(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 13 Januari 2019)
Tidak ada yang percaya jika
kukatakan bahwa salah satu arca di candi Prambanan adalah istriku. Empat tahun
lalu, aku mengutuk istriku menjadi sebuah arca seperti Bandung Bondowoso yang
mengutuk Roro Jongrang karena sifat keras kepalanya. Tidak jauh beda, karena
alasan itu pula aku mengutuk istriku.
Kadang aku menyesali tindakanku,
tetapi aku yakin bahwa apa yang aku lakukan adalah yang terbaik untuk dirinya
dan untuk putri semata wayang kami yang jelita dan bermata bening seperti
samudera.
Sering kali aku bercerita pada
wisatawan yang menyewa jasaku sebagai pemandu. “Namanya Sekar, dia istriku yang
sangat aku cintai dan ibu dari anakku yang cantik bernama Jelita. Aku sendiri
yang membuatnya menjadi seperti ini. Istriku yang keras kepala memang pantas
menjadi batu.”
Banyak yang menganggap aku hanya
bercanda atau lebih parah menganggapku gila. Tidak apa. Aku bisa mengerti ketidakpercayaan
mereka pada ucapanku dan membiarkan mereka saling bisik sambil menyilangkan
jari telunjuk di kening. Dasar gila! Begitu kata kebanyakan wisatawan yang
pernah menyewa jasaku. Namun, aku tidak pernah ada bosannya mengatakan pada
setiap wisatawan bahwa arca yang berdiri di salah satu sudut candi Prambanan
adalah istriku.
Sering kali, di senja hari setelah
memandu para wisatawan yang berkali-kali memakiku gila, aku duduk di hadapan
arca istriku, memandanginya tanpa jemu. Aku berbisik, bercerita tentang anak
kami yang kini tumbuh menjadi remaja. Berulang kali, menceritakan hal yang sama
seolah takut istriku lupa.
“Dia cantik,” kataku, “mirip
denganmu. Bahkan matanya juga sama seperti milikmu.” Lalu aku sadar bahwa anak
kami tidak ada mirip-miripnya denganku. Mata, hidung, rambut, tidak ada yang
sama denganku, semua begitu identik dengan istriku. “Ah, mungkin karena anak
kita perempuan, jadi harus mirip denganmu. Tidak mungkin, kan, dia memiliki
rahang yang lebar sepertiku? Dia harus cantik dan anggun sepertimu, Sayang.”
Aku menghibur diri, meski aku menyadari satu hal tentang anak kami.
Menit-menit selanjutnya tetap
sama. Aku duduk terpekur menyelami hangat senja bersama arca istriku tanpa
memedulikan tatapan orang-orang. Sering kali sinar senja yang begitu silau
menyinari tepat di wajah arca istriku. Aku bertanya, apa kau ingin aku
mengambil payung atau caping untuk menghadang sinar senja? Diam. Tidak ada
jawaban. Dengan begitu aku yakin bahwa istriku tidak ingin aku melakukannya,
maka aku tetap di posisiku; duduk menekuninya.
Sesekali ada getir yang merambat
dari hati ke mata yang menghasilkan titik-titik air mata. Sedikit, karena aku
tidak mau menangis di hadapan istriku. Empat tahun bukan waktu yang singkat
untuk merenungi dan juga menyesali tindakanku. Aku ingat betul hari ketika
istriku melahirkan Jelita. Dalam hati aku bersumpah untuk menjadi suami dan
ayah yang bisa melindungi mereka. Aku telah membayangkan sebuah keluarga yang
indah, penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, nyatanya itu tidak pernah hadir dalam
rumah tanggaku. Ini bukan keluarga seperti yang aku impikan sejak awal dan itu
karena sifat keras kepala istriku. Kembali aku ingin memaki, mengutuknya
sebanyak jumlah umat manusia di bumi.
Aku ingat pagi pertama kami
sebagai suami istri. Aku tersenyum menyambutnya di dapur, tapi istriku
mengalihkan pandangan, tidak mau menatapku. Mungkin dia malu, batinku, meski
aku menyadari bahwa tatapan itu tidak berubah setelah sekian lama kami bersama.
Istriku tidak menginginkanku. Bukan aku yang ingin dia lihat di pagi hari
ketika membuka mata. Bukan. Bukan adik dari lelaki yang dia cintai.
Pertemuan pertama kami adalah
ketika kakakku mengenalkannya pada keluarga saat berwisata ke Prambanan. Sekar
namanya. Dia adalah seorang arkeolog yang tergila-gila dengan candi dan
sejenisnya. Seorang gadis yang cerdas dan cantik, dan aku jatuh cinta padanya
meski sebenarnya itu tidak pantas. Kakakku telah berencana untuk melamarnya.
“Tidak apa, bukankah tidak masalah
jika aku mencintainya diam-diam? Aku hanya ingin mengaguminya sebagai sesuatu
yang indah. Aku tahu diri.” Aku berkeras hati, mesti aku tetap merasa sakit
ketika kakakku benar-benar melamar gadis itu dan menentukan tanggal pernikahan.
Hati ini tetap merasa sesak dan aku tidak bisa mengendalikan air mataku.
Aku bertanya pada Tuhan, kenapa
harus Sekar yang membuatku jatuh cinta? Kenapa harus Sekar yang menjadi pilihan
kakakku? Pada akhirnya aku lari; menjauh dari mereka, merantau menyeberangi
lautan, hingga kabar tentang kematian kakakku sampai ke telinga di malam yang
mendung.
Sekar tengah menangis di pusara
kakakku ketika aku sampai di tanah kelahiran. Orang-orang memberi simpati
padaku dan kedua orangtuaku meminta maaf karena tidak bisa menungguku lebih
lama untuk melakukan pemakaman.
Kakakku dirampok ketika pulang
kerja, motornya dicuri dan dia ditusuk beberapa kali hingga tewas, terang
keluargaku. Aku mengutuk perbuatan para bajingan itu, meski tatapanku tidak
beralih dari gadis di sebelah ibuku. Rasa sedih jelas tergambar di wajahnya
yang ayu; matanya sembap terus menerus meneteskan air mata dan sesekali
tubuhnya bergetar menahan isak agar tidak pecah.
Terbayang olehku undangan
pernikahan yang disebar, gaun pengantin yang telah dipesan dan tanggal yang
sudah ditentukan. Dengan izin orangtua, aku melamar Sekar.
“Aku sedang mengandung anak dari
kakakmu. Apa kau tidak keberatan?”
Aku adalah seorang yatim piatu
sebelum keluargaku sekarang mengangkatku sebagai anak mereka. Jadi, bagiku
sebuah masalah menganggap anak dalam rahim perempuan yang aku cintai sebagai anakku.
Maka, aku mengiyakan dan kami melangsungkan pernikahan, meski tanpa senyum di
bibir Sekar.
Aku berpikir, hanya masalah waktu
saja bagi Sekar untuk membuka hatinya. Bagaimanapun, dia masih berduka atas
kematian kakakku. Namun, setelah kelahiran Jelita, bahkan setelah bertahun kami
bersama, tatapan itu tidak pernah berubah.
Anakku bertanya, kenapa Ibu tidak
pernah tersenyum pada Ayah. Hanya bisa aku jawab dengan senyum dan berkata
bahwa seorang malaikat membawa senyum Ibu, jika Jelita menjadi anak yang baik
dan cerdas, senyum itu akan dikembalikan.
Bohong. Senyum itu telah lama mati
bersama kakakku. Dan aku mulai lelah! Menunggu ada batasnya dan rasa cintaku
tidak bisa terus menerus terabaikan.
Aku memohon. Demi Jelita, kataku.
“Tentu saja demi Jelita. Kau pikir
demi siapa aku menikah denganmu? Demi anak dalam rahimku, demi statusnya di
masyarakat.”
Itu pertengkaran pertama,
selanjutnya begitu banyak pertengkaran yang hadir; tentang betapa keras
kepalanya istriku mempertahankan cinta untuk seseorang yang telah tiada,
tentang keinginanku untuk memiliki hatinya, tentang alasan pernikahan kami.
“Kau pikir aku tidak tahu kalau
yang kau yang membunuh calon suamiku? Dirampok katanya, padahal kau yang
membunuhnya karena cemburu!”
Di dunia ini ada yang namanya batas,
dan kali ini adalah batas kesabaranku. Aku kemudian mengerti bahwa sejak awal
aku bukanlah menikah dengan seorang perempuan cantik bernama Sekar, melainkan
menikahi sebuah batu yang keras dan berhati batu. Aku gelap mata, seperti
Bandung Bondowoso yang mengucapkan kutukan pada Roro Jongrang. Aku mengambil
vas bunga dan menghantamkannya ke kepala Sekar. Selanjutnya yang bisa kulihat
adalah merah di mana-mana. Pada detik itu, aku juga ingat bagaimana aku
membunuh kakakku karena cemburu; persis seperti yang dikatakan Sekar.
Akan tetapi, bukankah sebuah cinta
artinya harus memiliki? Begitu juga arti cintaku pada Sekar. Maka, aku membakar
tubuh moleknya hingga menjadi abu dan aku tabur di antara candi-candi dan
arca-arca di Prambanan.
“Pertama kali aku jatuh cinta
padamu adalah ketika melihatmu di Prambanan. Aku berpikir, mungkin seperti
inilah kecantikan seorang Roro Jonggrang hingga membuat Bandung Bondowoso gelap
mata. Namun, sepertinya akan lebih baik bagiku mencintai sebuah batu daripada
menunggumu yang keras kepala ini; bahkan batu pun bisa retak setelah sekian
lama ditetesi air, tapi kau tidak.”
Pada arca-arca di Prambanan ini
aku menumpahkan rindu, juga cinta tidak terbalas dan menumpuknya sebagai
penyesalan.
Bojong, April 2018 – Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar