(Pertama kali dimuat di Harian Media Indonesia edisi Minggu, 2 Juni 2019)
Dia berharap punya cukup keberanian seperti yang dimiliki sang ibu
ketika menyatakan cinta pada ayahnya. Dia juga berharap mempunyai sedikit
keberanian seperti kakaknya ketika mengatakan cinta pada kakak iparnya. Namun,
bagaimanapun dia belajar untuk menjadi berani, dia tetap membisu di hadapan
lelaki pujaannya. Entah hilang ke mana narasi yang telah dia siapkan. Entah
menguap ke mana keberanian yang telah dia kumpulkan semalaman; semua lenyap tak
tersisa.
Dalam keluarganya istilah perempuan hanya bisa menunggu tidak berlaku.
Perempuan dalam keluarganya selalu mengambil langkah untuk perasaan mereka
terhadap lawan jenis. Dari nenek buyut hingga kakaknya, semua menyatakan cinta
lebih dulu pada lelaki pilihan mereka sebelum akhirnya mereka menikah.
“Ini adalah keberanian turun-temurun!” kata sang kakak di ujung telepon.
“Kau juga harus memiliki keberanian yang sama,” lanjutnya.
Entah sang kakak mengetahui dari mana perihal hatinya kini yang
dirundung keresahan pada seorang lelaki. Mungkin karena ini memang sudah
waktunya, sedangkan selama ini dia tidak pernah tampak dekat dengan seorang
lelaki pun.
“Bagaimana Kakak yakin kau tidak akan patah hati?”
“Jadi kau hanya takut patah hati?”
Dia tidak menjawab. Sejujurnya bukan itu yang dia takutkan.
“Aku hanya seorang editor magang saat itu, sedangkah kakak iparmu
seorang dokter. Bayangkan betapa ragunya aku menghadapi kenyataan itu. Banyak
wanita yang jauh lebih baik dibanding aku mengantre menjadi istrinya. Tapi kata
orang, jodoh itu wajahnya mirip dengan kita, makanya aku yakin dia jodohku dan
aku menyatakan perasaanku.”
“Dan kalian menikah?”
“Tentu saja. Ayah dan Ibu juga seperti itu, jadi kau juga harus punya
keberanian yang sama.”
Kali ini dia tersenyum; jodoh selalu memiliki wajah yang mirip.
Sudah empat bulan sejak dia mengenali degup jantung yang tidak beraturan
sebagai cinta. Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia merasakan sensasi
mendebarkan itu. Sayangnya, ketika dia menyadari bahwa itu adalah sebuah naluri
paling purba di bumi, dia mengutuki perasaannya sendiri. Ini tidak akan
berhasil, harusnya aku tidak jatuh hati padanya, katanya setiap waktu.
Mati-matian dia melupakan perasaannya. Namun, perasaan yang telanjur
tertanam itu bagai virus yang menyebar begitu cepat dan tidak bisa hilang
bagaimanapun dia berusaha untuk melupa. Mungkin akan lebih baik baginya untuk
menyatakan perasaannya. Aku mencintaimu.
Cukup dua kata itu, tapi dia tidak punya keberanian seperti pendahulunya; hanya
kebisuan yang bisa dia tawarkan pada lelaki pujaannya.
Hari ini dia harus membawa kucing piaraannya ke klinik dan itu sudah
cukup sebagai alasan baginya untuk bertemu dengan lelaki pujaannya. Dia harus
mempunyai sebuah alasan bahkan untuk sekadar bertemu, karena dia tidak punya
keberanian seperti yang dimiliki ibu ataupun kakaknya untuk mendekati lelaki
pilihan mereka. Semalaman, dia telah meramu keberanian yang diwariskan secara
genetik dari keluarganya. Tak lupa pula dia menyusun narasi untuk sekadar
mewakili perasaannya.
Keberanian yang harusnya telah mendarah daging itu bagai teracuni dan
hilang. Sedangkan narasi yang telah dia pelajari selama mengenyam pendidikan
sastra tiba-tiba membebal ketika dia berhadapan dengan lelaki pujaannya. Yang
bisa dilakukan hanyalah meremas buku-buku jarinya untuk mengatasi kegugupan.
Jantungnya bagaimana berpacu dan dia sampai takut jika lelaki di hadapannya itu
dapat mendengar degup jantungnya yang sudah seperti genderang.
Sadarkan dirimu! Kau harus bersikap normal, makinya dalam hati.
“Kucingmu mengalami gangguan pencernaan. Sepertinya dia salah makan. Kau
harus lebih memperhatikan makanannya,” ucap lelaki itu setelah memeriksa kucing
piaraannya yang tiga hari ini terlihat lesu.
“Oh, begitu.” Sekali lagi perempuan itu mengutuki diri sendiri atas
ucapan yang barusan saja dia katakan. Harusnya dia menjawab lebih panjang lagi
agar punya bahan untuk berbincang dengan lelaki di hadapannya.
Dia memeras otak, mengingat narasi yang telah dia siapkan semalam, tapi
tak ada yang tersisa. Dia tidak pernah sebodoh ini di sekolah. Kini perempuan
itu mulai berpikir mungkin saja dia bukan anak kandung dari keluarganya.
Mungkin saja dia hanya anak pungut karena tidak punya keberanian seperti ibu
dan kakakknya.
“Untuk tiga hari ke depan jangan dimandikan dulu, ya. Dan juga jangan
lupa minggu depan jadwal vaksinisasi.”
