(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 12 Mei 2019)
Sejak kepulangannya setelah satu pekan
menghilang, adikku selalu menatapku dengan tatapan aneh. Dia seolah akan
menelanku dalam sekali lahap. Kadang aku memergokinya sedang menatap awas
padaku dengan mulut komat-kamit seolah sedang merapalkan mantra. Menyadari itu
seketika aku merinding dan kabur. Aku tentu yakin adikku tidak sedang
merapalkan mantra karena adikku terlalu bodoh untuk mengetahui apalagi
menghafal sebuah mantra. Namun, bagaimana cara dia menatapku pelan-pelan
membuatku bergidik.
Aku memang jarang sekali akur
dengan adikku. Malah, aku berharap dia tidak terlahir sebagai adikku. Atau jika
Ayah dan Ibu tetap menginginkan seorang adik untukku, aku harap bukan dia
orangnya. Adikku sangat bodoh. Dia sering berteriak-teriak tanpa sebab, bahkan
pernah suatu hari dia melempari teman-temanku dengan benda lengket yang entah
dia dapat dari mana. Karena kejadian itu untuk beberapa lama aku dijauhi oleh
teman-teman karena mereka menganggap aku mempunyai adik yang gila.
Memang benar adikku itu gila. Dia
suka bicara dan tertawa sendiri; tertawa kemudian berteriak-teriak tidak jelas.
Adikku juga tidak bersekolah. Memangnya ada sekolah yang mau menerima murid
gila? Tidak, kan? Maka, adikku tidak sekolah. Kerjaan sehari-harinya hanya
membuat berantakkan isi rumah, membuat Ibu kepayahan karena ulahnya.
Pernah suatu hari aku berkata pada
Ibu kalau harusnya adikku tidak perlu lahir. Ibu marah mendengarku. Ibu bilang
aku tidak seharusnya mengatakan hal demikian.
“Bagaimanapun dia adalah adikmu,”
begitu katanya. Ibu juga menambahkan bahwa adikku hanya mempunyai kebutuhan
khusus dan aku tidak seharusnya bicara seperti itu.
Tetap saja aku benci adikku. Aku
tidak mau dikatai mempunyai adik gila oleh teman-temanku. Ibu dan Ayah tidak
merasakan bagaimana aku diejek oleh teman-temanku karena kelakuan tidak normal
dari Adik.
“Jangan main dengan Budi. Adik
Budi gila. Dan kata ibuku, gila itu menurun, jadi ada kemungkinan Budi juga
gila. Mungkin sebentar lagi.”
Aku berharap adikku menghilang
saja, tapi tidak ada yang menghiraukan kata-kataku tentang Adik. Ayah dan Ibu
tetap sayang padanya meski kelakuannya tidak normal. Ibu tetap mengajarinya
baca tulis di rumah—karena tidak ada sekolah yang mau menerima Adik sebagai
murid. Dan sesabar apa pun Ibu mengajarinya, Adik tetap bebal. Sekadar mengeja mama papa saja dia tidak bisa. Yang bisa
Adik lakukan hanya membuat keributan, memberantakkan rumah, dan mengganggu
hidupku.
Pernah suatu hari kulihat Adik
bermain dengan kucing piaraanku. Karena kulihat dia tidak sedang kumat, kubiar
dia bermain. Namun, baru sebentar aku ke toilet untuk buang air, Adik dan
kucingku sudah tidak berada di tempat di mana aku meninggalkan mereka. Ketika
kucari ke belakang rumah, Adik menggantung kucing piaraanku dengan seutas tali
di dahan pohon mangga, sedangkan dia berjingrak ria di bawahnya sambil bernyanyi
Balonku Ada Lima.
Kucingku tak terselamatkan meski Ayah segera
memberi pertolongan setelah mendengar jerit histerisku. Ketika melihat kucingku
berbujur karena mati lemas, dalam benakku aku membayangkan sedang memukuli
kepala Adik dengan sebongkah batu. Mungkin kalau kepalanya yang bebal itu
dihajar dengan batu hingga berdarah baru adikku bisa sembuh dari penyakit gila.
Tapi aku tahu Ayah dan Ibu tidak akan membiarkanku melukai Adik, maka yang bisa
kulakukan hanya menangis histeris hingga aku lelah dan tertidur.
Kucingku dikubur di bawah pohon,
di mana ia digantung oleh Adik. Dan untuk beberapa hari ke depan aku mogok
makan. Aku katakan pada Ibu bahwa aku tidak akan makan kalau Adik tidak diusir
dari rumah. Namun, Ibu tentu tak mendengarku. Ibu bilang Adik tidak sengaja.
Mendengar itu aku terbengong-bengong.
Aku pernah tidak sengaja
memecahkan vas bunga, tapi tidak sengaja menggantung seekor kucing di dahan
pohon mangga hingga mati bukan hal yang bisa diterima akal sehat!
Ayah dan Ibu terus membujukku.
Mereka bilang akan membelikanku seekor kucing yang sama persis seperti
sebelumnya atau yang lebih bagus lagi dengan bulu putih yang lebat. Aku
menolak. Tak terbayang bagaimana jika nasib kucing yang baru sama
mengenaskannya di tangan Adik.
Sejak kematian kucingku, setiap
malam aku menyusun rencana agar terbebas dari adikku; agar dia keluar dari
rumah, agar dia tidak lagi menjadi adikku. Apa pun akan kulakukan. Rasanya
sudah cukup semua penderitaan yang harus aku terima karena kehadiran adikku
yang tidak waras.
