Selasa, 29 Oktober 2024
MONOKROM
Jumat, 04 Oktober 2024
JODOH
Satu kata tentang
ayahku: kolot. Bagaimana bisa beliau secara sepihak menjodohkanku, putri semata
wayangnya, dengan seorang sepupu? Ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya.
“Memangnya
kenapa? Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini,” ucap Mas Adi, sepupu yang
dijodohkan denganku, tiap kali aku menentang perjodohan dengannya.
Tentu saja
masalah! Beda usia kami lebih dari sepuluh tahun. Tepatnya tiga belas tahun
empat bulan. Bayangkan, Mas Adi sudah menginjak usia remaja ketika aku baru
lahir. Dan juga bayangkan misal kami menikah, dia sudah menjadi om-om,
sedangkan aku baru menginjak usia matang. Astagah, apa kata dunia? Aku
benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan Ayah menjodohkanku dengan
sepupuku itu.
“Banyak, kok,
yang beda usianya lebih jauh dari kita. Lagipula, kita sudah saling kenal sejak
kecil, bahkan sejak kau masih orok. Aku bahkan pernah memandikanmu ketika kau
masih kecil.”
Kalimat terakhir sukses membuat wajahku
terbakar saking malu. Baiklah, aku akui kami memang dekatnya sejak kecil karena
aku selalu dititipkan di rumahnya. Aku tidak punya ibu sejak lahir karena ibuku
meninggal sesaat setelah melahirkanku. Dan solusi terbaik untukku—yang
mempunyai ayah yang sibuk bekerja—adalah menitipkanku pada keluarga Mas Adi,
maka sejak kecil aku sudah seperti adiknya sendiri, lalu gagasan tentang
perjodohan konyol ini disambut baik oleh segenap keluarga. Mas Adi dengan
senang hati menyetujuinya, sedangkan aku nyaris pingsan.
Aku mengetahui
perjodohan ini ketika usia lima belas. Tepatnya ketika aku baru duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas. Rasanya seperti ada bola bekel yang menyangkut di
tenggorokanku ketika Ayah menyampaikan hal itu. Kau hanya akan menikah dengan
Mas Adi, kata Ayah.
Usiaku baru lima
belas, duniaku masih panjang dan gagasan tentang perjodohan dengan sepupu
sendiri yang sudah seperti kakak kandung adalah kekonyolan terbesar. Aku
menolak mentah-mentah gagasan yang telah diamini oleh Mas Adi dan segenap
keluarga. Kalau diibaratkan sebagai bunga, aku ini baru mekar, dan banyak
kumbang yang ingin mendekat. Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, tentu
ingin merasakan jatuh cinta, pacaran dengan seorang yang membuat jantungku
berdebar-debar. Itu hal wajar, yang tidak wajar adalah menikah dengan om-om.
“Kita tidak akan
menikah hari ini atau besok. Aku juga tidak mau menikah dengan anak di bawah
umur.”
Ucapan Mas Adi
benar-benar menohok, tapi lagi-lagi aku akui itu benar. Maka yang bisa aku
lakukan hanya tertunduk malu dan memikirkan bagaimana cara agar aku terbebas
dari perjodohan ini.
“Kau ingin
pacaran, silakan. Kau ingin menikmati usia remajamu, silakan. Tapi jika
waktunya sudah tiba kita akan menikah.”
“Itu artinya kau
sudah mengikatku dengan rantai, memberi kebebasan palsu.”
Tidakkah mereka
berpikir bahwa itu menyakitkan? Perjodohan, entah untuk alasan yang baik ataupun
dengan seseorang yang terbaik tetaplah sesuatu yang mengikat kebebasan. Aku
tahu Mas Adi mungkin terbaik untukku, dia punya segalanya sebagai seorang
suami. Aku akui dia tampan—banyak teman-teman yang minta dikenalkan denganya—dan
punya pekerjaan yang mapan. Tampan dan mapan adalah kombinasi sempurna dari
seorang laki-laki. Namun, bukankah hidup juga butuh cinta? Dan aku tidak
memilikinya untuk sepupuku itu.
“Begini saja,”
katanya, “jika sampai di usiamu yang kedua puluh lima aku belum berhasil
membuatmu jatuh cinta padaku, kau boleh menikah dengan laki-laki pilihanmu.”
Sejujurnya aku
tidak paham mengapa Mas Adi setuju dijodohkan denganku—terlepas dari kami dekat
sejak kecil. Aku yakin dengan wajah dan kemapanannya itu dia bisa mendapat
wanita yang jauh lebih baik dariku, setidaknya seorang wanita matang, bukan bocah
ingusan sepertiku. Atau mungkin dia memang sudah mencintaiku sejak kecil?
Ah, mana ada yang seperti itu, maka sejak itu aku bebaskan diriku
untuk menikmati masa remaja; mengenal lebih banyak orang, jatuh cinta, dan
pacaran layaknya remaja pada umumnya. Ayah tentu saja kebakaran jenggot
mengetahui aku pacaran dengan orang lain. Tapi aku bilang padanya bahwa aku
sudah mendapat izin dari Mas Adi.
“Mas Adi yang
bilang aku boleh menikmati masa remajaku, termasuk pacaran.”
Ayah tidak bisa
berkata apa-apa lagi ketika Mas Adi membenarkan ucapanku. Malam itu entah
setelahnya mereka membicarakan apa, aku disuruh masuk kamar dan tidak boleh
keluar sampai besok pagi. Mungkin Mas Adi sedang bernegosisasi tentang hidupku.
Malang nian nasibku.
Aku hitung
setidaknya aku pacaran sampai dua puluh kali ketika SMA dan tidak ada yang
berjalan mulus. Para pemuda itu cepat bosan dan hobi sekali selingkuh dengan
temanku sendiri. Dan setiap kali ini terjadi, Mas Adi hanya menertawakanku.
“Pacaran itu
hanya untuk orang-orang yang bernyali besar, bukan untuk anak cengeng
sepertimu.” Puas dia menertawakanku.
Aku tidak peduli.
Lulus SMA aku kuliah di luar kota yang membuat Ayah uring-uringan dan menyuruh
Mas Adi mengawasiku. Sepupuku itu tentu saja dengan senang hati mengikutiku.
Katanya demi menjagaku, calon istrinya. Lagi-lagi aku tidak peduli. Ketika
kuliah pun aku menjadi hubungan dengan beberapa laki-laki, meski tidak pernah
bertahan lama. Agaknya laki-laki memang jenis manusia yang cepat bosan. Namun,
saat semester akhir kuliahku, aku menjalin seorang laki-laki dari pulau
seberang. Dia baik, humoris, anak band, tampan—tak kalah dengan Mas Adi—dan
yang terpenting dia seumuran denganku. Hingga lulus kuliah dan bekerja aku masih
menjalin hubungan dengannya.
Aku yakin dia
adalah jodohku, apalagi sebentar lagi usiaku dua lima. Aku sudah membayangkan
menikah dengannya. Kami akan tinggal di rumah keluargaku yang sepi dan kami
akan punya anak satu atau dua. Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa
aku tidak harus menikah dengan Mas Adi. Bukankah dia sudah janji untuk
melepasku jika dia tidak bisa membuatku jatuh cinta sampai usia dua lima?
Memang ada
kalanya kita memimpikan sesuatu dan menurut kita itu sangat mudah diwujudkan.
Namun, agaknya takdir juga suka sekali memuat hancur hati seseorang. Aku nyaris
gila ketika pacarku bilang harus pulang kampung untuk menikah dengan seorang
sepupu.
“Kami sudah
dijodohkan,” katanya.
Aku berkeras
hati, kukatakan padanya bahwa aku juga sudah dijodohkan tapi sekarang aku hanya
untuk dirinya. Aku juga menawarkan agar kami kawin lari saja dan kabur ke pulau
lain. Tapi pacarku menolak. Dia masih sayang pada kebuh cengkeh dan pala
daripada harus dicoret dari daftar keluarga karena memilih menikah denganku.
Sejak itu aku
hanya mengurung diri di kamar. Bayangan tentang pernikahan dan rumah tangga
dengan pacarku hancur sudah. Kebun cengkeh lebih berharga dibanding aku yang
mencintainya sepenuh hati.
Mas Adi yang biasanya
menertawakanku habis-habisan kali ini hanya diam. Mungkin dia sudah lelah
menertawakanku atau aku terlalu menyedihkan untuk ditertawakan. Dia hanya
sekali waktu menjengukku, memastikan aku tetap makan meski sedikit. Kadang aku
berharap dia menemaniku lebih lama agar aku tahu aku tidak sendirian. Di saat
seperti ini siapa pun pasti butuh seseorang untuk tempat bersandar.
“Aku selalu di
sini, tidak pergi ke mana-mana,” katanya ketika aku bilang dia mulai
mengabaikanku padahal Ayah mempercayakanku padanya. “Justru kau terus menerus
lari entah ke mana.”
Kapan aku lari?
Aku hanya menikmati hidupku seperti yang dia katakan ketika usiaku lima belas.
“Aku tidak akan
pernah bisa membuatmu jatuh cinta jika kau terus menutup hati.”
Kadang aku juga
berpikir kenapa aku tidak berusaha menerima Mas Adi saja dan justru sibuk
mencari seorang kekasih yang aku harapkan menjadi jodohku. Mas Adi telah begitu
setia di sisiku entah untuk alasan apa pun; entah sebagai kakak, calon suami,
sepupu, atau jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku. Dia bersedia menungguku
bahkan melihatku jatuh cinta dengan laki-laki lain berulang kali. Mendadak aku
berpikir apakah di balik tawanya ketika menertawakanku yang ditinggal pacar
juga terdapat kecemburuan, amarah, dan kesedihan? Yang pasti lagi-lagi dia
selalu ada di sisiku setiap kali itu terjadi dan harusnya itu sudah cukup
bagiku untuk jatuh cinta.
“Hanya saja aneh
bagiku menganggapmu yang sudah seperti kakakku sendiri sebagai calon suami.”
Mas Adi hanya
tersenyum kemudian tertawa mendengarku. Dan dari tawanya itu aku tahu bahwa dia
akan tetap di sisiku. Aku menyadari bahwa aku terlalu angkuh selama ini;
menganggap berbedaan usia kami sebagai sesuatu yang tabu. Padahal Tuhan telah
menunjukkan dengan amat jelas siapa jodohku ketika Mas Adi tertawa, tersenyum
dan bicara padaku.
“Apa ini yang
namanya jodoh?”
Sekali lagi Mas
Adi tertawa sebelum mengangguk kemudian memelukku. Ah, sepertinya dia berhasil
mencuri hatiku.
Jumat, 13 September 2024
Perkara Kawin
Kali ini Aji yakin bahwa Tuhan pasti sedang kesal
ketika menciptakan makhluk bernama perempuan. Lima tahun lamanya Aji pacaran
dengan Sarmila yang kini menjadi istrinya. Bagi Aji, tidak ada perempuan lain
sebaik istrinya itu. Sarmila lemah lembut, murah senyum dan jago memasak.
Masakan andalan Sarmila—yang juga menjadi makanan favorit Aji—adalah bandeng
kuah kuning dengan potongan belimbing wuluh yang banyak. Itu adalah masakan
paling juara bagi Aji! Namun, sejak seminggu yang lalu, di tiga minggu usia
pernikahan mereka, Sarmila mulai berubah. Sarmila sering marah-marah tidak
jelas, padahal dulu saat masih pacaran, jangankan marah-marah, merajuk saja
tidak pernah Sarmila lakukan.
Kata teman-teman Aji, itu hal biasa, wajar; setelah
menikah sifat asli dari pasangan akan mulai terlihat. Namun, Aji tidak percaya.
Istrinya itu bukan seorang perempuan yang hobi marah-marah. Dia mengenal
Sarmila dengan baik.
“Kami pacaran lima tahun lamanya,” gumam Aji tak
percaya kalau sifat asli istrinya adalah perempuan yang hobi marah-marah.
Kali pertama marah—atau lebih tepatnya mulai
berubah—Aji pikir istrinya itu sedang datang bulan. Aji bisa memaklumi hal itu.
Perempuan memang akan uring-uringan kalau sedang datang bulan, katanya. Akan
tetapi, ternyata Sarmila tidak sedang datang bulan.
“Apa jangan-jangan istrimu sedang hamil?” kata Yu
Midah, penjual toko kelontong depan gang. “Kalau perempuan sedang di awal
kehamilan memang sering marah-marah.”
“Kami baru menikah tiga minggu yang lalu, Yu.”
“Memang tidak boleh baru nikah tiga minggu langsung
hamil?”
Meski Aji berharap segera memiliki anak, tapi
sepertinya itu bukan alasan Sarmila berubah sikap padanya. Lagipula, Aji tidak
pernah melihat Sarmila mual-mual atau muntah-muntah di pagi hari seperti yang
biasanya terjadi pada perempuan yang hamil muda. Samila tidak sedang hamil,
kukuhnya dalam hati.
Tadi pagi, ketika Aji mengeluh tentang cucian yang
tidak kering, Sarmila naik pitam. Perempuan dengan rambut kemerahan itu berkata
bahwa dia tidak bisa memaksa matahari di atas sana untuk bersinar siang malam
24 jam, jadi bukan salahnya kalau cucian itu tidak kering! Aji terheran-heran.
Dia hanya bertanya karena tidak bisa memakai kaus kesukaannya, tapi Sarmila
menanggapinya dengan emosi seolah-olah Aji ketahuan selingkuh dengan anak Yu Midah
yang seksi.
Ketika Aji bertanya kenapa Sarmila sekarang hobi
sekali marah-marah, bukannya sadar diri dan minta maaf pada suami, Sarmila makin
melunjak.
“Tidak bisakah seorang laki-laki cukup berpikir bahwa
ketika seorang perempuan marah-marah tidak jelas adalah sebuah bentuk kewajaran
dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang
bulan?”
Mulut Aji sampai menganga mendengar jawaban istrinya. Sebuah
bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu
tidak sedang datang bulan? Maka pada detik itu Aji yakin Tuhan pasti sedang
kesal ketika menciptakan perempuan, khususnya ketika menciptakan Sarmila.
Puas marah-marah, Sarmila pergi meninggalkan Aji yang
masih terbengong-bengong. Laki-laki yang baru memasukki usia tiga puluh itu
bahkan tak sempat bertanya hendak ke mana istrinya itu karena sibuk memikirkan
perubahan sikap istrinya.
Kata ayah Aji, seorang laki-laki harus sabar
menghadapi perempuan.
“Perempuan itu selalu benar meski dia melakukan
kesalahan. Jadi kau harus sabar. Ingat, seperti kata peribahasa; diam adalah
emas. Dan lapangkan hatimu seluas samudra.”
Aji tidak tahu seberapa luas samudra, yang itu artinya
dia harus memiliki kesabaran yang tidak terhingga untuk menghadapi Sarmila. Dan
itu juga artinya dia harus bersiap jika Sarmila mengakatan hal tidak masuk akal
seperti tadi pagi.
Sarmila tiba di rumah ketika Aji sedang sibuk dengan
pekerjaannya mencetak pesanan undangan. Sarmila mengucapkan salam dan Aji
bertanya dari mana yang langsung dijawab dengan bentakan.
“Kenapa bertanya seperti itu? Kau curiga padaku?”
Kembali Aji terheran-heran dengan jawaban Sarmila.
Karena Aji sudah tahu tentang peribahasa diam adalah emas, dia memilih diam dan
menyuruh istrinya masuk untuk menyiapkan makan malam.
“Tanpa kau suruh juga aku akan melakukannya. Memangnya
kalau bukan aku yang menyiapkannya, kau yang akan melakukannya menggantikanku?
Tidak, kan?”
Tangan Aji sedikit gemetar menahan emosi. Namun, dia
ingat nasihat ayahnya tadi sore.
***
Sejak subuh tadi, Sarmila sudah bangun dan
meninggalkan tempat tidur. Dia mandi, membuat sarapan di dapur, dan membereskan
rumah kecil mereka yang sudah seperti kapal pecah karena pekerjaan Aji menerima
pesanan cetak undangan, mulai dari undangan pernikahan sampai undangan khitanan.
Sebenarnya Aji ingin memiliki sebuah tempat berupa kios untuk mengembangkan
usaha percetakannya dengan mesin cetak yang lebih besar sehingga bisa menerima pesanan
kalender dan spanduk serta
mempekerjakan beberapa karyawan. Itu impian Aji yang terus diusahakan karena
untuk membuat sebuah percetakan membutuhkan modal yang besar.