Agak tersentak dia mendengar ucapan lelaki pujaannya. Itu artinya minggu
depan mereka akan bertemu lagi dan itu artinya seminggu ini dia harus
mengumpulkan keberanian juga narasi cinta untuk disampaikan pada lelaki
pujaannya. Dia tidak ingin terlihat bodoh lagi seperti hari ini. Setidaknya dia
harus membuat lelaki pujaannya mengetahui perasaannya. Agar lelaki pujaannya
mengerti arti gugupnya selama ini. Agar lelaki pujaannya itu tahu betapa gundah
hatinya selama ini menanggung rindu.
Dalam benaknya kini dia hanya memikirkan cara untuk mengumpulkan
keberanian. Dibacanya buku-buku tentang cinta; bait-bait puisi yang menggugah
hatinya. Namun, dia tidak yakin itu akan berhasil. Dia berpikir, apakah semua
cinta harus diungkapkan? Dan apakah cinta seperti miliknya ini pantas untuk
disampaikan?
“Setidaknya menyatakan perasaan bisa membuatmu lega,” kata seorang
teman.
Ini tidak sesederhana yang mereka bayangkan, katanya. Dia semakin
frustrasi pada cinta di hatinya. Setiap malam dia merasaan sesak tak
tertahankan di dada. Debar jantungnya seolah akan meledakkan dirinya menjadi
serpihan. Jatuh cinta tak pernah semenyesakkan ini. Tak ada jalan lain, dia
harus menyatakan perasaannya apa pun risiko yang akan ditanggung setelahnya.
Apa kira-kira yang membuat seorang lelaki menaruh hati pada seorang
perempuan? Apa kiranya yang membuat Ayah yakin bahwa Ibu adalah jodohnya? Dan apa
yang membuat kakak iparnya yakin untuk menerima pernyataan cinta kakaknya?
“Ayah harap Tuhan sedikit bermurah hati dengan memperlihat benang merah
di jari kelingking kita yang terhubung dengan jodoh yang telah Dia siapkan.
Tapi tidak ada yang seperti itu dan ibumu datang dengan sebuah hati yang penuh
dengan cinta untuk Ayah.”
Perempuan itu berharap mempunyai kisah cinta seperti orangtuanya. Mereka
bertemu di waktu yang tepat, dengan keberanian Ibu menyatakan cinta, kemudian
menikah dan bahagia hingga kini. Perempuan itu yakin jika suatu hari nanti
kedua orangtuanya meninggal karena usia, keduanya akan bertemu kembali di
surga.
“Ayah, apakah ada yang namanya cinta yang salah?”
“Kenapa bertanya seperti itu? Apakah kau tidak percaya pada cintamu
sendiri?”
“Aku hanya sangat takut.”
“Nyatakan perasaanmu seperti ibu dan kakakmu. Bukan cinta namanya jika
hanya dipendam dan tak pernah tersampaikan.”
Bersama kucing berbulu putih yang harus divaksinisasi, perempuan itu
datang ke klinik lelaki pujaannya. Dengan segenggam keberanian, sebait narasi
yang telah dia siapkan, dan nasihat ayahnya, dia siap untuk menyatakan cinta.
Terus dia dengungkan ucapan ayahnya semalam: bukan cinta namanya jika hanya
dipendam dan tak pernah tersampaikan.
Kegugupan seketika menyeretnya ketika melihat binar mata lelaki
pujaannya. Senyum lembut yang telah meluluh hatinya itu mengobrak-abrik
keberanian yang telah dia kumpulkan. Nyaris saja dia melangkah pergi dan
menjadi pecundang jika dia tak mengingat-ingat nasihat sang ayah.
“Kau jadi agak pendiam akhir-akhir ini. Apa kau sedang ada masalah?”
Ingin sekali perempuan itu berkata bahwa masalah ada pada lelaki di
hadapannya. Lelaki yang telah mencuri hatinya dengan paksa, membuatnya memuja
dan lupa segalanya. Salah lelaki itu begitu perhatian padanya hingga dia
mengartikannya sebagai sesuatu yang lain dan jatuh cinta pada hati yang tak
semestinya. Salah lelaki itu membuatnya menangis tiap malam karena menahan
rindu. Ingin dia ucapkan semua itu, tapi dia tak berani. Yang bisa dia lakukan
hanya menggelang pelan.
“Kakakmu cerita, katanya kau sedang jatuh cinta pada seorang lelaki?”
Lagi-lagi, lelaki itu senyum begitu lembut. “Aku harap kau punya keberanian
seperti kakakmu untuk menyatakan cinta pada lelaki pujaanmu itu.”
Kali ini tangan perempuan itu mengepal keras, jantung berdetak begitu
keras membuatnya sesak napas, dan bau cairan antiseptik membuatnya sedikit
limbung. Apakah ini saatnya? Batin perempuan itu.
“Aku bersyukur bertemu dengan kakakmu dan menikahinya.”
Satu kalimat itu seperti menyeretnya ke kenyataan; membuat telinganya
berdengung seperti dilewati sederet gerbong kereta yang melaju begitu cepat.
Ini adalah kenyataan yang selama coba dia abaikan.
“Aku harus pulang lebih awal. Hari ini adalah ulang tahun pertama
pernikahanku dengan kakakmu. Aku harus menyiapkan hadiah istimewa untuknya.”
Perempuan itu ingat ketika kakaknya berkata bahwa dua orang yang
berjodoh memiliki wajah yang mirip. Perempuan itu tahu dia memiliki kemiripan
dengan lelaki di hadapannya ini, tapi lelaki itu lebih mirip dengan kakaknya
karena mereka berdua adalah suami istri.
“Kalaupun aku mempunyai keberanian untuk
menyatakan cinta padanya, cinta ini tidak akan pernah berhasil. Karena aku
jatuh cinta pada sebuah hati yang tak seharusnya.”