Suatu hari, di mana ada pasar
malam di kompleks sebelah, aku membiarkan Adik ikut denganku. Ayah dan Ibu
tentu senang karena mereka menganggap aku sudah mulai berbaikan dengan Adik.
“Bagus, memang seperti itulah
harusnya kakak-beradik,” kata Ayah yang dilanjut dengan tawa penuh kebanggaan,
begitu juga dengan Ibu.
Tidak tahu saja mereka kalau
setibanya di pasar malam, aku meninggalkan adikku di dekat komedi putar.
Kutinggalkan dia yang masih senyam-senyum melihat benda-benda yang belum pernah
dilihatnya. Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke mampir ke
rumah temanku agar rencanaku berhasil. Namun, setibanya di rumah, betapa
terkejutnya aku melihat Adik sudah duduk manis di depan televisi sambil
menjilati lolipop yang tadi kubelikan untuknya.
Ibu bilang, seorang tetangga
menemukan Adik dan membawanya pulang. Dan dengan gagap aku berbohong bahwa
sejak tadi aku berusaha mencari Adik yang entah hilang ke mana. Entah kedua
orangtuaku percaya atau tidak karena setelahnya aku disuruh mandi kemudian tidur.
Hari-hari berjalan seperti
biasanya; penuh kegaduhan yang diakibatkann oleh Adik. Sampai suatu hari Adik
menghilang sepekan lamanya. Ayah dan Ibu mencari ke sana kemari, tidak juga
ketemu. Mereka juga pelaporkan ke polisi, menempel poster di setiap tiang
listrik, bahkan menampilkan foto Adik yang penuh liur di berita di televisi.
Adik tidak juga ketemu, sampai di suatu malam, di tengah hujan lebat, seseorang
mengetuk pintu depan. Pelan. Sebanyak tiga kali.
Ibu yang membukakan pintu seketika
menangis tak henti-henti melihat Adik berdiri kedinginan di depan pintu. Ayah
ikut menangis haru, sedangkan aku jatuh terduduk saking terkejut melihat Adik.
“Tidak, tidak mungkin,” gumamku.
Ada perubahan yang begitu kentara
dari diri adikku sejak kepulangannya. Dia tidak seperti adikku yang gila. Adik
tidak pernah lagi bicara ataupun tertawa sendiri seperti dulu. Dia tidak lagi
berteriak-teriak seperti orang gila dan yang lebih mengherankan, adikku bisa
baca tulis. Dia bisa mengeja kata dengan baik hingga Ibu berpikir untuk segera
memasukkannya ke sekolah yang sama denganku. Sebagai hadiah, Ayah juga
membelikannya seekor kelinci putih. Setiap hari adikku bermain dengan kelinci
itu dan tidak ada tanda-tanda dia ingin menggantungnya di dahan pohon mangga
belakang rumah. Adikku benar-benar menjadi seseorang yang berbeda.
Sejujurnya aku senang dengan
perubahan adikku. Seperti itulah harusnya adikku; manis, penurut, penyayang
binatang, dan pandai, bukan gila dan hobi berteriak-teriak. Namun, melihat
bagaimana dia setiap kali menatapku membuatku bergidik ngeri.
Setiap malam, aku bermimpi buruk
Adik mencekikku hingga aku kehabisan napas seperti kucing piaraanku. Aku
ketakutan, tapi aku tidak bisa bercerita pada siapa pun. Aku tidak tahu apa
yang direncanakan oleh adikku yang kini pindai dan selalu tersenyum manis.
Mungkin aku harus mulai belajar berdamai dengannya, setidaknya agar aku tidak
lagi merasa ketakutan?
Melihat kepandainya yang terus
berkembang, setahun kemudian adikku telah masuk sekolah dan disenangin banyak
orang karena sikapnya manis. Dia punya banyak teman, sedangkan aku tetap
menyimpan ketakutan pada adikku. Ketika suatu hari kedua orangtua kami pergi
untuk sebuah urusan dan aku hanya tinggal berdua dengan adikku, kuberanikan
diri untuk menanyainya.
Butuh waktu lama untuk
mengumpulkan keberanian. Belum lagi tatapan adikku yang seolah ingin melahapku
membuat nyaliku menciut.
Dia sedang bermain dengan
kelinci-kelincinya yang kini berjumlah puluhan ekor di taman belakang rumah di
mana dulu kucingku dikubur. Aku mendekatinya dengan perasaan was-was. Bisa saja
dia benar-benar akan melahapku saat itu juga, terlebih tidak ada orang lain di
rumah.
“Siapa kamu?” tanyaku.
Dia menoleh, membuat rambutnya
yang hitam panjang berkibar tertiup angin. Dengan mata beningnya dia menatapku
dan senyum begitu manis. Tatapan kami bertemu. Saat itulah aku tahu bahwa dia
memang bukan adikku. Bukan. Karena setahun yang lalu, sebelum dia menghilang
sepekan lamanya, aku mendorongnya ke sumur dekat taman kompleks.
Aku jelas mendengar suara kecipak
air di dalam sumur menandakan adikku tercebur di dalam sana. Aku juga melihat
tangan kecilnya yang melambai-melambai meminta tolong. Saat itu aku ingat
bagaimana kucingku mati karena dirinya, aku ingat bagaimana aku diejek
teman-temanku karena kelakuannya. Harusnya dia tidak terlahir sebagai adikku,
maka kututup sumur tua itu dengan seng seolah tidak terjadi apa pun.
Bojong, Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar