Laman

Sabtu, 24 September 2022

Disforia


(telah tayang di ideide.id edisi Selasa, 5 April 2022)
 

Dari semua musisi di dunia, pria di sebelahmu memilih Yiruma. Dia menyukai melodi-melodi yang membuat hati sedih. Kenapa, tanyamu. Karena sama seperti hidupku yang penuh kesedihan.

“Kalau begitu bagilah kesedihan itu padaku. Akan kutukar kesedihan itu dengan cinta dan kebersamaan.”

Pria itu hanya akan tersenyum mendengar ucapanmu. Kau tahu itu bukan senyum persetujuan karena setelahnya dia akan mengubah posisi tubuhnya untuk membelakangimu. Dia tak ingin menatapmu, terlebih dia tak ingin menganggapmu ada di sampingnya; dalam kamar yang sunyi sesudah percintaan kalian, pria itu membuat jarak denganmu. Selalu.

***

Kau masih melewati jalan yang sama setiap hari. Deretan toko, lalu lalang kendaraan, dan pedagang kaki lima menemanimu hingga sampai di sebuah halte. Untuk beberapa lama kau akan berdiri di sana menunggu bus yang akan membawamu pulang. Halte ini telah banyak berubah; warna catnya, kondisi bangku, bahkan atap yang mulai berlubang. Deretan toko yang kau lewati pun telah banyak berubah. Hanya kau di sini yang tidak berubah; berangkat dan pulang melewati jalan yang sama, melakukan hal yang sama setiap hari. Benar-benar monoton. Tak ada yang menarik dari hidupmu.

Dalam tiap langkah menuju halte, sering kau berpikir, apakah kau akan menjalani hidupmu seperti ini terus? Melewati jalan yang sama, berdiri di tempat yang sama, memikirkan hal yang sama setiap hari sampai kau tua dan mati?

Dari kaca etalase toko, kau menatap pantulan dirimu yang kurus, lusuh dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahmu tampak memprihatinkan alih-alih tampak seperti gadis yang menginjak usia dua puluhan. Ternyata hanya satu hal yang berubah dari dirimu, yaitu usia yang bertambah tua.

Pikiranmu melayang pada ibumu di rumah yang lumpuh entah sejak kapan. Daya ingatmu tak cukup baik untuk mengingat sejak kapan ibumu lumpuh, tapi yang kau ingat kau tidak memiliki ayah sejak lahir. Dan itu tak masalah bagimu. Setidaknya kau masih punya alasan untuk tidak mengakhiri hidup.

Sampai di halte, hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran merayu satu sama lain. Kau tak tertarik dengan mereka. Perhatianmu justru tertuju pada sebuah mobil sedan yang berhenti di seberang jalan sana. Seorang perempuan berambut kemerahan ditarik paksa untuk keluar dari mobil oleh seorang pria. Mereka terlibat adu mulut hingga si perempuan menangis. Si pria berbicara lagi, memaki dan menendang ke udara. Kau tak tahu apa yang mereka bicarakan karena jarak kalian cukup jauh, belum lagi terhalang oleh suara kendaraan yang lalu-lalang. Perempuan berambut kemerahan itu hanya bisa menangis hingga si pria masuk ke dalam mobil mewahnya dan melaju dengan kecepatan tinggi. Hingga busmu datang dan mulai melaju, kaulihat perempuan berambut kemerahan itu masih menangis tanpa memedulikan sekelilingnya. Ah, itu bukan urusanku, ucapmu sembari menyandarkan punggungmu yang lelah pada sandaran kursi.

Entah mengapa melihat mereka kau risih. Mereka bertengkar di pinggir jalan, menangis, seolah mereka sedang main drama. Kau tak suka drama kehidupan karena kau hanya bisa menjadi penonton. Hidupmu terlalu biasa saja untuk ikut ambil bagian dari sebuah drama besar di dunia. Bahkan, jika tiba-tiba kau meninggal tak akan ada yang berubah dari dunia ini kecuali ibumu yang mungkin akan segera menyusulmu.

Esoknya, seperti biasa kau berada di halte yang sama, di waktu yang sama pula. Membawa dua kilo beras untuk persediaan di rumah, juga beberapa butir telur, kau menunggu bus. Namun, tatapanmu kemudian tertuju pada sosok perempuan yang berdiri di seberang jalan. Perempuan yang kemarin bertengkar dengan kekasihnya. Apa dia tidak pulang dan 24 jam berdiri di sana seperti orang bodoh? Namun, melihat pakaiannya kau yakin dia telah pulang ke rumah karena seingatmu kemarin dia memakai kemeja biru dan sekarang memakai sweter merah.

Cukup lama kau memperhatikannya yang masih menunduk entah memikirkan apa. Hingga kemudian dia mengangkat wajahnya dan tatapan kalian bertemu. Kau yakin dia menatapmu dari seberang sana.

Kau tak suka caranya menatapmu, terlebih dengan rambut kemerahannya yang berkibar. Ada rasa benci dan iri yang sangat dalam dari tatapan perempuan itu padamu. Apa yang membuatnya menatap begitu benci? Apa karena kau melihatnya kemarin saat dia bertengkar dengan kekasihnya? Salah mereka bertengkar di tempat umum. Perempuan itu tak seharusnya membencimu.

Lalu apa yang membuatnya iri? Karena kau membawa dua kilo beras dan beberapa butir telur? Melihat apa yang dia kenakan juga tas yang dia bawa, pasti perempuan itu adalah orang kaya. Kau yakin upahmu bekerja seumur hidup di sebuah toko kelontong pun tak akan bisa membeli tas yang perempuan itu pakai. Lalu kenapa dia harus iri padamu?

Kau menatapnya tanpa memedulikan lalu-lalang kendaraan; menantangnya bahwa hidupmu yang lebih memprihatinkan. Namun, semakin kau menatap ke dalam matanya kau merasakan suatu perasaan yang belum pernah kau rasakan. Apa ini? Kau mengusap dadamu. Rasanya benar-benar lara, seperti ada yang menyayat-nyayat hatimu begitu dalam dan pelan.

Kau menatap perempuan itu lagi, dia mengangguk perlahan. Patah hati, itu yang kini tengah dia rasakan. Kau tidak pernah merasakan patah hati karena hidupmu terlalu monoton untuk merasakan cinta. Namun, dari tatap perempuan itu, kau tahu bahwa patah hati sangat menyakitkan.

Napasmu mulai sesak entah karena apa, seolah ada bongkahan batu yang mengganjal di dadamu. Sekeras apa pun kau memukul-mukul dadamu, rasa sesak itu tetap ada dan kian parah. Kembali kau menatap perempuan berambut kemerahan itu; matanya memerah seperti rambut kemerahannya yang berkibar. Perempuan itu tengah mengadu padamu.

“Kenapa aku?” Kau tidak mengerti. Kenapa perempuan itu harus mengadu padamu. Dan kenapa dia harus membagi rasa patah hatinya padamu.

Kau nyaris muntah andai busmu tak datang dan kau segera menghambur masuk. Kau tak bisa membendung air matamu. Kenapa rasanya sesakit ini? Tanganmu gemetar hebat dan kau hanya bisa menumpahkan tangismu hingga membuat orang yang duduk di sebelahmu menatap heran.

Sesampainya di rumah kau segera menghambur ke tempat tidur, menangis sepuasnya. Ini perasaan yang asing, tapi juga familier bagimu. Apa kau pernah merasakan patah hati? Tiba-tiba kau termenung.

“Pernahkah?” Kau bertanya pada dirimu sendiri.

Ingatanmu sangat buruk; banyak hal di masa lalu yang tidak bisa kau ingat dan itu membuatmu frustrasi. Untuk sejenak kau menatap langit sore dengan semburat merah persis seperti rambut perempuan di seberang jalan tadi. Kau masih termenung menghayati perasaan di hatimu hingga ibumu memanggil dari biliknya.

Tubuh kurusnya makin menyatu dengan kasur yang sudah kumal. Ah, kau belum bisa membelikan kasur yang lebih bagus untuknya dan itu membuatmu merasa bersalah.

“Kemarilah,” ucap ibumu dengan lambaian tangan. Tangan itu sama sekali tak berdaging; hanya tulang yang dibungkus kulit kering.

Kau mendekat. Duduk di lantai agar wajahmu dekat dengan wajah ibumu.

“Kau telah berjuangan dengan keras.”

Kau tak mengerti apa yang ibumu maksud. Kau tak merasa telah berjuangan dengan keras selama hidupmu. Kau hanya menjalaninya dari waktu ke waktu, tua, hingga waktunya bagimu untuk mati. Atau mungkin kau akan mengakhiri hidupmu jika memang kau tak lagi punya alasan untuk hidup.

“Hiduplah dengan baik.”

Kau masih tidak mengerti. Namun, kau sedang tak ingin berpikir, rasa sakit di dada membuatmu hanya ingin kembali ke kamarmu dan berbaring; melupakan hari ini, melupakan perempuan berambut kemerahan itu.

Kau terbangun ketika suara ribut-ribut tetangga yang memulai pagi. Kau tidak berniat untuk berangkat kerja hari ini; membiarkan gajimu yang tidak seberapa dipotong oleh bosmu yang pelit meski kau telah bekerja untuknya selama bertahun-tahun. Hingga siang kau hanya mengurung diri di kamar. Sekali waktu keluar untuk membuat makanan untuk ibumu, mengurusnya yang sudah tidak mampu melakukan apa pun. Kau kembali menekuni rasa sakit di hatimu. Siapa perempuan itu? Kenapa dia patah hati? Apa yang terjadi padanya?

Kau merasa pernah bertemu dengannya. Entah kapan dan di mana. Rasanya itu sudah lama sekali. Kau berdecak. Ingatmu yang bebal sangat menyusahkan! Tak ada yang bisa memberimu penjelasan kecuali perempuan itu. Dan tak ada salahnya bertanya. Perempuan itu yang telah membuatmu merasakan sakit. Maka, kau mulai melangkah menuju halte, berharap perempuan itu berada di sana seperti kemarin.

Namun nihil. Perempuan berambut kemerahan itu tidak ada di seberang jalan sana. Apa dia belum datang? Kau tak tahu. Langit masih benderang, dan ini bukan waktu di mana kau pulang kerja. Kau hanya bisa berdiri di halte. Menunggu. Hidupmu yang monoton membuatmu terlatih untuk menunggu.

Sepasang muda-mudi yang kasmaran duduk di bangku halte seperti kemarin. Kau tidak ingat apakah sebelum hari kemarin mereka juga selalu berada di halte ini bersamamu. Kau tahu kau tidak bisa mempercayai ingatmu yang bebal, maka kau hanya akan menunggu, menunggu, hingga sebuah mobil sedan yang samar-samar kau ingat berhenti di seberang sana.

Ah, itu dia! serumu.

Perempuan itu turun dari mobil. Seorang pria juga turun, memeluk perempuan itu untuk beberapa lama sebelum kembali masuk ke mobil dan melaju. Pergi. Dan tinggallah perempuan itu sendirian.

Dia hanya berdiri di trotoar seperti patung di antara lalu lalang kendaraan yang pengendaranya ingin segera sampai rumah. Pias wajahnya, sayu matanya seolah menjadi magnet bagi kakimu untuk melangkah. Kau harus ke sana dan bertanya.

“Wanita jalang,” ucap sepasang muda-mudi di belakangmu. Mereka tertawa pelan seolah tengah mengejekmu meski kau tahu kata-kata mereka barusan ditujukan untuk perempuan di seberang jalan sana.

Kau hendak melangkah ketika melihat perempuan itu menghamburkan dirinya tepat di depan sebuah truk yang melaju. Waktu seolah berhenti. Kau melihat perempuan itu terhamtan dengan keras sebelum warna merah berhamburan dari tubuhnya seperti setangkai mawar merah yang dihentakkan dengan cepat membuat kelopaknya berhamburan.

*baca selengkapnya di https://ideide.id/disforia.html


Sesuatu di Balik Gelap


 (telah tayang di Madrasahdigital.co edisi Jumat, 25 Maret 2022)

Awalnya dia datang serupa embusan angin; melewati tengkuk hingga membuatku merinding. Dengan tawa melengking dia memasukki rumahku. Apa itu? Mataku waspada. Secepat kilat dia bersembunyi di balik gelap di sudut rumahku, tapi mata merahnya mengawasi. Dia mengintai, menungguku lengah. Aku tahu dia sedang mengincar nyawaku.

“Ada yang ingin membunuhku!” kataku pada seorang teman di ujung telepon sana.

Hening, tidak ada sahutan. Aku tahu dia tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan.

“Halo?”

“Kau habis nonton film horor?” tanyanya enteng.

“Aku tidak bohong. Dia akan membunuhku.”

“Ini sudah malam, jadi lebih baik kau tidur.” Temanku sama sekali tidak peduli dengan ketakutanku dan langsung menutup telepon; membiarkanku menghadapi ketakutan ini sendirian.

Tidak akan ada yang percaya padaku, sedangkan di balik pintu kamar sepasang mata itu mengintip menatapku, bibirnya menyeringai menampilkan taring yang tajam. Aku yakin taring setajam itu mampu mengoyak urat-urat nadiku hingga putus dan mengucurkan darah segar. Aku mungkin akan mati pucat kehabisan darah. Perlahan dia terkekeh menyadari ketakutanku.

Aku tidak tahu siapa dia. Kenapa juga dia harus datang ke rumahku dan menginginkan nyawaku. Yang pasti dia adalah sesuatu yang jahat karena semua hal jahat pasti bersembunyi di balik gelap seperti yang dia lakukan sekarang. Mungkinkah itu iblis? Aku pernah mendengar tentang iblis yang memakan jiwa-jiwa yang tersesat untuk dibawa ke neraka. Di sana mereka menjadikan jiwa-jiwa itu sebagai budak. Tapi, aku tidak pernah berhubungan dengan iblis.

Kulirik jarum jam dinding yang telah melewati pukul dua dini hari. Sejujurnya aku lelah dan mengantuk, tapi teringat bagaimana tajamnya taring itu membuatku bertekad untuk tidak memejamkan mata. Aku akan tetap terjaga hingga pagi. Tidak akan aku biarkan sesuatu di balik gelap itu mengambil nyawaku, apalagi dengan cara mengoyak urat nadiku. Aku tidak akan tidur selama sesuatu di balik gelap itu masih berada di rumahku!

Namun, hingga bermalam-malam kemudian, sesuatu di balik gelap itu tidak beranjak dari rumahku. Dia tetap bersembunyi di kegelapan yang menyelimuti rumahku; menunggu untuk membunuhku. Dia sama sekali tidak membiarkanku terlelap barang sesaat. Di pagi hari ketika cahaya matahari sedikit mengintip dari balik tirai jendela, kupikir aku bisa tidur, tapi dia malah muncul dalam mimpiku. Dia menjelma mimpi buruk ketika aku terlelap. Ketika aku terbangun dengan napas memburu, dia tertawa terbahak-bahak mengejekku.

Sial! Aku tidak tahu bagaimana harus mengusir makhluk itu.

“Kau tahu cara mengusir hantu?” Kembali aku menelepon temanku, meski aku tidak yakin sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu adalah hantu. Hantu tidak membunuh manusia; itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil agar tidak keluyuran di malam hari.

“Kau minum bir pagi-pagi begini?”

Ingin aku meneriakkan sumpah serapah pada temanku ini yang tidak mengerti kondisiku tapi justru menuduhku macam-macam. Aku ini sedang ketakutan karena ada yang ingin membunuhku, tapi dia justru menuduhku minum bir di pagi hari. Walaupun aku sering melakukannya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk minum-minum.

“Ada sesuatu yang gelap bersembunyi di rumah. Dia ingin membunuhku!”

“Lebih baik kau berhenti minum. Dengar, tidak ada sesuatu yang gelap yang bersembunyi di dalam rumahmu. Itu hanya halusinasimu saja.”

Halusinasi katanya? Aku bahkan bisa mendengar suara tawa jahatnya setiap malam. Sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu terus tertawa, menerorku, dan kadang menyanyikan lagu tentang kesedihan, tentang kematian.

“Dia ingin aku mati,” ucapku lirih.

“Ya, kau memang pantas mati. Setiap laki-laki yang menyia-nyiakan keluarganya memang pantas mati.”

“Apa?”

“Tidak ada sesuatu yang bersembunyi di rumahmu. Sudah aku katakan, berhentilah minum-minum dan bayar utangmu padaku!”

Di situasi seperti ini dia justru menagih utang. Nyawaku dipertaruhkan di sini. Bisa aku bayangkan, sepasang taring tajam di antara seringaian itu.

“Itu adalah kesedihanmu yang bertumpuk-tumpuk. Bir tidak akan menggantikan keluarga yang sudah kaubuang.”

Kesedihan dan keluarga? Aku tertegun mendengar ucapan temanku. Ketika telepon itu ditutup dan ponselku meluncur dari genggaman, mataku menyusuri sudut-sudut rumahku yang sepi; tidak ada orang lain, hanya ada aku dan botol-botol bir yang isinya telah berpindah ke tubuhku, dan sesuatu di balik gelap yang kini menyeringai makin lebar. Benar, aku sendirian, bahkan tidak ada yang peduli padaku yang ketakutan menghadapi sesuatu yang jahat di rumahku.

Orang-orang yang harusnya bersamaku telah lama pergi. Istri dan anakku telah meninggalkanku. Aku sendirian. Rumah ini pernah begitu ceria dan hangat, tapi sejak aku kehilangan pekerjaan dan botol-botol bir itu menjadi lebih akrab denganku, keluargaku menjauh. Aku benci mereka yang meninggalkanku ketika aku terpuruk, ketika aku berada di bawah. Terakhir kali aku melihat istriku bersama laki-laki lain. Dia bilang, dia tidak tahan lagi hidup bersamaku, terlebih dengan botol-botol yang membuatku lupa, botol-botol yang kadang membuatku melayangkan tamparan dan pukulan ke tubuh istriku, botol-botol yang membuatku mengucapkan sumpah serapah pada keluargaku. Sedangkan putri semata wayangku telah lama pergi ke rumah neneknya. Gadis muda itu bilang tidak mau mempunyai ayah yang pengangguran dan pemabuk. Mereka tidak pernah kembali padaku.

“Harusnya kalian tidak meninggalkanku sendirian.” Aku kembali terpuruk, sedangkan di luar sana gelap telah menyelimuti bumi.

Aku mengambil botol hijau di sebelahku. Kosong. Botol-botol lain pun kosong seperti diriku. Aku benci kekosongan. Aku benci ketika aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali seorang teman yang terus menagih utang padaku. Kini hanya ada aku dan dia yang tidak lagi bersembunyi di balik gelap. Sosok itu berdiri di hadapanku. Aku bisa melihat mata merahnya, tajam taringnya, dan jubah hitamnya yang menjuntai.

*baca selengkapnya di https://madrasahdigital.co/sastra/sesuatudibalikgelap/

Rencana Bunuh Diri Ke-187


 (telah tayang di Beritabaru.com edisi Minggu, 6 Februari 2022)


Ini adalah rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Sejauh ini aku telah merencanakan ratusan percobaan bunuh diri dalam hidupku. Dan yang mengesankan adalah bahwa semua rencana bunuh diriku itu selalu gagal; nyawaku masih saja tidak mau enyah dari tubuhku yang tidak berharga ini. Apakah bunuh diri memang sesulit itu?

Aku lihat di televisi, orang lain mudah saja bunuh diri; hanya menenggak larutan racun tikus mereka langsung meregang nyawa dengan mulut berbusa dan terkejang-kejang menyedihkan. Sayangnya, bagi tubuhku racun tikus tidak bekerja sebagaimana mestinya dan dokter selalu bisa menyelamatkan nyawaku; membuatku harus menjalani hidup yang tidak aku inginkan untuk kemudian kembali merencanakan bunuh diri selanjutnya.

Harus kuberitahu bahwa kegagalanku dalam bunuh diri bukan disebabkan karena aku takut menghadapi kematian. Aku telah siap lahir batin untuk mati. Akan tetapi, agaknya Tuhan masih ingin aku hidup dan menjalani kesengsaraan dunia. Aku pernah meminta saran dari seorang kakek tua yang tinggal di gang sempit dekat pasar mengenai cara bunuh diri. Kakek Tua yang sekilas terlihat seperti orang gila itu telah membantu banyak orang untuk bunuh diri dengan saran-sarannya. Namun, saran untukku tidak berjalan lancar. Dia memberiku saran untuk bunuh diri di rel kereta; membiarkan tubuhku tertabrak gerbong tanpa ampun kemudian terseret atau terlindas hingga tak berbentuk lagi. Itu adalah cara bunuh diri terbaik dan termudah untuk orang yang sudah sangat putus asa sepertiku.

Aku yakin cara itu akan berhasil membuatku mati. Aku sudah membayangkan kematian yang indah. Aku sudah membayangkan nikmatnya meninggalkan hidup yang menyengsarakan ini. Namun, rencana yang sudah kususun itu hancur berantakan ketika temanku menghalangi dengan tangis yang memilukan. Temanku bersikeras aku harus hidup. Ini tidak semenyengsarakan yang kau pikir, begitu katanya diikuti semua kata-kata yang membuatku bingung dan aku menyerah.

Baiklah untuk kali ini aku menyerah demi temanku yang cengeng, begitu kataku dan kami pulang ke rumah seolah tidak terjadi apa-apa.

Esoknya aku kembali ke gang sempit dekat pasar untuk meminta saran lagi pada Kakek Tua. Namun, yang kutemui adalah kerumunan orang yang sedang berdesakan di gang sempit di mana Kakek Tua harusnya berada. Setelah aku merangsek dengan susah payah, barulah aku tahu kalau Kakek Tua yang seperti orang gila itu telah menjadi korban pembunuhan semalam. Tubuh tua terbalut baju dan sarung kumal itu terbujur bersimbah darah di dekat gerobak tempatnya biasa tidur.

Sial, makiku. Orang yang harusnya memberiku saran bunuh diri justru meregang nyawa lebih dulu sebelum bunuh diriku sukses.

Dari bisik-bisik kerumunan kuketahui kalau Kakek Tua ditusuk seorang pemuda semalam. Pemuda itu beberapa hari yang lalu menemui Kakek Tua untuk meminta saran bunuh diri, namun rencana bunuh dirinya gagal entah apa sebabnya. Dan karena kesal pemuda itu melampiaskannya pada Kakek Tua.

Dasar sinting! Aku ingin memaki pemuda bodoh itu. Kalau Kakek Tua mati lalu bagaimana aku dan dia meminta saran bunuh diri?

Pemuda bodoh itu dijebloskan ke penjara setelah persidangan, sedangkan aku—yang sudah sangat putus asa dengan hidup ini—dijebloskan ke tempat yang lebih mengerikan oleh keluargaku; di mana seluruh ruangan berwarna putih, dan orang-orangnya memakai baju dan jubah putih. Setiap pagi dan malam hari mereka membawakanku obat berwarna putih yang pahitnya luar biasa. Di hari lain mereka menusuk lenganku dengan jarum berisi cairan yang membuatku lemas kemudian kesadaranku menghilang.

Aku dikurung di ruang putih itu sendirian dengan kamera pengintai yang terus mengawasiku. Keadaanku bahkan lebih menyedihkan dibanding pemuda bodoh yang telah menusuk Kakek Tua hingga tewas. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ingatanku juga sedikit kacau karena sering kehilangan kesadaran setelah orang berbaju putih menyuntikkan cairan ke tubuhku. Terakhir aku ingat aku mencoba bunuh diri dengan cara menenggelamkan diriku di bak mandi. Aku mendengar teriakan ayah dan ibuku, juga suara pintu yang didobrak tepat sebelum aku kehilangan kesadaran. Aku pikir aku telah berhasil bunuh diri.

Ah, akhirnya aku berhasil, pikirku. Namun, ketika aku membuka mata, bukannya surga atau neraka yang aku lihat, melainkan ruangan putih dengan bau antiseptik yang menyengat. Aku menemukan diriku dalam keadaan terikat di ranjang dan tepat di sudut ruangan kamera pengintai itu mengawasi seolah di sebelah ruangan sana ada sekumpulan orang yang menjadikanku nontonan. Dan di antara mereka berdiri Ayah, Ibu, dan saudaraku—dan mungkin juga temanku yang pernah mengagalkan rencana bunuh diriku. Temanku mungkin akan menangis melihatku dari layar monitor seperti yang biasa dia lakukan ketika mengetahui aku mencoba bunuh diri.

Dan ini adalah rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku telah mencoba bunuh diri beberapa kali di ruang putih ini, tapi selalu gagal karena kamera pengintai selalu membuat orang-orang berbaju putih berhasil menyelamatkanku sebelum nyawaku enyah. Aku benci benda bulat yang seperti mata itu.

Ini adalah rencana bunuh diriku yang keseratus delapa puluh tujuh. Aku telah banyak mempelajari aktivitas orang-orang berbaju putih. Sekitar puluh enam pagi, di mana embun di luar sana mulai menguap, seorang wanita kurus akan membawakanku sarapan dengan menu bubur dan abon sapi. Jujur aku katakan itu adalah bubur paling tidak enak sedunia. Sepertinya pembuatnya tidak tahu takaran garam karena rasanya selalu keasinan. Namun, aku harus menghabiskan bubur itu di bawah tatapan wanita kurus yang membawanya.

Setelah bubur habis tanpa sisa dia akan memberiku obat pahit. Aku tidak tahu itu obat apa. Obat itu memiliki efek yang hampir sama dengan cairan yang disuntikkan ke lenganku. Keduanya sama-sama membuatku kehilangan kesadaran. Hanya saja obat ini efeknya tidak separah cairan. Jika yang cair langsung membuatku kehilangan kesadaran seketika, maka pil ini hanya membuatku mengambang seperti setengah terbang. Sulit untuk menjelaskannya. Aku hanya seperti tidak berada di tempatku. Aku benci obat itu sama seperti aku benci bubur keasinan yang harus aku makan.

Setelah prosesi sarapan dan minum obat selesai, wanita kurus itu akan keluar diikuti suara kunci pintu. Mereka tidak membiarkanku kabur. Aku hanya akan sendirian di ruangan itu. Sepi sekali. Kadang aku menangis ketika teringat teman-temanku di sekolah. Aku rindu sekolah. Aku rindu pelajaran Fisika yang memusingkan. Aku rindu kakak kelas yang membuatku senyam-senyum kasmaran. Aku rindu temanku yang cengeng dan cerewet. Dan aku rindu percobaan bunuh diriku. Ketika semua kerinduan itu membuncah dalam diriku dan aku tidak bisa mengendalikannya, orang-orang berbaju putih akan masuk dengan tergesa. Mereka segera menangkapku, memegangi lenganku kuat-kuat sebelum menyuntikkan cairan yang membuatku melemah dan kehilangan kesadaran.

Ketika kesadaranku menghilang, aku melihat teman-temanku yang sedang bermain di lapangan sekolah. Mereka tertawa dengan riang, sedangkan aku tidak bersama mereka. Tangan dan kakiku terikat, kemudian muncul pria-pria berbadan besar. Mereka melucuti pakaianku dengan tawa yang mengerikan. Aku berteriak, menangis, tapi mereka justru makin senang. Aku takut. Aku memanggil teman-temanku, tapi tidak ada yang mendengar. Lalu satu per satu pria berbadan besar dengan tawa mengerikan itu membuka kakiku. Mereka memasukiku. Rasanya sakit luar biasa. Aku seperti ditusuk dengan besi panas. Aku berteriak lebih keras hingga aku tidak bisa mendengar teriakanku sendiri. Dan di sinilah aku berada; di sebuah bilik rumah sakit jiwa.

Ini adalah percobaan bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku sudah bosan hidup, tapi aku harus bersabar untuk mengelabuhi orang-orang berbaju putih dan kamera pengintai yang bisa menggagalkan rencanaku. Aku makan dengan teratur dan minum obat tanpa ada lagi paksaan.

“Bagus. Kalau kau menurut seperti ini terus, kau bisa keluar dari sini lebih cepat.” Wanita kurus yang membawakanku obat tersenyum semringah setelah aku meminum obat.

Wanita itu bilang keadaanku mengalami perkembangan pesat. Terhitung sudah sebulan ini aku tidak lagi mengalami serangan panik. Kau menunjukkan perkembangan, begitu katanya. Aku hanya mengangguk dengan senyum sebelum mengambil sebuah buku cerita berjudul The Little Prince.

Selain wanita kurus yang membawakanku makanan dan obat, ada juga wanita berjilbab yang menemuiku tiga hari sekali. Biasanya dia akan bertanya tentang mimpiku semalam, juga apa hal yang ingin kulakukan. Sebenarnya aku benci wanita berjilbab ini, dia banyak bertanya. Tapi demi rencana bunuh diriku, aku harus bersabar.

Aku mengarang cerita tentang mimpiku; aku bertemu dengan teman-teman sekolahku. Aku juga bilang kalau aku berharap bisa bertemu dengan kakak kelas yang aku sukai. Di lain waktu cerita itu sedikit kuubah dengan mengganti teman menjadi keluarga, atau kakak kelas menjadi pelajaran Fisika. Wanita berjilbab tersenyum senang mendengar jawabanku.

Ini adalah rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh. Aku yakin tidak akan gagal meski kamera pengintai itu masih terus mengawasiku. Aku senang melihat orang-orang berbaju putih percaya bahwa aku tidak akan mencoba bunuh diri lagi hanya karena aku bersikap baik dan meminum obat seperti perintah mereka. Namun, mereka tidak tahu kalau obat-obat itu tidak pernah melewati kerongkonganku. Obat itu hanya aku sembunyikan di bawah lidah untuk kemudian aku simpan di bawah bantal.

Aku sudah mengumpulkan obat-obat itu sejak sebulan terakhir. Jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membuatku overdosis. Kalau obat itu bisa membuat setengah kesadaranku menghilang dengan dosis yang tepat, artinya dengan dosis yang melebihi batas obat itu bisa membuatkku kehilangan kesadaran selamanya. Maka, malam ini, beberapa jam setelah wanita kurus itu memberiku obat dan mengunci pintu, aku berbaring di ranjang dengan selimut menutupi hingga kepala. Di bawah selimut aku menelan satu per satu obat yang telah aku kumpulkan.

Ini adalah rencana bunuh diriku keseratus delapan puluh tujuh, dan aku yakin kali ini aku berhasil ketika semua yang kulihat bukan lagi ruangan putih, melainkan gelap dan aku damai di dalamnya. Hidup, selamat tinggal. Aku bebas!

Adu Celeng


 (telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 30 Januari 2022)

1/

Puluhan orang bersorak gembira ketika seekor babi hutan dengan luka menganga di leher berusaha melepaskan diri dari gigitan anjing Rottweiler di bagian moncongnya. Ketika akhirnya dia terlempar ke sudut arena, darah mengalir deras dari moncong hitamnya.

“Habisi celeng itu!” Ben, pemilik anjing Rottweiler itu, berteriak menyemangati piaraannya yang kemudian disambut dengan sorak-sorai penonton lain.

Perutku bergejolak. Aku ingin kabur dari tempat ini, tapi Ben menahanku. Kau harus menyaksikan kehebatan anjingku, begitu bisiknya. Dia bahkan menarikku untuk melihat bagaimana babi hutan itu kepayahan berdiri sebelum kembali diserang oleh Bleki—anjing Ben.

“Jangan jadi lemah, dan saksikan mereka bertarung!” Kembali Ben berbisik di tengah teriakkan penonton.

Kedua hewan itu kembali berhadapan di arena. Napas mereka memburu. Pertandingan yang tidak imbang karena babi hutan itu sudah kepayahan. Dan benar saja, ketika Bleki melompat, anjing itu mengigit tepat di leher si babi hutan yang sudah terluka; mengoyaknya tanpa ampun. Terdengar kuikan panjang seperti orang merintih dari si babi hutan sebelum tubuhnya terlempar di kubangan di pinggir arena. Tubuhnya tidak lagi bergerak, hanya tarikan napas yang membuat perutnya kembang kempis seperti juga perutku yang menahan mual.

“Bunuh! Bunuh!” teriak Ben, disambut teriakan yang sama dari penonton lain.

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

“Tidak, jangan,” bisikku tidak terdengar siapa pun. Mataku tepat menatap mata babi hutan yang sudah tidak berdaya.

Tidak ada lagi kekuatan dalam sorot matanya. Babi hutan itu seakan tahu bahwa ajalnya telah tiba; mati sebagai tontonan brutal untuk manusia-manusia. Namun, ketika tatapan mata kami bertemu, babi hutan itu seakan meminta pertolongan dariku. Dia tidak ingin mati, terlebih di dalam arena ini.

“Hentikan! Hentikan!”

 

2/

Aku yakin aku tidak memasuki permukiman manusia. Aku masih jauh di dalam hutan dengan pohon yang rimbun. Seekor ular melingkar di dahan tak jauh dariku. Dia mendesis memperingatkanku. Hati-hati, katanya. Tidak ada yang perlu aku takutkan di dalam hutan, kecuali buaya yang biasa berdiam diri di dalam rawa untuk menunggu mangsa.

“Tetap saja. Kau harus berhati-hati pada manusia.” Ular itu kembali mendesis kemudian beranjak ke dahan yang lebih tinggi. Tubuh tua membuat gerakannya lebih lambat.

Aku tahu para penghuni hutan—terlebih babi hutan sepertiku—sedang khawatir pada manusia yang akhir-akhir ini senang berburu di hutan. Para manusia itu bersama anjing-anjing yang menyalak memburu babi hutan untuk dibawa ke permukiman. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi pada babi-babi hutan itu. Namun, menurut burung-burung kecil, babi-babi hutan itu dibawa ke sebuah tempat dengan puluhan manusia untuk diadu dengan anjing besar.

“Manusia akan membawa babi itu ke tengah tanah lapang yang dipagari dan anjing-anjing akan menyerang mereka bergantian tanpa ampun.”

Membayangkannya saja membuatku bergidik. Para manusia itu seperti sudah kehilangan hiburan setelah membabat hutan dan menggantinya dengan gedung. Aku berniat kembali ke seberang rawa ketika ular di atasku kembali mendesis.

“Mereka datang!”

Belum sempat aku berpikir, terdengar gonggongan anjing diikuti derap langkah. Para pemburu! Segera aku berlari memasuki hutan lebih dalam. Aku yakin ular tua itu akan aman di atas dahan. Sekarang yang terpenting aku harus lolos dari para pemburu. Aku tidak mau berakhir di moncong seekor anjing.

Aku berlari lebih cepat. Namun, anjing dengan badan ramping itu berlari lebih cepat. Gonggongan mereka sahut menyahut membuatku tersadar bahwa anjing itu tidak hanya ada satu atau dua; pasti lebih dari tiga! Mereka mengejar, mereka ingin menangkapku.

Di belakang sana, seekor anjing kembali menggonggo membuatku berlari lebih cepat, menerobos semak, melewati ranting. Aku yakin bisa lolos. Namun, seekor anjing hitam tiba-tiba muncul dari samping. Anjing itu melompat dan tepat mengigit leherku, membuatku terbanting ke samping dan anjing itu tidak mau melepasku. Anjing-anjing lain segera menyerbu. Mereka menggonggong menang atas diriku sekaligus memanggil tuan-tuan mereka.

Setelahnya, seperti yang diduga, kaki-kakiku diikat pada sebatang dahan untuk dipanggul. Mereka membawaku ke tempat yang disebut arena. Bangkai babi-babi hutan yang lebih dulu tertangkap terlihat mengenaskan dengan kepala yang telah terpenggal. Sedangkan di sisi lain, beberapa babi terpancang dengan luka-luka yang belum mengering. Babi hutan tidak pernah semenyedihkan ini di rumah mereka di dalam hutan.

Dan di sinilah aku keesokan harinya. Di dalam arena, bertarung melawan seekor anjing berbadan besar dengan liur yang menetes dari sela gigi-gigi yang tajam siap mengoyakku. Napasku tersengal setelah anjing itu mengigit moncongku tanpa ampun. Manusia-manusia makin bersorak menyemangati anjing itu, sedangkan aku terdesak dan nyali kian menciut di tengah sorak-sorai manusia. Susah payah aku bangkit dengan kaki gemetar. Moncongku perih dan masih terus mengucurkan darah. Anjing itu kembali menatapku. Dia akan menghabisiku, karena begitulah perintah tuannya.

“Habisi celeng itu!”

Anjing itu melompat ke arahku. Taringnya tepat mengenai leherku yang sudah terkoyak membuatku menguik tajam sebelum terlempar ke kubangan. Manusia kembali bersorak menyambut kekalahanku. Aku pasti akan mati. Tubuhku sudah tidak lagi bisa digerakkan. Aku ingat bangkai teman-temanku yang terpenggal. Apakah aku juga akan berakhir seperti teman-temanku?

Pandangan mataku makin melemah sebelum mataku menangkap sosok manusia muda yang terbelalak menatapku. Tubuhnya gemetar hebat di tengah teriakan manusia yang menginginkan kematianku. Namun, pemuda itu berbeda.

Tolong aku.

 

3/

Aku harus menang. Bagaimanapun caranya aku harus bisa mengalahkan babi hutan. Itu yang diperingatkan Ben, majikanku, ketika dia membawaku ke arena.

“Jangan membuatku malu. Habisi celeng itu,” ucap Ben sebelum dia menyerahkanku pada beberapa orang yang akan membawaku ke hadapan babi hutan sudah berada di tengah arena. Babi hutan itu masih muda dan terlihat kebingungan di tengah manusia-manusia yang terus bersorak. Suara pelantang memekak memberi pengumuman bahwa aku akan melawan babi hutan itu hingga salah satu di antara kami sekarat atau bahkan mati.

Bagi manusia, aku dan babi hutan itu tidak lebih dari sebuah nontonan. Namun, bagi Ben, aku adalah sebuah kebanggaannya. Dia telah merawatku dan sudah semestinya aku memberi kebanggaan untuknya. Maka ketika Ben berteriak aku harus menghabisi babi hutan itu, aku melompat, mengiggit moncongnya tanpa ampun.

Kudengar babi itu menguik kesakitan setelah terlempar. Ah, dia bahkan sudah terluka sebelum aku datang. Sorot matanya melemah, dia kepayahan. Aku tidak tahu semua ini benar atau tidak, tapi bagiku semua benar asal itu berasal dari Ben.

“Habisi celeng itu!” Ben kembali berteriak ketika babi hutan itu kembali berdiri dengan kaki gemetar.

Harusnya semua ini sudah berakhir, tapi Ben kembali berteriak. Maka, aku kembali melompat ke arah babi hutan itu. Kukoyak luka di lehernya dan melemparnya tanpa ampun ke kubangan. Pada titik ini harusnya babi itu sudah dibawa keluar arena. Babi hutan itu tidak lagi bergerak; hanya napasnya yang naik turun. Kutatap matanya yang kian melemah seolah separuh nyawanya telah melayang meninggalkan tubuhnya yang penuh luka. Namun, baik Ben maupun orang-orang di pinggir arena meneriakkan kata yang sama: bunuh! Bunuh! Bunuh!

 

4/

Kakakku memang laki-laki lemah. Tidak ada yang bisa dia lakukan dengan benar karena dia selalu memulai segala sesuatu dengan ketakutan. Dia takut pada ketinggian. Dia takut pada tikus di rumah. Dia takut pada teman-teman yang berbadan besar. Dan, ketika aku membawa seekor anjing ras Rottweiler ke rumah, dia menjerit ketakutan nyaris pingsan.

Seorang laki-laki haruslah pemberani, berulang kali kukatakan pada kakakku. Namun, tetap saja dia tumbuh sebagai penakut. Kakakku tidak mau dekat-dekat dengan anjingku, bahkan jika aku memintanya memberi makan.

“Apa kau bisa menjamin bukan aku yang akan dia makan?”

Aku tidak tahu bagaimana dia hidup dengan segala macam ketakutan pada dirinya, tapi yang pasti kakakku harus berubah! Maka ketika aku mendengar tentang pertandingan liar antara anjing dan babi hutan, aku membawa anjingku ke sana.

Dalam arena berukur dua puluh kali sepuluh meter itu, seekor babi hutan dan seekor anjing akan diadu. Dengan membayar sejumlah uang, kubiarkan anjingku bertanding untuk berlatih.

Kakakku tentu saja langsung merengek minta pulang saat tahu aku membawanya melihat pertandingan. Dia muntah beberapa kali ketika melihat dua hewan buas itu beradu dan saling cabik, tapi aku tidak membiarkannya pergi. Kupegang erat-erat tangan kakakku yang sedingin es; memaksanya untuk tetap menyaksikan.

“Jangan jadi lemah, dan saksikan mereka bertarung!”

Kakakku makin mengigil ketika anjingku berhasil mengoyak leher si babi hutan dan melemparnya ke kubangan. Napasnya kian memburu di tengah teriakkan orang-orang yang menyuruh anjingku membunuh si babi hutan.

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

“Hentikan,” desisnya.

Tiba-tiba Kakak mendorongku hingga terjerembap dan dia berlari ke arena, menerobos wasit yang berjaga. Tepat ketika anjingku melompat untuk mencabik babi hutan itu untuk terakhir kalinya, kakakku menghadang dengan tubuh ringkihnya.

Kakakku adalah laki-laki yang lemah, dan tidak seharusnya dia mendadak menjadi berani untuk melindungi si babi hutan yang tengah sekarat. Kakakku adalah laki-laki lemah, dan tidak seharunya dia berakhir di moncong anjingku sendiri.

  

*catatan: cerpen ini terinspirasi dari artikel di vice(dot)com berjudul “Gladiator Kaki Empat: Mengintip Arena Duel Terlarang Anjing Versus Babi Hutan di Jabar”.


Terdakwa


 (telah dimuat di Harian Fajar Makassar edisi Minggu, 16 Januari 2022)

Tepat tengah malam nanti, aku akan dieksekusi. Satu regu eksekutor bersenjata api akan menembakkan sebuah peluru panas yang akan melesat tepat ke jantungku, merobek pembuluh darahku dan menyeretku ke kematian.

“Pergi sana ke neraka! Manusia biadab!”

Aku masih ingat pekik teriakan orang-orang padaku. Neraka? Tahu apa mereka tentang neraka? Nyatanya, aku membunuh enam orang dengan cara paling keji dengan tawa dan kebahagiaan. Apakah aku akan pergi neraka setelah mati?

“Pergi sana ke neraka!” Seorang ibu yang anaknya aku mutilasi menjadi delapan bagian terus mengutukku. “Neraka jahanam adalah tempatmu! Mati sana!”

Ingin sekali kukatakan padanya untuk menahan emosi. Karena di usianya yang sudah lanjut itu, bisa saja dia tiba-tiba kena serangan jantung. Atau mungkin memang itulah tujuannya agar segera menyusul anak tercinta? Aku tersenyum tipis di kursi pesakitan mendengar teriakan dari orang-orang yang anggota keluarganya aku bunuh. Di luar, para awak media bersenjatakan kamera dengan flash yang menyilaukan mata membuat berita-berita yang semakin membuatku ingin tertawa.

Mereka bilang aku tak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun setelah melakukan pembunuhan yang keji. Aku kembali tersenyum bahkan kali ini nyaris tertawa terbahak-bahak. Kenapa harus menyesal? Aku sudah merencanakan pembunuhan ini sejak lama. Sejak tujuh orang biadab itu menodai Maria, pacarku. Mereka menyeret gadis berkerudung merah itu, merobek baju yang menutupi tubuh indahnya, mencumbu dengan ganas dan memenuhi pacarku bergantian; tujuh orang, berkali-kali, seolah pacarku tak lebih dari sebuah mainan. Bisa kubayangkan bagaimana rasa sakit yang dirasakan gadisku itu.

Sejak peristiwa itu, bagi Maria, dunia adalah kegelapan dan dia adalah manusia paling kotor. Maria tak mau lagi menemuiku karena di dalam perutnya tumbuh bayi iblis, padahal kami telah berjanji untuk menikah tahun depan; kami akan pindah ke kota yang lebih besar, tinggal di sana dan membangun rumah tangga yang harmonis dengan satu atau dua anak yang manis-manis seperti dirinya. Namun, itu sebuah sudah tinggal impian semata. Malam ketika bulan bersinar dengan sempurna, dia menulis nama-nama pendosa yang menodainya sebelum gantung diri di kamarnya. Mariaku pulang ke rumah Tuhan. Kelak, di akhir jaman, dia akan turun ke bumi untuk mengadili para pendosa.

Sejak dua tahun yang lalu, aku telah merencanakan pembalasan ini. Tak pernah satu hari pun pikiranku tidak tertuju pada rencana balas dendamku, karena aku tahu hukum di negeri ini tidak akan membela Mariaku, maka akulah yang harus menghukum mereka. Satu per satu aku mengintai para pendosa itu. Mereka hidup dengan tenang setelah membuat Mariaku meregang nyawa. Dua orang aku bunuh, tubuhnya aku potong menjadi delapan bagian dan kuberikan pada anjing liar di hutan. Satu orang aku cincang di kamar kontrakan, dua orang lagi aku pukuli di bekas gudang dengan tongkat baseball hingga tak berbentuk dan seorang lagi aku biarkan mati kehabisan darah setelah lidah dan kemaluannya aku potong dengan pisau di dalam hutan. Ah, itu semua bahkan tidak sebanding dengan rasa sakit yang harus dirasakan Maria.

“Mati sana, dasar manusia biabad!” Kembali teriakan para hadirin membuat persidangan ricuh.

Aku menoleh pada seorang wanita yang anaknya kupukuli hingga tewas. Matanya berlinang, persis seperti ibu Maria ketika pemakaman anaknya. Tak ada satu pun orangtua yang mau melihat kematian anaknya, tapi dunia amat kejam untuk kita. Anggaplah aku gila setelah kehilangan perempuan yang begitu aku puja seperti yang diberitakan di awal-awal kasusku diusut. Tidak. Aku tidak gila; dunia ini yang gila, juga mereka yang membuat Mariaku pergi dengan cara yang amat menyedihkan dan mereka masih bisa hidup dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah sebuah nyawa begitu tak berharganya.

Dan sebentar lagi, ketika hakim yang agung menjatuhiku hukuman mati kemudian eksekutor menembakkan timah panas tepat ke jantungku, aku akan segera menyusul Maria.

“Maaf, Sayang, aku tidak bisa menuntaskan dendam kita.”

Aku menatap tajam pada hakim yang agung yang tersenyum menang karena berhasil menghukum terdakwa yang mengincar anak bungsunya. Satu dari tujuh orang pemerkosa Maria tidak sempat aku bunuh.


Selendang Awan


 (telah dimuat di Majas #5 edisi 5 November 2019)

Besok, aku akan bunuh diri menggunakan selendang kesayanganku. Aku akan mengikatnya kuat di pohon kelengkeng belakang rumah Haji Sugi; membiarkan leherku tercekik hingga lidahku terjulur dan nyawaku enyah selamanya dari tubuhku. Jika cara itu tak berhasil, aku akan gunakan cara kedua; akan kuikat kedua tangan dan kaki dengan selendang kemudian akan kulempar tubuhku ke dalam sumur tua di ujung desa. Setelah itu, namaku hanya akan menjadi kenangan sementara waktu dan perlahan terlupakan; kenangan tentang seorang gadis berselendang awan yang mengusir hujan dan petir.

Aku bukan pawang hujan, meski ayah dan abangku bisa mengendalikan awan hitam di langit. Seorang gadis tak bisa menjadi pawang hujan, begitu kata Ayah ketika aku masih kecil. Aku bertanya apa alasannya, tapi Ayah tak menjawab. Aku selalu iri melihat abangku yang setiap hari diajari Ayah berbicara pada awan yang menggantung rendah di langit. Ayah dan abangku, berbicara pada awan seolah mereka adalah teman lama.

Ayahku seorang pawang hujan yang terkenal. Dia sering dimintai bantuan dalam acara-acara penting. Misal saja, menggeser awan hitam di atas istana negara saat upacara kemerdekaan yang dihadiri utusan negara lain. Sepeninggalan Ayah, abangku yang menggantikannya. Dia bahkan sekarang semakin terkenal di kota dan meninggalkan aku sendirian di desa. Sebagai gantinya, aku—yang menurut Ayah tak bisa menjadi pawang hujan—diberi selembar selendang berwarna biru langit.

Ini adalah selendang awan, ucap Ayah saat memberikan selendang cantik itu. “Ayah memintanya pada awan-awan di langit khusus untukmu.”

“Kenapa seorang gadis tak boleh menjadi pawang hujan, Ayah?” tanyaku untuk terakhir kalinya. Namun, Ayah tetap tak mau menjawab. Dia bungkam.

“Selendang ini akan melindungimu, seperti ibumu melindungimu saat kau masih di dalam kandungannya.”

Walau aku tak bisa berbicara dengan awan seperti abangku, tapi dengan selendang ini aku bisa mengendalikan awan dalam jumlah kecil. Jika aku butuh air untuk menyirami tanamanku, aku cukup mengibas-ngibaskan selendangku untuk memanggil gerimis. Atau jika aku di jalan dan langit tak bersahabat, maka aku cukup menutupi kepala dengan selendang agar awan hitam di atasku pergi menjauh. Selendang ini melindungiku, persis seperti yang dikatakan Ayah.

Namun,  beberapa hari ini, aku ingin bisa mengendalikan awan dalam jumlah besar. Kalau  bisa, aku ingin memanggil hujan badai yang mampu menghancurkan desa; memorak-perandakan seisi desa dan membunuh semua orang. Aku ingat tatapan takut orang-orang yang berpapasan denganku. Tatapan itu, membuatku semakin ingin menghancurkan desa ini seperti mereka menghakimiku. Mereka adalah orang-orang tak tahu balas budi. Aku menggunakan selendangku untuk menyelamatkan sawah mereka dari kekeringan dan gagal panen, mengisi sumur-sumur dengan air, tapi sekarang mereka takut pada murkaku.

Besok tepatnya, aku akan memanggil hujan badai kemudian bunuh diri dengan selendangku. Sudah aku putuskan.

“Aku tahu rencanamu!”

Aku sedang menatap awan kecil yang menyirami tanaman bunga di depan rumah ketika Bang Ipan mampir ke rumahku sore ini. Dia menuding-nudingku dengan wajah merah padam. Aku menatapnya tak peduli sambil mengelus perutku yang membuncit. Lelaki itu tahu rencanaku? Itu bagus, karena artinya dia siap untuk mati.

Aku akan menghentikanmu!” tegasnya.

Tidak ada yang bisa menghentikanku. Besok, aku akan menghancurkan pesta pernikahan Bang Ipan dengan anak kepala desa yang masih perawan itu. Tak seperti diriku yang sudah berulang kali dijamah hingga bunting oleh Bang Ipan, anak gadis kepala desa bahkan mungkin tak tahu bagaimana cara membuat bayi. Mungkin Bang Ipan lupa malam-malam yang kami lewati bersama. Aku tak masalah karena aku masih mengingatnya.

