Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Beristri Batu


(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 13 Januari 2019)

Tidak ada yang percaya jika kukatakan bahwa salah satu arca di candi Prambanan adalah istriku. Empat tahun lalu, aku mengutuk istriku menjadi sebuah arca seperti Bandung Bondowoso yang mengutuk Roro Jongrang karena sifat keras kepalanya. Tidak jauh beda, karena alasan itu pula aku mengutuk istriku.
Kadang aku menyesali tindakanku, tetapi aku yakin bahwa apa yang aku lakukan adalah yang terbaik untuk dirinya dan untuk putri semata wayang kami yang jelita dan bermata bening seperti samudera.
Sering kali aku bercerita pada wisatawan yang menyewa jasaku sebagai pemandu. “Namanya Sekar, dia istriku yang sangat aku cintai dan ibu dari anakku yang cantik bernama Jelita. Aku sendiri yang membuatnya menjadi seperti ini. Istriku yang keras kepala memang pantas menjadi batu.”
Banyak yang menganggap aku hanya bercanda atau lebih parah menganggapku gila. Tidak apa. Aku bisa mengerti ketidakpercayaan mereka pada ucapanku dan membiarkan mereka saling bisik sambil menyilangkan jari telunjuk di kening. Dasar gila! Begitu kata kebanyakan wisatawan yang pernah menyewa jasaku. Namun, aku tidak pernah ada bosannya mengatakan pada setiap wisatawan bahwa arca yang berdiri di salah satu sudut candi Prambanan adalah istriku.
Sering kali, di senja hari setelah memandu para wisatawan yang berkali-kali memakiku gila, aku duduk di hadapan arca istriku, memandanginya tanpa jemu. Aku berbisik, bercerita tentang anak kami yang kini tumbuh menjadi remaja. Berulang kali, menceritakan hal yang sama seolah takut istriku lupa.
“Dia cantik,” kataku, “mirip denganmu. Bahkan matanya juga sama seperti milikmu.” Lalu aku sadar bahwa anak kami tidak ada mirip-miripnya denganku. Mata, hidung, rambut, tidak ada yang sama denganku, semua begitu identik dengan istriku. “Ah, mungkin karena anak kita perempuan, jadi harus mirip denganmu. Tidak mungkin, kan, dia memiliki rahang yang lebar sepertiku? Dia harus cantik dan anggun sepertimu, Sayang.” Aku menghibur diri, meski aku menyadari satu hal tentang anak kami.
Menit-menit selanjutnya tetap sama. Aku duduk terpekur menyelami hangat senja bersama arca istriku tanpa memedulikan tatapan orang-orang. Sering kali sinar senja yang begitu silau menyinari tepat di wajah arca istriku. Aku bertanya, apa kau ingin aku mengambil payung atau caping untuk menghadang sinar senja? Diam. Tidak ada jawaban. Dengan begitu aku yakin bahwa istriku tidak ingin aku melakukannya, maka aku tetap di posisiku; duduk menekuninya.
Sesekali ada getir yang merambat dari hati ke mata yang menghasilkan titik-titik air mata. Sedikit, karena aku tidak mau menangis di hadapan istriku. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk merenungi dan juga menyesali tindakanku. Aku ingat betul hari ketika istriku melahirkan Jelita. Dalam hati aku bersumpah untuk menjadi suami dan ayah yang bisa melindungi mereka. Aku telah membayangkan sebuah keluarga yang indah, penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, nyatanya itu tidak pernah hadir dalam rumah tanggaku. Ini bukan keluarga seperti yang aku impikan sejak awal dan itu karena sifat keras kepala istriku. Kembali aku ingin memaki, mengutuknya sebanyak jumlah umat manusia di bumi.
Aku ingat pagi pertama kami sebagai suami istri. Aku tersenyum menyambutnya di dapur, tapi istriku mengalihkan pandangan, tidak mau menatapku. Mungkin dia malu, batinku, meski aku menyadari bahwa tatapan itu tidak berubah setelah sekian lama kami bersama. Istriku tidak menginginkanku. Bukan aku yang ingin dia lihat di pagi hari ketika membuka mata. Bukan. Bukan adik dari lelaki yang dia cintai.
Pertemuan pertama kami adalah ketika kakakku mengenalkannya pada keluarga saat berwisata ke Prambanan. Sekar namanya. Dia adalah seorang arkeolog yang tergila-gila dengan candi dan sejenisnya. Seorang gadis yang cerdas dan cantik, dan aku jatuh cinta padanya meski sebenarnya itu tidak pantas. Kakakku telah berencana untuk melamarnya.
“Tidak apa, bukankah tidak masalah jika aku mencintainya diam-diam? Aku hanya ingin mengaguminya sebagai sesuatu yang indah. Aku tahu diri.” Aku berkeras hati, mesti aku tetap merasa sakit ketika kakakku benar-benar melamar gadis itu dan menentukan tanggal pernikahan. Hati ini tetap merasa sesak dan aku tidak bisa mengendalikan air mataku.
Aku bertanya pada Tuhan, kenapa harus Sekar yang membuatku jatuh cinta? Kenapa harus Sekar yang menjadi pilihan kakakku? Pada akhirnya aku lari; menjauh dari mereka, merantau menyeberangi lautan, hingga kabar tentang kematian kakakku sampai ke telinga di malam yang mendung.
Sekar tengah menangis di pusara kakakku ketika aku sampai di tanah kelahiran. Orang-orang memberi simpati padaku dan kedua orangtuaku meminta maaf karena tidak bisa menungguku lebih lama untuk melakukan pemakaman.
Kakakku dirampok ketika pulang kerja, motornya dicuri dan dia ditusuk beberapa kali hingga tewas, terang keluargaku. Aku mengutuk perbuatan para bajingan itu, meski tatapanku tidak beralih dari gadis di sebelah ibuku. Rasa sedih jelas tergambar di wajahnya yang ayu; matanya sembap terus menerus meneteskan air mata dan sesekali tubuhnya bergetar menahan isak agar tidak pecah.
Terbayang olehku undangan pernikahan yang disebar, gaun pengantin yang telah dipesan dan tanggal yang sudah ditentukan. Dengan izin orangtua, aku melamar Sekar.
“Aku sedang mengandung anak dari kakakmu. Apa kau tidak keberatan?”
Aku adalah seorang yatim piatu sebelum keluargaku sekarang mengangkatku sebagai anak mereka. Jadi, bagiku sebuah masalah menganggap anak dalam rahim perempuan yang aku cintai sebagai anakku. Maka, aku mengiyakan dan kami melangsungkan pernikahan, meski tanpa senyum di bibir Sekar.
Aku berpikir, hanya masalah waktu saja bagi Sekar untuk membuka hatinya. Bagaimanapun, dia masih berduka atas kematian kakakku. Namun, setelah kelahiran Jelita, bahkan setelah bertahun kami bersama, tatapan itu tidak pernah berubah.
Anakku bertanya, kenapa Ibu tidak pernah tersenyum pada Ayah. Hanya bisa aku jawab dengan senyum dan berkata bahwa seorang malaikat membawa senyum Ibu, jika Jelita menjadi anak yang baik dan cerdas, senyum itu akan dikembalikan.
Bohong. Senyum itu telah lama mati bersama kakakku. Dan aku mulai lelah! Menunggu ada batasnya dan rasa cintaku tidak bisa terus menerus terabaikan.
Aku memohon. Demi Jelita, kataku.
“Tentu saja demi Jelita. Kau pikir demi siapa aku menikah denganmu? Demi anak dalam rahimku, demi statusnya di masyarakat.”
Itu pertengkaran pertama, selanjutnya begitu banyak pertengkaran yang hadir; tentang betapa keras kepalanya istriku mempertahankan cinta untuk seseorang yang telah tiada, tentang keinginanku untuk memiliki hatinya, tentang alasan pernikahan kami.
“Kau pikir aku tidak tahu kalau yang kau yang membunuh calon suamiku? Dirampok katanya, padahal kau yang membunuhnya karena cemburu!”
Di dunia ini ada yang namanya batas, dan kali ini adalah batas kesabaranku. Aku kemudian mengerti bahwa sejak awal aku bukanlah menikah dengan seorang perempuan cantik bernama Sekar, melainkan menikahi sebuah batu yang keras dan berhati batu. Aku gelap mata, seperti Bandung Bondowoso yang mengucapkan kutukan pada Roro Jongrang. Aku mengambil vas bunga dan menghantamkannya ke kepala Sekar. Selanjutnya yang bisa kulihat adalah merah di mana-mana. Pada detik itu, aku juga ingat bagaimana aku membunuh kakakku karena cemburu; persis seperti yang dikatakan Sekar.
Akan tetapi, bukankah sebuah cinta artinya harus memiliki? Begitu juga arti cintaku pada Sekar. Maka, aku membakar tubuh moleknya hingga menjadi abu dan aku tabur di antara candi-candi dan arca-arca di Prambanan.
“Pertama kali aku jatuh cinta padamu adalah ketika melihatmu di Prambanan. Aku berpikir, mungkin seperti inilah kecantikan seorang Roro Jonggrang hingga membuat Bandung Bondowoso gelap mata. Namun, sepertinya akan lebih baik bagiku mencintai sebuah batu daripada menunggumu yang keras kepala ini; bahkan batu pun bisa retak setelah sekian lama ditetesi air, tapi kau tidak.”
Pada arca-arca di Prambanan ini aku menumpahkan rindu, juga cinta tidak terbalas dan menumpuknya sebagai penyesalan.

Bojong, April 2018 – Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar