(Pertama kali tayang di website ideide.id edisi Minggu, 4 Februari 2019)
Sejak perceraiannya dengan Ayah, Ibu tak mau lagi berhias. Sekadar memulas pemerah bibir atau perona pipi pun ia enggan. Hanya sebuah sisir yang ia gunakan untuk merapikan rambut panjang, selebihnya segala macam perlengkapan rias ia singkirkan dari kamar. Bagiku, pucat wajah Ibu sama halnya dengan layu dirinya. Seperti bunga yang kehilangan warna, Ibu memudar.
“Aku berhias hanya untuk ayahmu, tapi sekarang tak ada lagi alasan bagi Ibu untuk melakukannya.”
Aku tak lagi bisa memaksanya, meski aku rindu melihat Ibu yang berlama-lama di meja rias untuk menabur bedak, menyamarkan garis-garis di kening, menghilangkan lingkaran hitam di sekitar mata, dan membuat bibir yang selalu tersenyum itu menjadi merah serupa buah stroberi. Aku rindu melihat Ibu yang sibuk mematut wajahnya di cermin dan merasa percaya diri bahwa dialah wanita paling cantik di dunia; tak ada wanita lain!
Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti dan memahami keputusan kedua orangtuaku untuk bercerai. Aku tak mau terlalu egois dengan mengharapkan sebuah keluarga utuh hanya demi status sosialku di masyarakat sedangkan aku tahu ada gejolak dalam keluargaku. Aku mengerti inilah yang terbaik. Meski itu tidak berarti aku mengerti mengapa Ayah lebih memilih wanita lain.
Kurang cantikkah Ibu? Kurang baikkah Ibu? Bagiku Ibu adalah seorang wanita yang sempurna; ibu yang baik dan istri yang teladan.
Selalu ada buah yang lebih segar. Mungkin itu yang menggoda Ayah. Usia Ibu memang tak bisa dibohongi atau ditutup dengan perias wajah, sedangkan Ayah menginjak masa pubertas kedua. Ayah berpaling pada sekretarisnya yang matang, yang senyumnya lebih menggairahkan, berkulit mulus kencang. Sejak itu begitu banyak pertengkaran, amarah yang tak lagi bisa dibendung, kekecewaan tak lagi bisa diadang. Mereka menyerah dalam persidangan.
“Tak bisa Ibu bayangkan ayahmu menghabiskan malam bersama wanita lain. Lebih baik Ibu sendiri daripada menghadapi kesakitan berbagi.”
Selepas hari persidangan Ibu menghapus riasan di wajahnya dan sejak itu tak pernah lagi aku melihat ia berhias. Ia biarkan garis-garis halus muncul di wajah. Ia biarkan pipi itu mengendur tak berperona. Ia biarkan bibir tanpa senyum itu mengering. Ibuku seperti seorang yang tengah sekarat dan sebentar lagi malaikat maut mengambilnya.
Kadang ingin aku berkata, jika bercerai adalah pilihan agar Ibu tak harus dimadu, mengapa Ibu berkabung dalam duka? Bukankah akan lebih baik jika Ibu tunjukkan pada Ayah bahwa Ibu bisa tetap bahagia, bahwa Ibu tak membutuhkan seorang laki-laki yang tak setia? Mungkin memang benar Ibu telah cinta mati pada Ayah dan sekarang Ibu tahu bahwa cinta itu tak lagi terbalas. Maka, pada sebuah kekecewaan yang mahakuat Ibu menyerah, memilih berkabung dan tak lagi bisa melihat dunia seperti dulu.
Aku teringat pada nenekku yang ditinggal mati oleh Kekek. Bagiku mereka adalah gambaran cinta sejati. Kakek dan Nenek telah melewati waktu yang teramat panjang untuk saling mencintai, saling menjaga dalam kasih dan duka. Dan ketika ajal itu merenggut Kakek, Nenek tak mampu lagi bertahan meski berulang kali ia katakan ikhlas. Tepat sebulan sejak kepergian Kakek, Nenek menyusulnya setelah menahan kesakitan rindu yang dihasilkan dari perpisahan. Mereka dimakamkan bersebelahan.
Aku yakin di surga mereka telah bahagia; menghabiskan keabadian dalam cinta selamanya. Aku pun yakin Ibu ingin memiliki cinta yang sama seperti kedua orangtuanya; menikah, hidup bersama sampai tua, mati, dan bertemu kembali di surga. Namun, Ayah berkehendak lain.
“Maafkan Ayah, Nak,” kata Ayah seusai persidangan.
Aku tak cukup dewasa untuk mengerti bagaimana seorang laki-laki yang telah bersumpah setia, mengingkari janji demi seorang wanita lain. Dan aku tak cukup dewasa untuk mengerti arti kesedihan yang ditunjukkan Ibu. Bagiku tak mengapa mereka berpisah, tapi aku berharap mereka bisa mendapat kebahagiaan satu sama lain. Bukankah itu impas?
“Kau hanya belum mengerti, Nak,” kata Ibu.
Ya, aku memang belum mengerti. Aku biarkan Ibu dalam kesedihannya; hari-hari berlalu dengan kepucatan di wajah Ibu. Ia menua lebih cepat, seperti Nenek yang menemuai ajal lebih cepat demi bertemu kakek.
Aku pikir setahun atau dua tahun cukup bagi Ibu, tapi aku salah; ia tetap melanjutkan kesedihannya. Bahkan di hari pernikahanku, putri semata wayangnya, ia tetap tak berhias. Meski terkadang menampakkan senyum di bibir, tapi tetap saja ia serupa pelayat yang mengantar jenazah ke liang lahat dengan muka pucat, baju serba hitam. Pasti karena itu ada orang yang berbisik, “Mungkin ibunya tidak merestui.”
Sejak itu aku mengenal arti kata benci. Tak seharusnya Ibu begitu keras kepala hanya untuk menunjukkan kesedihannya ditinggal kekasih hati. Bagaimanapun aku anaknya yang ingin semua sempurna di hari pernikahanku. Mau ditaruh di mana mukaku ketika mertuaku bertanya perihal Ibu? Aku hanya bisa menunduk dalam-dalam padahal aku telah menyiapkan kebaya indah berwarna merah muda untuk Ibu; kebaya yang jauh hari sudah aku wanti-wanti untuk Ibu kenakan, tapi Ibu lebih memilih pakaian pelayat.
Jika Ibu berkabung begitu lama untuk sebuah kekecewaan pada Ayah, maka aku bisa membenci dengan waktu yang sama lamanya untuk kekecewaan pada Ibu. Aku hengkang dari rumah yang membesarkanku. Mengubah kesepakatan dengan Mas Bram, suamiku, bahwa kami akan tinggal di rumah orangtuaku demi menjaga Ibu. Aku memilih tinggal jauh dari Ibu.
Aku tahu tak seharusnya aku membenci Ibu untuk keputusannya. Mas Bram selalu menasihatiku, tapi aku tak bisa. Aku terlalu kecewa.
“Mungkin kamu hanya belum mengerti arti kesedihan Ibu,” kata Mas Bram setiap aku menolak untuk mengunjungi Ibu.
Bertahun lamanya aku memelihara kekecewaan. Hingga anakku lahir, aku belum pernah sekalipun menjenguk Ibu. Aku yakin ia masih dalam perkabungannya; mengenakan pakaian serba hitam, tanpa perona di pipi, apalagi lipstik di bibir. Aku hidup bahagia dengan keluarga kecilku, hingga kusadari ada yang sedang bermain di belakangku.
Mas Bram jadi lebih jarang pulang ke rumah. Ada saja alasannya dan aku mulai curiga. Ketika kutanya ia marah, mengatakan bahwa aku tak seharusnya curiga apalagi menuduhnya macam-macam. Ia tak tahu kalau sudah memegang bukti-bukti perselingkuhannya dengan seorang klien. Bisnis katanya, padahal mereka memadu cinta di pulau seberang.
“Mari kita akhiri saja,” tukasnya.
Harusnya aku yang mengatakan itu. Sejujurnya aku mungkin bisa berbagi, tapi Mas Bram tidak mau. Ia lebih memilih menceraikanku untuk bisa bersama kekasihnya yang baru. Hingga putusan persidangan dibacakan Mas Bram tak pernah sekalipun datang; ia meninggalkan rumah besar kami, mengabaikan putra kecil kami. Rumah ini serasa kuburan yang sepi dan penuh kesedihan.
Di depan cermin di mana biasanya aku mematut diri untuk merasa menjadi yang paling cantik untuk suamimu, kuhapus lipstik di bibir, perona di pipi, dan menggerai rambutku yang panjang. Tak ada lagi cinta yang tersisa. Tak ada lagi gunanya aku merias wajah karena kekasih yang begitu aku puja memilih wanita lain.
“Pakailah.” Ibu datang dengan senyum tipis di wajah. Disodorkannya selembar baju berwarna hitam padaku.
Seperti inikah yang selama ini Ibu rasakan? Ketika kekasih hati pergi, bukan untuk Tuhan, melainkan untuk wanita lain, maka separuh jiwaku telah mati. Kini yang tersisa adalah perkabungan panjang karena aku tahu tak akan ada cinta yang lain. Bisa saja saat ini Ibu mengatakan alasannya tentang apa yang selama ini ia sikapkan, tetapi tidak ia lakukan.
***
Bojong, 29 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar