku sadar bahwa anak kami tidak ada mirip-miripnya denganku. Mata, hidung, rambut, tidak ada yang sama denganku, semua begitu identik dengan istriku. “Ah, mungkin karena anak kita perempuan, jadi harus mirip denganmu. Tidak mungkin, kan, dia memiliki rahang yang lebar sepertiku? Dia harus cantik dan anggun sepertimu, Sayang.” Aku menghibur diri, meski aku menyadari satu hal tentang anak kami.
Menit-menit selanjutnya tetap sama. Aku duduk terpekur menyelami hangat senja bersama arca istriku tanpa memedulikan tatapan orang-orang. Sering kali sinar senja yang begitu silau menyinari tepat di wajah arca istriku. Aku bertanya, apa kau ingin aku mengambil payung atau caping untuk menghadang sinar senja? Diam. Tidak ada jawaban. Dengan begitu aku yakin bahwa istriku tidak ingin aku melakukannya, maka aku tetap di posisiku; duduk menekuninya.
Sesekali ada getir yang merambat dari hati ke mata yang menghasilkan titik-titik air mata. Sedikit, karena aku tidak mau menangis di hadapan istriku. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk merenungi dan juga menyesali tindakanku. Aku ingat betul hari ketika istriku melahirkan Jelita. Dalam hati aku bersumpah untuk menjadi suami dan ayah yang bisa melindungi mereka. Aku telah membayangkan sebuah keluarga yang indah, penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, nyatanya itu tidak pernah hadir dalam rumah tanggaku. Ini bukan keluarga seperti yang aku impikan sejak awal dan itu karena sifat keras kepala istriku. Kembali aku ingin memaki, mengutuknya sebanyak jumlah umat manusia di bumi.
Aku ingat pagi pertama kami sebagai suami istri. Aku tersenyum menyambutnya di dapur, tapi istriku mengalihkan pandangan, tidak mau menatapku. Mungkin dia malu, batinku, meski aku menyadari bahwa tatapan itu tidak berubah setelah sekian lama kami bersama. Istriku tidak menginginkanku. Bukan aku yang ingin dia lihat di pagi hari ketika membuka mata. Bukan. Bukan adik dari lelaki yang dia cintai.
Pertemuan pertama kami adalah ketika kakakku mengenalkannya pada keluarga saat berwisata ke Prambanan. Sekar namanya. Dia adalah seorang arkeolog yang tergila-gila dengan candi dan sejenisnya. Seorang gadis yang cerdas dan cantik, dan aku jatuh cinta padanya meski sebenarnya itu tidak pantas. Kakakku telah berencana untuk melamarnya.
“Tidak apa, bukankah tidak masalah jika aku mencintainya diam-diam? Aku hanya ingin mengaguminya sebagai sesuatu yang indah. Aku tahu diri.” Aku berkeras hati, mesti aku tetap merasa sakit ketika kakakku benar-benar melamar gadis itu dan menentukan tanggal pernikahan. Hati ini tetap merasa sesak dan aku tidak bisa mengendalikan air mataku.
Aku bertanya pada Tuhan, kenapa harus Sekar yang membuatku jatuh cinta? Kenapa harus Sekar yang menjadi pilihan kakakku? Pada akhirnya aku lari; menjauh dari mereka, merantau menyeberangi lautan, hingga kabar tentang kematian kakakku sampai ke telinga di malam yang mendung.
Sekar tengah menangis di pusara kakakku ketika aku sampai di tanah kelahiran. Orang-orang memberi simpati padaku dan kedua orangtuaku meminta maaf karena tidak bisa menungguku lebih lama untuk melakukan pemakaman.
Kakakku dirampok ketika pulang kerja, motornya dicuri dan dia ditusuk beberapa kali hingga tewas, terang keluargaku. Aku mengutuk perbuatan para bajingan itu, meski tatapanku tidak beralih dari gadis di sebelah ibuku. Rasa sedih jelas tergambar di wajahnya yang ayu; matanya sembap terus menerus meneteskan air mata dan sesekali tubuhnya bergetar menahan isak agar tidak pecah.
Terbayang olehku undangan pernikahan yang disebar, gaun pengantin yang telah dipesan dan tanggal yang sudah ditentukan. Dengan izin orangtua, aku melamar Sekar.
“Aku sedang mengandung anak dari kakakmu. Apa kau tidak keberatan?”
Aku adalah seorang yatim piatu sebelum keluargaku sekarang mengangkatku sebagai anak mereka. Jadi, bagiku sebuah masalah menganggap anak dalam rahim perempuan yang aku cintai sebagai anakku. Maka, aku mengiyakan dan kami melangsungkan pernikahan, meski tanpa senyum di bibir Sekar.
Aku berpikir, hanya masalah waktu saja bagi Sekar untuk membuka hatinya. Bagaimanapun, dia masih berduka atas kematian kakakku. Namun, setelah kelahiran Jelita, bahkan setelah bertahun kami bersama, tatapan itu tidak pernah berubah.
Anakku bertanya, kenapa Ibu tidak pernah tersenyum pada Ayah. Hanya bisa aku jawab dengan senyum dan berkata bahwa seorang malaikat membawa senyum Ibu, jika Jelita menjadi anak yang baik dan cerdas, senyum itu akan dikembalikan.
Bohong. Senyum itu telah lama mati bersama kakakku. Dan aku mulai lelah! Menunggu ada batasnya dan rasa cintaku tidak bisa terus menerus terabaikan.
Aku memohon. Demi Jelita, kataku.
“Tentu saja demi Jelita. Kau pikir demi siapa aku menikah denganmu? Demi anak dalam rahimku, demi statusnya di masyarakat.”
Itu pertengkaran pertama, selanjutnya begitu banyak pertengkaran yang hadir; tentang betapa keras kepalanya istriku mempertahankan cinta untuk seseorang yang telah tiada, tentang keinginanku untuk memiliki hatinya, tentang alasan pernikahan kami.
“Kau pikir aku tidak tahu kalau yang kau yang membunuh calon suamiku? Dirampok katanya, padahal kau yang membunuhnya karena cemburu!”
Di dunia ini ada yang namanya batas, dan kali ini adalah batas kesabaranku. Aku kemudian mengerti bahwa sejak awal aku bukanlah menikah dengan seorang perempuan cantik bernama Sekar, melainkan menikahi sebuah batu yang keras dan berhati batu. Aku gelap mata, seperti Bandung Bondowoso yang mengucapkan kutukan pada Roro Jongrang. Aku mengambil vas bunga dan menghantamkannya ke kepala Sekar. Selanjutnya yang bisa kulihat adalah merah di mana-mana. Pada detik itu, aku juga ingat bagaimana aku membunuh kakakku karena cemburu; persis seperti yang dikatakan Sekar.
Akan tetapi, bukankah sebuah cinta artinya harus memiliki? Begitu juga arti cintaku pada Sekar. Maka, aku membakar tubuh moleknya hingga menjadi abu dan aku tabur di antara candi-candi dan arca-arca di Prambanan.
“Pertama kali aku jatuh cinta padamu adalah ketika melihatmu di Prambanan. Aku berpikir, mungkin seperti inilah kecantikan seorang Roro Jonggrang hingga membuat Bandung Bondowoso gelap mata. Namun, sepertinya akan lebih baik bagiku mencintai sebuah batu daripada menunggumu yang keras kepala ini; bahkan batu pun bisa retak setelah sekian lama ditetesi air, tapi kau tidak.”
Pada arca-arca di Prambanan ini aku menumpahkan rindu, juga cinta tidak terbalas dan menumpuknya sebagai penyesalan.

Bojong, April 2018 – Januari 2019

Penjaga Hati


(Pertama kali tayang di website Gogirl edisi Sabtu, 27 Mei 2018)

“Kalau kamu sedih dan sakit hati karena mereka, datanglah ke tempatku. Aku akan memelukmu hingga kamu tenang dan tersenyum. Aku akan menjagamu. Tapi, jangan jatuh cinta padaku, karena aku hanya akan memberimu rasa sakit sama seperti mereka.”

Kamu selalu mengatakan itu padaku; jangan jatuh cinta, sedekat apa pun kita bersama, seerat apa pun kamu memelukku, aku tidak boleh jatuh cinta padamu. Aku terus mengingat ucapanmu, meski banyak orang yang mengatakan kita adalah pasangan serasi. Tidak ada pasangan yang lebih serasi dibanding kita berdua di sekolah ini. Tidak ada. Namun, nyatanya semua ini adalah kebohongan. Ini semua hanya sebuah pelarian, karena masing-masing dari kita memiliki cinta untuk orang lain.

Awalnya, semua ini hanya sebuah permainan untuk orang-orang patah hati seperti kita. Apa semua orang yang patah hati selalu melakukan hal bodoh untuk menyembuhkan diri? Mungkin iya.

“Ayo, kita pacaran,” ucapmu di suatu sore sepulang sekolah.

Aku mengabaikanmu tentu saja. Pertama, aku tidak begitu mengenalmu meski kita satu sekolah. Kedua, aku sedang patah hati karena Kak Pandu, kakak kelas yang selama ini aku sukai jadian dengan Shien, sahabatku. Dan bagaimana bisa kamu mengajakku pacaran seperti meminta sontekan PR Matematika?

Kamu bilang, kamu hanya ingin menolongku. Kamu tahu betul bagaimana rasanya patah hati, itu sebabnya kamu ingin menolong dengan menjaga hatiku.

“Anggap saja aku ini Kak Pandu.”

Apa bisa aku melakukannya? Aku tahu, aku sakit hati ketika Kak Pandu yang begitu aku kagumi dan berharap suatu hari nanti menjadi pacarku malah jadian dengan Shien. Namun, melampiaskan cinta ini padamu dan menganggapmu sebagai dirinya, apakah itu suatu hal yang bijak? Aku tidak mengenalmu, tapi kamu menawarkan tempat berlindung dan berjanji menjagaku. Meski itu artinya aku juga harus memberi tempat berlindung yang sama.

“Kalau kamu sedih karena melihat Kak Pandu dan Shien jalan bersama, datanglah padaku. Kalau kamu marah karena Kak Pandu tidak punya waktu lagi untukmu, lampias padaku. Kalau di malam Minggu kamu ingin pergi ke luar, aku akan menjemputmu. Aku akan melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan dengan Kak Pandu, seperti juga aku ingin melakukannya dengan seseorang.”

Sama seperti aku yang begitu mencintai Kak Pandu, kamu juga pasti sangat mencintai Shien. Kita hanya pelampiasan dari sesuatu yang tidak bisa kita gapai, mencoba tetap bertahan dan tersenyum dengan berada di bawah kenyamanan dari orang lain, walau tanpa cinta. Aku pikir, itu tidak ada salahnya. Maka, sejak itu, kita bersama, membohongi orang-orang dengan mengatakan kita menjalin hubungan. Pacaran. Kamu akan memberiku segalanya, tapi dengan satu syarat: aku tidak boleh jatuh cinta padamu.

“Apa yang kamu sukai dari Shien?” tanyaku suatu kali ketika kita jalan di malam Minggu.

“Shien?” Kamu menatapku bingung.

“Iya. Bukannya kamu suka sama Shien, makanya kamu patah hati saat dia jadian dengan Kak Pandu dan melampiaskannya padaku?”

Kamu tidak segera menjawab. Berbeda denganku yang terang-terangan bercerita padamu tentang rasa sukaku pada Kak Pandu, kamu tidak pernah membahas soal Shien. Mungkin karena Shien adalah sahabatku, jadi kamu enggan membahasnya. Cowok memang lebih bisa menyembunyikan perasaan. Itu yang aku pelajari darimu.

“Mungkin… karena dia cantik,” jawabmu akhirnya.

“Mungkin?” Aku heran, semua orang juga pasti setuju kalau Shien itu cantik. Dan itu bukan sebuah alasan kuat untuk membuat seseorang jatuh cinta.

“Bagaimanapun, yang namanya cinta itu dari mata turun ke hati,” sanggahmu dan aku mengalah.

Shien memang memiliki daya tarik sendiri dengan mata sipit dan pipi chubby yang menggemaskan. Apa semua cowok menyukai cewek seperti itu? Apa itu sebabnya Kak Pandu langsung tertarik dengan Shien dan mengabaikan aku yang telah lama mengenal dirinya?

Dulu aku dan Kak Pandu selalu bersama, melewati masa-masa kecil dengan bermain di taman atau di rumahku. Aku yakin suatu hari dia akan menyatakan cinta padaku seiring bertambahnya usia dan kedewasaan kami. Bukankah suatu hal yang wajar ketika sahabat jadi cinta? Namun, aku lupa bahwa di dunia ini tidak hanya tentang kami berdua; ada orang lain, ada cewek lain yang lebih bersinar yang membuat mata Kak Pandu tertuju padanya. Jika sekarang aku kehilangan Kak Pandu dan harus melampiaskannya padamu, itu semua murni salahku.

