Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Harusnya Adikku Tidak Pulang Malam Itu



(Sudah dimuat di Harian Solopos edisi Minggu 12 Mei 2019)

Sejak kepulangannya setelah satu pekan menghilang, adikku selalu menatapku dengan tatapan aneh. Dia seolah akan menelanku dalam sekali lahap. Kadang aku memergokinya sedang menatap awas padaku dengan mulut komat-kamit seolah sedang merapalkan mantra. Menyadari itu seketika aku merinding dan kabur. Aku tentu yakin adikku tidak sedang merapalkan mantra karena adikku terlalu bodoh untuk mengetahui apalagi menghafal sebuah mantra. Namun, bagaimana cara dia menatapku pelan-pelan membuatku bergidik.

Aku memang jarang sekali akur dengan adikku. Malah, aku berharap dia tidak terlahir sebagai adikku. Atau jika Ayah dan Ibu tetap menginginkan seorang adik untukku, aku harap bukan dia orangnya. Adikku sangat bodoh. Dia sering berteriak-teriak tanpa sebab, bahkan pernah suatu hari dia melempari teman-temanku dengan benda lengket yang entah dia dapat dari mana. Karena kejadian itu untuk beberapa lama aku dijauhi oleh teman-teman karena mereka menganggap aku mempunyai adik yang gila.

Memang benar adikku itu gila. Dia suka bicara dan tertawa sendiri; tertawa kemudian berteriak-teriak tidak jelas. Adikku juga tidak bersekolah. Memangnya ada sekolah yang mau menerima murid gila? Tidak, kan? Maka, adikku tidak sekolah. Kerjaan sehari-harinya hanya membuat berantakkan isi rumah, membuat Ibu kepayahan karena ulahnya.

Pernah suatu hari aku berkata pada Ibu kalau harusnya adikku tidak perlu lahir. Ibu marah mendengarku. Ibu bilang aku tidak seharusnya mengatakan hal demikian.

“Bagaimanapun dia adalah adikmu,” begitu katanya. Ibu juga menambahkan bahwa adikku hanya mempunyai kebutuhan khusus dan aku tidak seharusnya bicara seperti itu.

Tetap saja aku benci adikku. Aku tidak mau dikatai mempunyai adik gila oleh teman-temanku. Ibu dan Ayah tidak merasakan bagaimana aku diejek oleh teman-temanku karena kelakuan tidak normal dari Adik.

“Jangan main dengan Budi. Adik Budi gila. Dan kata ibuku, gila itu menurun, jadi ada kemungkinan Budi juga gila. Mungkin sebentar lagi.”

Aku berharap adikku menghilang saja, tapi tidak ada yang menghiraukan kata-kataku tentang Adik. Ayah dan Ibu tetap sayang padanya meski kelakuannya tidak normal. Ibu tetap mengajarinya baca tulis di rumah—karena tidak ada sekolah yang mau menerima Adik sebagai murid. Dan sesabar apa pun Ibu mengajarinya, Adik tetap bebal. Sekadar mengeja mama papa saja dia tidak bisa. Yang bisa Adik lakukan hanya membuat keributan, memberantakkan rumah, dan mengganggu hidupku.

Pernah suatu hari kulihat Adik bermain dengan kucing piaraanku. Karena kulihat dia tidak sedang kumat, kubiar dia bermain. Namun, baru sebentar aku ke toilet untuk buang air, Adik dan kucingku sudah tidak berada di tempat di mana aku meninggalkan mereka. Ketika kucari ke belakang rumah, Adik menggantung kucing piaraanku dengan seutas tali di dahan pohon mangga, sedangkan dia berjingrak ria di bawahnya sambil bernyanyi Balonku Ada Lima.

Kucingku tak terselamatkan meski Ayah segera memberi pertolongan setelah mendengar jerit histerisku. Ketika melihat kucingku berbujur karena mati lemas, dalam benakku aku membayangkan sedang memukuli kepala Adik dengan sebongkah batu. Mungkin kalau kepalanya yang bebal itu dihajar dengan batu hingga berdarah baru adikku bisa sembuh dari penyakit gila. Tapi aku tahu Ayah dan Ibu tidak akan membiarkanku melukai Adik, maka yang bisa kulakukan hanya menangis histeris hingga aku lelah dan tertidur.

Kucingku dikubur di bawah pohon, di mana ia digantung oleh Adik. Dan untuk beberapa hari ke depan aku mogok makan. Aku katakan pada Ibu bahwa aku tidak akan makan kalau Adik tidak diusir dari rumah. Namun, Ibu tentu tak mendengarku. Ibu bilang Adik tidak sengaja. Mendengar itu aku terbengong-bengong.

Aku pernah tidak sengaja memecahkan vas bunga, tapi tidak sengaja menggantung seekor kucing di dahan pohon mangga hingga mati bukan hal yang bisa diterima akal sehat!

Ayah dan Ibu terus membujukku. Mereka bilang akan membelikanku seekor kucing yang sama persis seperti sebelumnya atau yang lebih bagus lagi dengan bulu putih yang lebat. Aku menolak. Tak terbayang bagaimana jika nasib kucing yang baru sama mengenaskannya di tangan Adik.

Sejak kematian kucingku, setiap malam aku menyusun rencana agar terbebas dari adikku; agar dia keluar dari rumah, agar dia tidak lagi menjadi adikku. Apa pun akan kulakukan. Rasanya sudah cukup semua penderitaan yang harus aku terima karena kehadiran adikku yang tidak waras.

Suatu hari, di mana ada pasar malam di kompleks sebelah, aku membiarkan Adik ikut denganku. Ayah dan Ibu tentu senang karena mereka menganggap aku sudah mulai berbaikan dengan Adik.

“Bagus, memang seperti itulah harusnya kakak-beradik,” kata Ayah yang dilanjut dengan tawa penuh kebanggaan, begitu juga dengan Ibu.

Tidak tahu saja mereka kalau setibanya di pasar malam, aku meninggalkan adikku di dekat komedi putar. Kutinggalkan dia yang masih senyam-senyum melihat benda-benda yang belum pernah dilihatnya. Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke mampir ke rumah temanku agar rencanaku berhasil. Namun, setibanya di rumah, betapa terkejutnya aku melihat Adik sudah duduk manis di depan televisi sambil menjilati lolipop yang tadi kubelikan untuknya.

Ibu bilang, seorang tetangga menemukan Adik dan membawanya pulang. Dan dengan gagap aku berbohong bahwa sejak tadi aku berusaha mencari Adik yang entah hilang ke mana. Entah kedua orangtuaku percaya atau tidak karena setelahnya aku disuruh mandi kemudian tidur.

Hari-hari berjalan seperti biasanya; penuh kegaduhan yang diakibatkann oleh Adik. Sampai suatu hari Adik menghilang sepekan lamanya. Ayah dan Ibu mencari ke sana kemari, tidak juga ketemu. Mereka juga pelaporkan ke polisi, menempel poster di setiap tiang listrik, bahkan menampilkan foto Adik yang penuh liur di berita di televisi. Adik tidak juga ketemu, sampai di suatu malam, di tengah hujan lebat, seseorang mengetuk pintu depan. Pelan. Sebanyak tiga kali.

Ibu yang membukakan pintu seketika menangis tak henti-henti melihat Adik berdiri kedinginan di depan pintu. Ayah ikut menangis haru, sedangkan aku jatuh terduduk saking terkejut melihat Adik.

“Tidak, tidak mungkin,” gumamku.

Ada perubahan yang begitu kentara dari diri adikku sejak kepulangannya. Dia tidak seperti adikku yang gila. Adik tidak pernah lagi bicara ataupun tertawa sendiri seperti dulu. Dia tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila dan yang lebih mengherankan, adikku bisa baca tulis. Dia bisa mengeja kata dengan baik hingga Ibu berpikir untuk segera memasukkannya ke sekolah yang sama denganku. Sebagai hadiah, Ayah juga membelikannya seekor kelinci putih. Setiap hari adikku bermain dengan kelinci itu dan tidak ada tanda-tanda dia ingin menggantungnya di dahan pohon mangga belakang rumah. Adikku benar-benar menjadi seseorang yang berbeda.

Sejujurnya aku senang dengan perubahan adikku. Seperti itulah harusnya adikku; manis, penurut, penyayang binatang, dan pandai, bukan gila dan hobi berteriak-teriak. Namun, melihat bagaimana dia setiap kali menatapku membuatku bergidik ngeri.

Setiap malam, aku bermimpi buruk Adik mencekikku hingga aku kehabisan napas seperti kucing piaraanku. Aku ketakutan, tapi aku tidak bisa bercerita pada siapa pun. Aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh adikku yang kini pindai dan selalu tersenyum manis. Mungkin aku harus mulai belajar berdamai dengannya, setidaknya agar aku tidak lagi merasa ketakutan?

Melihat kepandainya yang terus berkembang, setahun kemudian adikku telah masuk sekolah dan disenangin banyak orang karena sikapnya manis. Dia punya banyak teman, sedangkan aku tetap menyimpan ketakutan pada adikku. Ketika suatu hari kedua orangtua kami pergi untuk sebuah urusan dan aku hanya tinggal berdua dengan adikku, kuberanikan diri untuk menanyainya.

Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keberanian. Belum lagi tatapan adikku yang seolah ingin melahapku membuat nyaliku menciut.

Dia sedang bermain dengan kelinci-kelincinya yang kini berjumlah puluhan ekor di taman belakang rumah di mana dulu kucingku dikubur. Aku mendekatinya dengan perasaan was-was. Bisa saja dia benar-benar akan melahapku saat itu juga, terlebih tidak ada orang lain di rumah.

“Siapa kamu?” tanyaku.

Dia menoleh, membuat rambutnya yang hitam panjang berkibar tertiup angin. Dengan mata beningnya dia menatapku dan senyum begitu manis. Tatapan kami bertemu. Saat itulah aku tahu bahwa dia memang bukan adikku. Bukan. Karena setahun yang lalu, sebelum dia menghilang sepekan lamanya, aku mendorongnya ke sumur dekat taman kompleks.

Aku jelas mendengar suara kecipak air di dalam sumur menandakan adikku tercebur di dalam sana. Aku juga melihat tangan kecilnya yang melambai-melambai meminta tolong. Saat itu aku ingat bagaimana kucingku mati karena dirinya, aku ingat bagaimana aku diejek teman-temanku karena kelakuannya. Harusnya dia tidak terlahir sebagai adikku, maka kututup sumur tua itu dengan seng seolah tidak terjadi apa pun.


Bojong, Mei 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar