Laman

Rabu, 16 Oktober 2019

Api dan Harimau

(Pertama kali dimuat di Rubrik Fiksi Harian Denpost edisi Minggu, 13 Oktober 2019)


Ada orang yang tidak saling cinta tapi hidup bersama hingga tua dan mati. Ada orang saling cinta, hidup bersama, bertengkar dan pisah. Ada orang saling cinta, hidup bersama, dan bahagia. Bagi kita, cinta saja tidak cukup untuk membuat kita bersama. Takdir dan alam tidak mempertemukan kita untuk bahagia bersama. Kita bagai ikan yang melawan arus air dan tidak pernah sampai ke hulu.

Sudah berapa kehidupan yang kita jalani untuk saling menemukan, Sayang? Aku tidak lagi bisa menghitung. Agaknya Tuhan sangat senang mempermainkan kita. Apa yang salah dari saling mencintai? Tapi kita dihukum dengan cara paling menyesakkan: dilahirkan kembali untuk saling menemukan tapi kemudian dipisahkan lagi dengan kematian.

Aku ingat di kehidupan yang telah lalu ketika kau lahir sebagai api. Kau begitu panas, Sayang, dan sangat indah. Kita merayakan pertemuan kita di tanah lapang, menuntaskan rindu dalam percintaan. Namun, alam mengutuk kita. Menyebut pertemuan kita sebagai bencana. Dan, manusia menyebut kita sebagai tornado api; ketika angin dan api berputar-putar membakar lahan, rumah, dan menewaskan makhluk hidup lain. Bumi berkabung karena pertemuan kita.

Kita tidak mengerti apa yang terjadi. Kau dan aku hanya menuntaskan rindu yang tidak berkesudahan. Namun, lagi-lagi Tuhan menghukum kita dengan kematian.

“Mengapa begitu sulit bagi kita untuk bersama?” tanyamu saat itu.

Entahlah, Sayang. Sepertinya Tuhan memang senang bermain dengan perasaan kita. Dia yang menciptakan sebuah perasaan di antara kita, tapi Dia juga yang melarang dan menghukum kita. Seperti Tuhan menciptakan buah khuldi dan melarang Adam dan Hawa memakannya.

“Mungkin kita hanya perlu bersabar sedikit lagi, Sayang?”

Mungkin. Mungkin, Sayang. Sedikit lagi, setelah beberapa kehidupan lagi, mungkin Tuhan akan luluh. Mungkin Dia akan mengerti bahwa tidak pernah ada setitik dosa pun dalam sebuah cinta. Terlebih cinta seperti yang kita miliki. Jadi, mari bersabar sebentar lagi.

Setelahnya aku terlahir kembali. Puluhan tahun hidup aku jalani untuk mencarimu. Mungkin kau berada di belahan bumi lain. Kulintasi cakrawala dengan sayap lebar seekor elang, membelah langit untuk mencarimu. Tajam mataku berusaha menemukanmu dari ketinggian. Mungkin kau lahir sebagai pohon, lalat, kucing, atau cacing. Tapi aku tidak kunjung juga menemukanmu hingga akhir hayat. Kau tidak terlahir di kehidupan ini.

Bukan hanya sekali itu terjadi. Kita tidak selalu terlahir bersamaan untuk saling menemukan. Ada kalanya kau lahir, tapi aku masih terperangkap di akhirat. Atau aku terlahir ke dunia dan hanya bisa menemukan jejak-jejakmu, peninggalanmu, atau jasadmu yang membusuk. Maka, aku lebih memilih untuk segera mengakhiri hidup. Tidak ada gunanya terlahir tanpa dirimu di sini.

Dan kini, aku lahir sebagai seorang anak manusia. Kurasakan setiap angin yang datang, mungkin itu dirimu, tapi bukan. Aku berbisik pada tiap pohon, menebakmu, tapi tidak ada satu pun pohon yang itu adalah kau. Aku meninggalkan pesan pada setiap hewan dan tumbuhan untuk menyampaikan salamku padamu, Kekasihku. Tidak ada jawaban. Yang ada justru guncingan dari orang-orang yang menganggapku gila.

“Anakmu sudah gila,” begitu kata tetangga pada perempuan yang melahirkanku.

Mereka tidak mengerti. Aku hanya sedang mencari kekasihku. Perempuan yang mengaku ibuku pun tidak mengerti. Dia beranggapan sesosok hantu telah membuatku menjadi gila dan hanya ada satu cara untuk menyembuhkanku, yaitu menikahkanku!

Aku tidak mau menikah dengan orang lain. Aku hanya ingin dirimu, tapi kau entah ada di mana; mungkin terperangkap di akhirat dan belum terlahir kembali. Sedangkan aku harus terperangkap dalam pernikahan dengan orang asing yang entah di kehidupan yang lalu dia ini siapa atau apa. Aku katakan padanya bahwa aku harus mencari kekasihku.

“Mungkin sekarang dia lahir sebagai batu atau es di kutub, sehingga tidak bisa mendengar salamku. Aku harus mencarinya,” kataku, tapi dia justru memakiku, meneriakku layaknya aku adalah orang gila.

“Kenapa aku harus menikah dengan orang gila,” katanya.

Aku tidak pernah memintanya menikah denganku. Aku pun sengsara dengan pernikahan ini. Dia sendiri yang keranjingan tidak sabar menikahiku begitu melihatku. Sayang, aku harap kau tidak cemburu. Aku sungguh terpaksa menikah dengan orang asing yang tidak mengerti arti cinta sejati ini demi status yang selalu digaung-gaungkan oleh perempuan yang mengaku ibuku.

Di malam hari, aku sering meninggalkannya di kamar sendirian. Aku pergi ke luar untuk berbisik pada hewan-hewan malam juga pada bintang-bintang untuk menyampaikan salamku andai mereka bertemu denganmu.

“Katakan pada kekasihku bahwa aku masih tetap mencintainya, jadi tunggulah di kehidupan selanjutnya,” salamku untukmu.

Pada tiap salam yang aku titipkan, aku berharap ada satu salam yang sampai padamu walaupun salam itu harus melewati kematian sekalipun. Kau harus tahu bahwa aku masih terus menunggu dan mencarimu dengan cinta yang sama saat pertama kali kita bertemu.

Di pagi buta, aku menyusuri hutan di perbatasan kampung; berbisik pada tiap-tiap pohon di sana. Itukah kau, Sayang, bisikku. Tidak ada jawaban yang artinya itu bukan kau. Maka, aku melangkah lebih jauh lagi ke dalam hutan; bertemu ular dan tupai yang kegirangan melihat seorang anak manusia memasuki hutan.

“Aku mencari kekasihku,” kataku.

“Mungkin di sana, jauh di dalam hutan yang gelap,” kata mereka.

Aku kembali melangkah, menembus dahan-dahan yang menghalangi jalan, menyingkirkan ranting-ranting yang tumbang. Entah mungkin karena rindu yang sudah tidak lagi bisa aku bendung, aku merasa sebentar lagi akan bertemu denganmu di hutan ini. Kau berada tidak jauh dariku sekarang, Sayang.

Dan, benar saja. Kau memang di sini, dalam hutan ini ketika mata tajammu melihatku. Aku terkesiap sesaat ketika melihat sosokmu. Cantik, anggun, dan begitu buas. Aku mundur selangkah begitu menyadari dirimu yang kali ini terlahir sebagai seekor harimau.

Kau memang cantik, kau memang anggun, dan kau pasti mengenaliku sebagai kekasihmu, tapi hewan buas tetaplah hewan buas. Dalam sekali lompat, kau menerkamku. Cumbuan yang harusnya begitu mesra berubah menjadi gigitan buas yang meremukkan tulang-tulangku, mengoyak dagingku dan mencabiknya. Darahku mengucur dari bekas gigitanmu yang tanpa ampun. Tanganku masih berusaha membelaimu.

“Aku merindukanmu, Sayang,” bisikku.

Apa yang lebih indah dari kematian di tangan seorang kekasih? Aku ingat pertemuan pertama kita. Kau lelaki yang gagah dan aku adalah suami dari seorang wanita. Apa yang salah dari rasa cinta yang tumbuh di antara kita? Aku pun tidak mengerti sampai sekarang, tapi Tuhan masih saja menghukum kita. Terus. Berulang kali.


Sebuah Percakapan

(Pertama kali tayang di Apajek.id)

Kau datang lagi setelah sekian lama menjauhiku. Kau datang bak teman lama yang kembali dari sebuah perjalanan jauh dan aku harus menyambutmu dengan suka cita, dengan senyuman, meski aku tak menginginkannya. Aku memang pernah menantikanmu datang padaku. Namun, aku harus jujur bahwa untuk saat ini aku tidak sedang menantikanmu. Pergilah, jangan datang untuk saat ini. Kau datang di saat yang tidak tepat.

“Semua orang mengatakan itu,” ucapmu datar.

Kecuali aku maksudmu? Aku pernah memintamu datang. Kau mungkin lupa bahwa bertahun-tahun yang lalu aku memintamu datang menjemputku dan kau begitu tak acuh padaku. Aku memohon kedatanganmu, hingga aku lupa cara memohon yang benar. Dan, kau masih tidak pernah datang.

“Semua ada waktunya. Seperti tanaman di pekarangan rumahmu yang berbuah pada musimnya, begitu juga tentang kedatanganku.”

Angin di luar sana berembus, mempermainkan dedaunan seperti juga kau mempermainkan orang-orang sepertiku. Kau seolah tengah menertawakan ketidakberdayaanku dengan datang dan tak acuh sesuka hati. Apa itu kuasa Tuhan? Aku yakin Tuhan tak memberimu kuasa semacam itu untuk mempermainkan manusia.

“Itulah yang disebut takdir. Bukankah aku sudah tercatat dalam takdir hidupmu bahkan sebelum kau lahir? Ketika kau baru berbentuk segumpal daging kala itu.”

Takdir macam apa yang begitu jahat? Tentu kau masih ingat bagaimana kau menjemput kedua orangtuaku secara biadab dalam sebuah pembantaian orang-orang berbendera merah. Padahal ayah dan ibuku hanya seorang petani melarat yang memberi makan anak-anaknya dengan ampas singkong, hingga aku dan saudara-saudaraku mengalami gizi buruk. Paceklik sudah mencekikku sejak lahir. Di usia tiga tahun aku masih menyusu pada ibuku hingga puting itu mengering tanpa sisa dan aku masih juga berharap untuk mendapat makan dari sana karena tidak ada makanan lain untuk mengganjal perutku.  Jangankan berpikir untuk memberontak pada negeri, bahkan berpikir tentang perut kami esok hari pun kami tak sanggup. Dan aku harus melihat para tentara itu menyembelih orangtuaku sebelum kau menjemput ajal mereka.

“Peperangan dan pembantaian selalu menjadi jalan yang manusia ambil untuk sebuah perdamaian. Entah apa yang mereka pikirkan karena itu adalah dua hal yang bertolak belakang. Dan itu bukan kuasaku.”

Jangan berkata seolah kau tak pernah menjadi alasan dari tangis di dunia. Seorang anak yang ditinggal ibunya, seorang adik yang ditinggal kakaknya, seorang ayah yang ditinggal anaknya, dan seorang …,

“Dan seorang suami yang ditinggal istri tercintanya?”

Kau masih mengingatnya.

“Kau tak pernah belajar ikhlas!”

Ikhlas yang seperti apa?

“Bahwa di setiap kedatanganku, manusia diajarkan untuk ikhlas.”

Hal yang wajar jika aku merasa kehilangan, bukan? Dia gadis yang cantik. Bunga desa. Dan kami saling cinta. Dalam ikatan suci kami membina rumah tangga, melahirkan putra-putri yang sehat. Namun, kau mengambilnya setelah bertahun-tahun istriku harus berjuang melawan kanker rahim.

Malam itu dia begitu rapuh, begitu pucat, dingin, dan dengan napasnya yang tinggal satu-satu istriku berkata bahwa dia begitu takut meninggalkanku. Sejujurnya aku tidak takut kematian, aku hanya takut harus meninggal orang selemah dirimu, begitu katanya. Dan benar, selepas pemakamannya aku memilih beranjak ke kamar, mengurung diri, dan tak pernah lagi membuka pintu bahkan untuk anak-anak kami. Aku begitu kehilangan istriku.

Sehari, dua hari, berlalu menjadi minggu, bulan dan tahun. Anak-anakku masih setia mengetuk pintu kamarku, memohon agar aku keluar dan kembali melihat dunia. Ibu pasti sedih melihat Ayah seperti ini, kata si sulung. Ayah harus bangkit dan melanjutkan hidup, itu yang diinginkan Ibu, kata si bungsu. Namun, aku tetap dalam perkabunganku dengan terus memohon agar kau datang. Ambil nyawaku agar aku bisa bertemu dengan istri tercintaku, kataku, tapi kau tak acuh.

“Maka harusnya kau ikhlas, seperti benih-benih bunga dandelion yang ikhlas terbawa angin untuk tumbuh di tempat lain.”

Aku tidak bisa. Aku terlalu mencintainya. Di tengah malam aku merasakan kerinduan yang menyesakkan. Aku masih memanggilmu agar bisa bertemu dengan istriku. Sebuah kematian tidak akan pernah mengerti arti cinta bagi manusia.

“Itulah kesalahanmu. Bukankah istrimu yang kau bilang sangat kau sayang itu telah memintamu menjaga warisannya yang paling berharga, yaitu anak-anak kalian. Namun, kau memilih berjibaku dengan perkabunganmu yang menyedihkan. Kau mengabaikan mereka, padahal mereka adalah tanggung jawabmu.”

Maka inilah saatnya. Si sulung tengah hamil dan katanya bulan depan cucu pertamaku itu akan lahir ke dunia. Jadi, biarkan aku menyambutnya dulu. Aku ingin melihat jari-jarinya yang kecil dan mendengar pekik tangisnya. Aku mohon, beri aku waktu.

“Kau sendiri pasti tahu bahwa ini sudah terlambat. Ingat usiamu, lihat tubuh rentamu yang digerogoti penyakit. Aku bukanlah mengabaikanmu, Wahai Manusia, aku hanya menunggu di waktu yang sudah Tuhan tentukan untukmu.”

Benar, aku telah lama mengabaikan mereka. Aku berkutat pada kesedihanku sendiri yang tidak berujung; menganggap dunia telah berhenti ketika istriku dikebumikan, padahal dunia masih terus berputar, waktu terus berjalan, tapi aku memilih mengurung diri dalam kamar hingga satu per satu penyakit tua menghampiriku.

“Sudah cukup kesedihanmu di dunia. Mari kita pulang. Anak dan cucumu telah belajar banyak tentang arti kehilangan darimu, jadi mereka akan baik-baik saja.”

Pelan kau mengusap kepalaku yang tertutup uban. Dalam sentuhan yang lembut itu aku merasa kantuk yang tak tertahankan. Sesuatu dalam diriku tengah mengalir menuju jari-jarimu; tersedot. Saat itu aku tahu bahwa kau tengah menjemputmu, sama seperti ketika kau menjemput istriku, orangtuaku, dan saudara-saudaraku.

Di antara napas yang tinggal seleher, aku melihat istriku yang tersenyum manis persis seperti puluhan tahun lalu. Senyum yang membuatku jatuh cinta padanya.

Sayang, aku pulang.


Lelaki yang Menggali Seribu Lahad


(Pertama kali dimuat di Harian Solopos edisi Minggu, 29 September 2019)

Aku berdoa semoga besok pagi ada yang meninggal di desaku. Satu saja cukup.  Namun, kalau aku boleh serakah, Tuhan boleh mematikan paling tidak sepuluh orang sekaligus. Tentu kematian bukanlah sebuah kabar yang menggembirakan bagi siapa pun. Aku tahu. Aku mengerti betul arti kehilangan dalam sebuah kematian. Namun, kali ini aku benar-benar berdoa semoga besok pagi aku bisa menggali sebuah liang lahad untuk seorang jenazah.

Aku bergembira di atas kesedihan orang lain, begitu kira-kira yang orang pikirkan tentangku. Mereka tidak salah. Kadang aku memang bersyukur jika ada orang yang meninggal di desaku. Karena itu artinya aku mendapat pekerjaan, menerima upah dan aku bisa membeli satu atau dua kilo beras juga beberapa lembar ikan asin yang merupakan makanan mewah untuk keluargaku. Upah menggali kubur memang tidak seberapa, tapi cukup untuk membuat dapur keluargaku tetap mengepul ketika musim tanam telah lewat.

Dulu kematian adalah hal yang begitu dekat dengan desaku. Dan, menjadi tukang gali kubur adalah pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan. Namun, semua berubah ketika setahun yang lalu ada seorang dokter muda dari kota yang membuka praktik di desaku. Dia membawa begitu banyak obat dan memberikan pengobatan cuma-cuma pada warga. Dengan senyum yang selalu menghiasi wajah, Dokter Hasan, begitu kami memanggilnya, memeriksa satu per satu warga yang datang padanya. Ajaib, banyak warga yang tadinya sakit-sakitan langsung sembuh setelah diperiksa olehnya. Dia pasti membawa obat paling mujarab dari kota.

“Kakiku langsung sembuh! Padahal sebelumnya, untuk berdiri saja susah.” Suyud memamerkan kakinya yang sekarang mungkin bisa digunakan untuk lari keliling desa jika mau.

“Telingaku yang tadinya berdengung juga sekarang sudah sembuh. Aku sudah tidak budek lagi sekarang.” Radi ikut nimbrung ketika kami sedang istirahat di bawah pohon kersen setelah mencangkul ladang milik Haji Bidin.

Teman-temanku yang lain juga memamerkan kesembuhan mereka. Mereka yang kudisan sembuh setelah disuruh berendam air yang dicampur obat pemberian Dokter Hasan. Mereka yang batuk-batuk setiap malam bisa bernapas lega setelah menelan pil-pil dari Dokter Hasan. Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh Dokter Hasan.

Hebat benar dokter muda itu. Aku pun tidak boleh melewatkan kesempatan untuk jadi sehat. Punggungku yang sering nyeri ketika mencangkul juga harus segera diperiksa. Maka, sepulang dari ladang, aku mengajak istriku berobat ke Dokter Hasan. Kami tidak punya uang untuk membayar, tapi kata Suyud tadi di ladang, Dokter Hasan tidak mematok harga untuk jasanya. Jadi kami membawa beberapa batang singkong yang Haji Bidin berikan padaku sebagai tambahan upah.

Dokter muda itu memeriksaku dengan sebuah benda aneh yang ujungnya disumpalkan ke telinganya sendiri dan ujung lain yang terbuat dari besi ditempelkan ke dada kemudian perutku. Rasanya dingin di kulit ketika benda aneh itu ditempelkan. Dokter Hasan tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya kemudian berkata bahwa aku tak boleh makan kacang-kacangan. Hal yang sama juga dilakukan pada istriku, bedanya istriku tidak boleh makan yang pedas dan asam. Bagaimana tidak makan pedas, hampir setiap hari lauk di rumah kami adalah sambal terasi yang cabainya diambil dari halaman rumah. Hanya itu makanan sehari-hari kami jika aku tidak punya uang untuk membeli ikan asin.

Sejak kedatangan Dokter Hasan, kesehatan warga desa semakin terjamin. Anak-anak sehat, ibu hamil melahirkan dengan selamat, para lansia berhenti mengeluh tentang asam urat, reumatik, apalagi darah tinggi. Kini warga terbebas dari penyakit kulit dan batuk menahun. Kepala desa tertawa puas melihat kemakmuran warganya. Dia merasa telah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab meski beberapa dana untuk pembangunan desa tidak luput masuk ke kantongnya sendiri. Dokter Hasan adalah penolong, pahlawan, dan malaikat bagi kami.

Namun, kesehatan yang semakin terjamin berakibat pada jumlah kematian yang menurun drastis. Dulu, setiap bulan paling tidak ada satu orang yang meninggal, tapi sekarang sepertinya kematian adalah hal langka yang terjadi di desaku. Dan itu artinya aku kehilangan salah satu mata pencaharianku.

Sudah hampir enam bulan ini aku menggantung cangkulku di sudut rumah. Musim kemarau panjang membuat ladang Haji Bidin tidak bisa ditamani. Aku jadi pengangguran sekarang. Berharap simpanan singkong yang dijemur hingga kering oleh istriku bisa bertahan cukup lama sampai hujan sudi jatuh membasahi desaku agar aku bisa kembali bekerja di ladang.

Musim kemarau semakin menyengsarakan desaku yang kini berisi begitu banyak bayi yang baru lahir. Tentu kehadiran bayi-bayi itu tidak lepas dari peran Dokter Hasan. Para lelaki yang sehat menciptakan bayi-bayi di rahim istrinya, sedangkan Dokter Hasan menjamin kesehatan kandungan istri mereka hingga melahirkan. Sukses, jumlah penduduk di desaku akan meledak dalam beberapa tahun lagi jika terus seperti ini.

Anehnya, hingga saat ini istriku belum kunjung hamil. Kami belum dikaruniai anak walaupun Dokter Hasan telah memeriksa kami. Padahal Suyud yang usianya jauh lebih tua dibanding aku sudah menghamili kedua istrinya sejak kedatangan Dokter Hasan. Bahkan—ini sebuah rahasia—dia juga menghamili lonte di warung dekat ladang. Aku dan istriku tentu ingin punya anak, tapi melihat kesulitan hidup yang harus dijalani juga usia yang sudah tidak muda lagi, kami hanya bisa pasrah.

Kemarau semakin mencekik. Dapur kini berhenti mengepul karena tidak ada lagi singkok yang tersisa dan suara tangis bayi memekakkan telinga. Aku berharap Dokter Hasan segera pergi dari desaku. Atau semoga dia tidak punya obat mujarab lagi yang bisa dibagikan cuma-cuma untuk warga desa. Doaku terkabul setelah sebuah mobil hitam menjemputnya pada suatu sore. Dengan beberapa tas besar, Dokter Hasan pergi setelah sebelumnya pamit pada kepala desa  dan warga. Dia melambaikan tangan dan tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya untuk terakhir kali. Cerita tentang Dokter Hasan telah usai. Kelak, dia akan dikenang sebagai dokter muda yang membawa banyak kesembuhan bagi warga. Para orang tua akan berdoa agar anak mereka kelak menjadi dokter hebat seperti Dokter Hasan.

Kini yang tersisa adalah sebuah desa dengan begitu banyak tangisan bayi kelaparan yang tenggelam dalam kemarau berkepanjangan. Suyud masih suka menghamili istri-istrinya dan beberapa lonte di desa sebelah. Ladang Haji Bidin berubah seperti telapak kaki yang kapalan; rekahan-rekahan tanah mengular menggambarkan tandusnya tanah desa kami. Jangankan untuk menanam singkong atau palawija, rumput liar pun tidak sudi tumbuh.

Aku sudah tidak bekerja dan istriku mulai sakit-sakitan karena sering menahan lapar. Aku tidak tahu istriku sakit apa. Ada rasa menyesal karena aku pernah berdoa agar Dokter Hasan pergi dari desaku. Jika dia masih ada pasti istriku sudah sembuh dengan pil ajaibnya.

Malam ini, ketika istriku terbaring dengan rintih kesakitan di bagian perutnya, aku berdoa agar besok pagi ada yang meninggal agar aku bisa menggali kubur lagi. Aku harus membawa istriku berobat. Tuhan bisa biarkan bayi-bayi Suyud yang berisik itu mati salah satu. Atau biar Suyud saja yang mati agar dia tidak lagi membuat bayi di rahim sembarang wanita seperti pabrik bayi.

Rintih kesakitan istriku masih terdengar sampai aku terlelap tidur di sampingnya dengan terus menggumamkan doa pada Tuhan.

“Tuhan, hamba mohon matikan salah satu bayi Suyud, atau Suyud saja yang mati tidak apa-apa.”

***
Suara gemuruh dari luar juga tetesan air dari atap yang membasahi wajah membangunkanku. Teriakan dari orang-orang di luar sana, juga suara petir seketika membuatku terjaga. Aku beranjak membuka pintu. Langit seolah marah, ia terus menumpahkan air tiada henti, petir menyambar dan angin menumbangkan pohon-pohon kering tidak berdaun. Alam sedang mengamuk malam ini.

“Cepat ke balai!” teriak seorang warga memperingatkanku. “Bendungan sebentar lagi jebol!” Berbondong-bondong warga menuju balai desa, menerjang hujan, petir, dan angin. Susah payah aku menggendong istriku yang menggigil kedinginan.

Wajah-wajah cemas menyelimuti warga yang kini berjubel di balai desa. Air bah tanpa ampun menenggelamkan desa kami, menyeret warga yang kalah cepat menuju balai. Alam benar-benar marah entah pada siapa. Musim kemarau dibalas dengan hujan yang mengguyur semalaman hingga pagi.

Bantuan datang sehari kemudian. Orang-orang berbaju oranye mencari warga yang terseret banjir, beberapa lagi memotong pohon tumbang yang menimpa rumah warga. Desa kami sudah porak-peranda, hanya menyisakan bangunan yang terbuat dari tembok bata, sedangkan rumah dengan welit seperti rumahku sudah tidak berbentuk lagi. Selain orang-orang berbaju oranye, orang berjubah putih juga datang. Di antara orang-orang itu, tersenyum Dokter Hasan yang kami kenal. Dia tetap sama seperti beberapa bulan yang lalu, selalu memamerkan deretan gigi putihnya. Dia memberikan obat pada istriku dan untuk pertama kalinya aku bersyukur dia datang.

Tiga hari ini aku sibuk menggali liang lahad untuk para korban banjir. Satu, dua, tiga, tidak terhitung berapa jumlah liang yang harus aku gali. Bayi-bayi Suyud tidak terselamatkan, juga dirinya yang ikut terseret banjir ketika sedang bergumul dengan lonte di dekat ladang. Tubuh mereka telanjang berlumpur ketika ditemukan orang-orang berbaju oranye.

Aku teringat doaku malam itu. Tentang permohonanku agar Tuhan mematikan sepuluh orang untukku. Mungkin Tuhan memang mengabulkan permohonanku, bukan hanya sepuluh, tapi belasan bahkan puluhan orang.

Orang-orang berteriak agar aku berhenti, tapi aku tidak mau. Aku yang telah berdoa memohon pada Tuhan. Dan semua mayat ini adalah tanggung jawabku. Akan kugali liang lahad paling nyaman untuk mereka beristirahat.

Kupu-Kupu di Kamar Mei

(Pertama kali tayang di ideide.id https://ideide.id/kupu-kupu-di-kamar-mei.html)
Aku tidak tahu bagaimana kupu-kupu itu muncul dan memenuhi setiap jengkal kamar Mei, kakak perempuanku. Mereka hinggap di lemari, beterbangan di atas ranjang, dan berkerumun di meja rias. Aku pikir ratusan kupu-kupu itu berasal dari taman bunga tak jauh dari rumah kontrakan Mei, tapi aku salah; tak ada taman bunga di sekitar permukiman di mana Mei menyewa sebuah rumah. Kupu-kupu itu tidak berasal dari mana pun, melainkan muncul begitu saja di kamar Mei seolah mereka berkembang biak di sana.
“Kakak memelihara kupu-kupu?” tanyaku saat pertama kali memasuki rumah kontrakan Mei. Sudah empat tahun ini Mei merantau ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah sembari bekerja.
Ini pertama kalinya aku mengujungi Mei. Dia selalu menolak ketika aku atau keluargaku yang lain ingin mengunjunginya. Namun, kali ini Mei mengiyakan permohonanku untuk tinggal sementara di kontrakannya sembari menghabiskan waktu libur sekolah.
Ketika kutanya perihal kupu-kupu di kamarnya, Mei tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa mereka semua hanya menemani dirinya.
“Sepi sekali karena jauh dari keluarga,” ucapnya.
Aku bisa mengerti. Hidup jauh dari keluarga demi melanjutkan pendidikan dan membantu ekonomi keluarga tidaklah mudah. Jujur, aku salut padanya; dia membiayai sendiri kuliahnya dengan bekerja, dan sebagai anak tertua Mei selalu mengirim uang untuk membantu keluarga dan adik-adiknya. Apalagi sepeninggalan Ayah ekonomi keluarga kami terus memburuk.
Mei menjadi kebanggaan Ibu. Setiap hari, Ibu bercerita tentang Mei yang kelak akan menjadi seorang sarjana. Kadang, aku cemburu ketika Ibu selalu membangga-bangga Mei secara berlebihan, tapi Mei memang telah melakukan segalanya demi pendidikan dan keluarga.
Setiap pagi jumlah kupu-kupu di kamar Mei terus bertambah hingga aku tidak bisa menghitung saking banyaknya. Ketika Mei keluar kamar, banyak sayap kupu-kupu yang patah menempel di tubuhnya, tapi dia tidak peduli. Mei hanya akan langsung masuk ke kamar mandi untuk membilas semua sayap-sayap itu.
“Pasti pekerjaan Kakak berat, ya?” basa-basi aku bertanya ketika kami menyantap nasi uduk untuk sarapan.
Mei terlihat sangat kelelahan dan aku baru tahu kalau dia pulang bekerja pukul tiga dini hari. Pasti sangat melelah, apalagi paginya Mei harus kuliah.
“Kakak sudah terbiasa. Ini tidak seberat yang kamu pikirkan,” jawabnya.
Ah, kakakku ini memang benar-benar pekerja keras. Diam-diam aku berdoa semoga aku juga bisa sepertinya; menjadi kebanggan Ibu dan keluarga.
“Hari ini aku harus langsung ke tempat kerja. Kamu tidak perlu menungguku pulang.”
Setelahnya Mei pergi dan hingga pukul lima dini hari dia belum juga pulang. Aku tentu khawatir meski berulang kali Mei mengatakan dia memang biasa pulang pagi karena kerja sif malam. Namun, tetap saja aku khawatir. Bagaimanapun, Mei adalah perempuan, dan berada di luar ketika malam sangatlah berbahaya.
Aku beranjak dari kamarku kemudian membuka pintu kamar Mei. Di sana kupu-kupu makin banyak jumlahnya, berebut tempat, berputar-putar di atas ranjang seperti angin puting beliung.
“Dari mana sebenarnya kalian berasal?” gumamku diikuti suara kunci yang diputar. Tak berapa lama Mei muncul dari balik pintu dengan wajah kusut kelelahan.
“Kamu tidak tidur?” tanya Mei sembari melangkah masuk. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak menunggu?”
“Aku bukan tidak tidur, tapi sudah bangun. Ini sudah subuh, Kak.”
Mei tidak menjawab. Dia hanya membuang napas berat sebelum menutup pintu kamar dengan ribuan kupu-kupu di dalamnya. Mei tidak keluar setelahnya. Dia baru keluar ketika hari sudah beranjak senja.
“Selesai makan Kakak ingin kamu ke minimarket depan gang untuk beli beberapa kebutuhan dan jangan pulang sebelum jam sepuluh.” Mei memberiku beberapa lembar uang dan daftar belanjaan.
“Kenapa aku tidak boleh pulang sebelum jam sepuluh?”
Mei tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan makan, sedangkan aku diselimuti banyak pertanyaan tentang kakakku ini. Apa yang sedang disembunyikan Mei?
“Besok aku ingin melihat tempat kerja Kakak.” Entah apa yang aku pikirkan ketika mengatakan itu. Namun, aku tahu Mei menyembunyikan sesuatu dariku.
“Untuk apa?” Kali ada nada kesal yang begitu kentara dari suara Mei. Dia mendengus sebelum meletakkan sendoknya ke piring yang menimbulkan suara nyaring. “Bukankah kamu ke sini untuk liburan?”
“Aku hanya ingin tahu tempat kerja Kakak.”
“Tidak perlu. Sekarang pergilah ke minimarket dan jangan kembali sebelum jam sepuluh.”
Setelahnya tidak ada pembahasan lagi; Mei beranjak ke kamar, membanting pintu kamar dan tidak keluar lagi. Dan itu bukan terakhir kalinya Mei bersikap sedemikian rupa ketika aku membahas tentang tempat kerjanya. Mei selalu menghindari pertanyaanku.

***
Aku tahu ada yang disembunyikan Mei dariku. Di malam-malam tertentu dia menyuruhku ke minimarket dan tidak mengizinkanku pulang hingga waktu yang dia tentukan? Aku tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan Mei. Dia selalu marah ketika aku memaksa untuk ikut ke tempat kerjanya. Kenapa dia selalu pulang pagi? Dan yang membuatku terus berpikir adalah mengapa kupu-kupu di dalam kamarnya kian banyak seolah akan meledakkan kamar itu? Ada yang aneh antara Mei, pekerjaannya, dan ribuan kupu-kupu di kamarnya.


CATATAN: untuk cerpen yang tayang di media daring atau media cetak yang mempunyai website hanya akan saya post sebagian di blog. Jadi untuk membaca cerpen selengkapnya silakan kunjungi situs media tersebut yang saya cantumkan di bagian awal akhir dari postingan.