“Kalau begitu, cobalah tunjukkan perasaanmu padanya. Jangan terus menerus bersembunyi di balik kata persahabatan.” Kamu mendebatku ketika aku menangis karena Kak Pandu semakin jauh dariku.

Tak ada lagi aku dalam hari-hari Kak Pandu. Semua tentang Shien dan aku kehilangan dirinya. Aku cemburu dan sakit hati.

“Nyatakan perasaanmu. Itu lebih baik. Aku tahu kamu tersiksa karena hubungan ini. Setidaknya, biarkan dia tahu apa yang kamu rasakan.”

Tidakkah kamu mengerti, bahwa ada kalanya kita harus tetap bersembunyi agar tidak kehilangan lebih banyak. Aku tidak mau melangkah lebih jauh lagi untuk menghindari orang yang aku cintai. Kita benar-benar pecundang, bukan?

“Aku takut. Aku takut kalau harus merasakan sakit hati lebih dari ini.”

“Kamu masih punya aku. Kamu bisa bersandar padaku jika merasakan sakit.”
Ada ketulusan di matamu dan ketika kamu memelukku, aku tahu bahwa aku bisa bersandar padamu. Kita bisa saling membagi rasa sakit itu. Dan aku yakin, aku bisa menyampaikan perasaanku pada Kak Pandu. Bukankah dia orang yang baik, itu sebabnya aku jatuh cinta padanya? Pasti dia tidak akan membuatku sakit hati.
***

Semua tidak berjalan lancar. Aku hanya berpikir Kak Pandu pasti akan mengerti perasaanku meski dia tidak akan menyambut hatiku. Setidaknya, dia pasti mengerti dan tidak akan menghancurkanku. Tapi, ternyata aku salah.

“Aku pikir, kamu mengerti arti sayangku padamu selama ini. Aku sudah menganggapmu seperti adikku. Terlebih Shien adalah sahabatmu sendiri.”

Aku tidak mengerti. Bukan jawaban seperti ini yang ingin aku dengar. Ini bukan Kak Pandu yang aku kenal. Bukankah harusnya dia memeluk untuk menenangkanku jika memang dia tidak bisa menerima hatiku? Tidak. Aku bahkan tidak meminta hatinya. Aku hanya ingin dia tahu alasanku tersenyum padanya selama ini. Lalu kenapa dia menyalahkan rasa sudah sejak lama terbangun indah di hatiku?

“Tidak semua cinta berakhir indah.” Kau datang padaku malam harinya.

Pada akhirnya aku hanya bisa bersandar padamu. Pada akhirnya aku akan terus terikat denganmu. Mungkin tidak akan ada masalah. Kamu akan tetap menjagaku dan memberi sebuah kenyamanan, asal aku tidak jatuh cinta padamu.
***

Senyummu terasa lain kali ini, padahal kamu tersenyum seperti biasa. Genggaman tanganmu pun terasa lain; lebih hangat. Dan pelukanmu terasa lebih nyaman. Namun, ada gemuruh dalam hatikku setiap kali merasakannya. Apa ini? Kenapa rasanya sesak setiap kali melihatmu bersama cewek lain? Perasaan apa ini? Mungkinkah aku ….

“ … jatuh cinta padamu.”

Kamu menatapku datar. Binar matamu lain, ada sesal di sana. Kamu menghela napas panjang sebelum bangkit dari dudukmu dan beranjak padaku.

“Kenapa kamu melakukan ini? Bukankah aku sudah bilang, jangan jatuh cinta padaku?” Kamu mengusap rambutku.

“Aku merasakannya. Cinta. Yang bahkan lebih kuat dibanding pada Kak Pandu. Lagipula, bukankah kita memang serasi? Kenapa tidak kita coba saja?”

“Aku tidak bisa. Maaf. Dan jika setelah kamu sakit hati, aku tidak bisa lagi menolongmu. Itu perjanjian kita.”

“Kenapa? Apa kamu benar-benar tidak bisa melupakan Shien?”

“Bukan Shien.”

“Lalu siapa?” Aku tidak mengerti. Bukan Shien?

“Bukan Shien yang ada dalam hatiku. Ini tidak seperti yang kamu kira.”

Kata-kata selanjutnya yang keluar dari bibirmu membuatku limbung. Bukan Shien. Bukan gadis bermata sipit itu yang membuatmu tidak bisa jatuh cinta padaku, tapi orang lain. Orang yang sama yang aku cintai sebelumnya, yaitu Kak Pandu.

Seketika kakiku melemas menyadari pribadimu sebenarnya.