Bang Ipan menatapku jijik seolah aku ini lonte murahan, padahal sebelum dijodohkan dengan anak kepala desa, dia selalu memujaku. Gadis cantik berselendang awan, begitu dia merayuku hingga aku jatuh dalam pelukannya. Harta memang segalanya sampai Bang Ipan melupakan aku dan memilih sawah puluhan hektar yang dijanjikan kepala desa jika Bang Ipan menikahi anak gadisnya.

Apa perlu aku ceritakan bagaimana Bang Ipan mengawiniku di semar belukar perbatasan desa saat hujan deras? Selendang awanku ini saksinya, tapi dia menyangkal dan mengatakan pada semua orang bahwa aku ini gadis gila, lonte murahan. Dan sekarang mereka ketakutan memikirkan caraku balas dendam.

Kembali aku mengelus perutku berisi anak Bang Ipan yang sering dia suruh untuk digugurkan. Biar aku jadi gila karena memiliki anak tanpa suami, tapi aku tak akan membunuh darah dagingku sendiri! Aku akan melahirkannya setelah melihat kematian Bang Ipan dan orang-orang desa, setelah itu aku akan bunuh diri.

“Kami semua tak akan membiarkanmu!” Bang Ipan pergi dari muka rumahku dengan sebuah ancaman. Aku hanya mencibirnya dan kembali menatap awan kecilku.

***

Aku merasakan sekujur tubuhku sakit luar biasa. Terutama di pergelangan tangan dan kakiku. Kubuka pelan mataku, rasa pusing menyerang seketika dan bau kotoran sapi menyeruak memenuhi indra penciumanku. Suara petir di luar menyadarkanku bahwa kini desa sedang diguyur hujan lebat. Kutatap sekelilingku. Aku berada di bekas kandang sapi. Hanya ada satu bekas kandang sapi di desaku dan itu milik kepala desa.

Aku ingat semalam orang berbondong-bondong ke rumahku. Mereka menerobos, menyeretku tanpa ampun tak memedulikan perutku yang membuncit besar. Mereka memaki, mengatakan bahwa aku yang membuat hujan tak turun selama sembilan bulan di desa kami. Bicara apa mereka? Mereka pikir aku ini Tuhan? Aku bahkan tak bisa bicara pada awan seperti ayah dan abangku.

“Ambil selendangnya!” perintah salah seorang dari mereka.

Aku melihat Bang Ipan di antara orang-orang itu. Dia diam dengan wajah puas. Ini pasti rencana Bang Ipan agar aku tak menghancurkan pesta pernikahannya.

Orang-orang itu merebut selendang yang tersampir di leherku. Menariknya, memisahkan kami berdua. Jangan ambil selendangku, teriakku. Mereka tak peduli. Satu tendangan di perutku membuat semua menjadi gelap dan aku berakhir di sini, di bekas kandang sapi.

Aku menggeliat pelan, berusaha bergerak meski perut besarku menyulitkan. Aku harus keluar dari sini dan mencari selendangku, mereka tak boleh memilikinya. Mulai kugigiti tali yang mengikat tanganku. Suara petir kembali terdengar membuatku rindu pada selendangku. Hawa dingin membuatku mengigil ketika berhasil melepas tali-tali yang menjerat. Aku beranjak membuka pintu kandang yang ternyata tak terkunci. Bodoh sekali mereka tak memasang kunci di sini. Atau mereka memang sengaja membiarkanku lolos dengan mudah?

Kubuka perlahan pintu itu dan yang terlihat adalah sebuah padang luas dengan bangunan yang rata dengan tanah. Hujan masih menguyur dengan lebat, angin berputar-putar menghancurkan bangunan yang masih tersisa dan petir menyambar siapa saja yang masih bernapas. Di sebelah pintu tergeletak dua manusia gosong tak bernyawa yang aku yakini sebagai orang yang ditugasi untuk berjaga agar aku tak kabur.

Apa yang sudah terjadi di desaku? Apakah ini kiamat? Aku pernah dengar kalau kiamat itu akan terjadi pada hari Jumat, tapi sekarang bukan hari Jumat. Ini hari... hari pernikahan Bang Ipan dengan anak kepala desa! Aku tersenyum, entah apa yang lucu dan mulai melangkah meninggalkan kandang sapi. Perlahan, hujan mereda, angin berdamai dan petir menghilang. Kulangkahkan kakiku menyusuri desa dengan orang-orang gosong bergelimpangan.

Bang Ipan berada di antara orang-orang itu, matanya menatap kosong dengan wajah menghitam dan tubuh mengeluarkan asap. Kususuri jalanan meninggalkan desa yang sudah porak-peranda. Di langit, sinar matahari mulai mengintip di balik awan.  Selendang awanku terbang seolah melambai padaku. Kuikuti arah terbangnya. Kini kusadari, selendangku yang telah mengundang hujan, angin, dan petir untuk membinasakan desa. Pasti selendangku cemas dan menolongku dengan caranya sendiri. Lagipula, itu sudah menjadi rencana kami beberapa hari yang lalu.

Di sebuah dahan pohon kelengkeng, selendangku menanti. Perutku sakit, bayi dalam perutku meronta ingin keluar; ikut menyaksikan kehebatan selendang awan milik ibunya. Aku menuruti, kurenggangkan kedua pahaku dan mendorongnya keluar. Kubiarkan dia melewati lorong sempitku demi mendengar tangis pertama yang memekakkan telinga. Suaranya kencang sekali seperti guntur yang membelah langit di siang hari.

Tugasku selesai. Sebentar lagi, orang-orang dari desa sebelah akan berdatangan untuk menolong warga desa, mereka juga akan mendengar suara bayiku. Aku ingat rencanaku untuk bunuh diri. Maka, aku mulai memanjat pohon. Sesuai rencana, kuikat selendang di dahan dan melilitkannya di leher. Dalam satu sentakan, selendang awan mencekikku yang bergelantungan dengan kaki mengejang hebat.

Perlahan napasku habis, nyawaku ingin melepaskan diri. Mulai dari ujung kaki, kurasakan nyawaku menghilang dan merambat naik ke atas. Pada detik-detik terakhir, kulihat Ibu tersenyum padaku. Warna bajunya sama dengan warna selendang awan.

“Tugas Ibu selesai untuk menjagamu, Nak.”

Aku tak mengerti arti ucapannya. Mungkinkah dia adalah selendang awanku? Aku ingat kata-kata Ayah saat memberikan selendang itu. Selendang awan akan melindungiku, seperti Ibu yang melindungiku dalam kandungnnya sebelum dia meninggal karena melahirkanku.

“Sekarang, giliranmu menjaga anakmu.”

Nyawaku tersedot menuju selendang yang membelitku. Warnanya mulai berubah, dari biru muda menjadi warna merah darah.

Kini tubuhku terbujur lemah tergantung di dahan pohon kelengkeng dengan mata terbelalak dan lidah terjulur. Namun, aku masih hidup; hidup dalam selendang merah untuk menjaga anakku. Sekarang aku paham, kenapa seorang gadis tak bisa menjadi pawang hujan. Dengan sebuah selendang awan saja aku bisa memorak-perandakan desa karena amarahku, lalu bagaimana jika aku bisa berbicara dan mengendalikan awan? Semoga kelak, anak perempuanku akan lebih bijak dalam hidupnya.

Kudekap tubuh mungilnya agar hangat. Tak berapa lama, orang-orang dari desa sebelah berdatangan dan menemukan seorang bayi berselimut selendang awan merah.