Aji bangun ketika sinar matahari yang menerobos tirai
jendela mencapai wajahnya. Dengan gumaman serak dia bangkit, tersaruk-saruk
berjalan menemui Sarmila yang sedang menyapu halaman.
“Kau sudah bangun, Sayang?”
Serta-merta Sarmila menjawab, “Tentu saja aku sudah
bangun, memangnya kau, Pemalas. Matahari bahkan sudah lelah menggantung di
angkasa dan kau baru membuka mata.”
Aji ingat, seminggu yang lalu, ketika bangun di pagi
hari, Sarmila akan menyambutnya dengan kata cinta. Selamat pagi, Sayang,
katanya. Juga dengan sebuah kecupan manis di pipi. Pagi hari adalah waktu yang
tepat untuk bermesraan. Namun, sekarang, jangannya kecupan manis di pipi,
bentakan yang dia terima alih-alih sapaan sayang.
“Sarmila,” panggil Aji, “Abang mau ngomong bentar. Serius.”
Dengan hembusan napas yang kuat, Sarmila menghentikan
kegiatannya menyapu halaman, dilemparnya sapu tidak berdosa itu ke bawah pohon
kelengkeng kemudian ikut masuk ke rumah.
“Kau sebenarnya kenapa?”
Sarmila tidak menjawab.
“Lihat, kau tidak mau menjawab. Bagaimana aku tahu
salahku di mana kalau kau terus diam seperti ini?”
“Tidak apa-apa.”
Selanjutnya Aji terus bertanya dengan banyak kata
kenapa dan selalu dijawab tidak apa-apa. Aji ingat, hubungan yang baik dibentuk
dari komunikasi yang baik pula. Namun, bagaimana dia bisa berkomunikasi dengan
baik jika setiap kali ditanya kenapa
Sarmila justru menjawab tidak apa-apa.
Aji rupanya mulai kehabisan kesabaran. Dengan langkah
cepat dia masuk kamar, mengambil sesuatu di laci nakas dan memberikannya pada Sarmila.
“Kemarin Abang dapat uang muka dari pelanggan yang
pesan undangan, pergilah ke pasar atau mal
dan beli sesuatu yang kau suka.”
“Abang pikir aku ini istri mata duitan?”
“Sudah, Mila, kau bersenang-senang saja. Kau pasti lelah
beberapa hari ini. Belilah baju atau sepatu yang kau mau.”
Sarmila diam untuk beberapa lama sambil memandangi segulung
uang berwarna biru dan merah di telapak tangannya.
“Ya sudah, Mila siap-siap dulu. Dan juga, cepat
selesaikan pesanan undangan itu.” Sarmila menunjuk tumpukan undangan yang
semalam tadi dicetak Aji.
“Iya, hari ini selesai langsung Abang kirim ke
orangnya. Kau sarapan dulu sebelum pergi. Abang mau mandi terus lanjut cetak
undangan biar cepat selesai.”
Sarmila mengangguk kemudian beranjak ke kamar untuk
ganti baju dan berdandan. Ketika Aji selesai mandi, Sarmila muncul dengan
senyum semringah dan baju bagus siap untuk berbelanja dengan uang pemberian Aji.
“Mila berangkat dulu, Bang. Nanti Mila belikan bakso
favorit Abang,” kata Sarmila sembari mencium tangan Aji untuk pamit.
Aji hanya geleng-geleng melihat sikap Sarmila yang
tiba-tiba jadi lembut kembali. Sepeninggalan Sarmila, Aji kembali sibuk dengan
mesin printer untuk mencetak pesanan undangan yang hari ini harus selesai. Di
tengah kesibukannya mencetak undangan, Aji terus bertanya-tanya apa sebenarnya
yang membuat Sarmila marah-marah tidak jelas beberapa hari ini. Namun, dia tidak
juga memperoleh titik terang, hingga satu nama yang tercetak di undangan
membuat kening Aji mengkerut.
Dia sedikit ingat tentang nama mempelai laki-laki yang
ada di undangan buatannya. Nama yang dulu sering Sarmila sebut-sebut sebelum
mereka dekat kemudian berpacaran. Dan nama mempelai laki-laki itu adalah sama
dengan nama mantan pacar Sarmila.
“Pantas saja!” gumam Aji.
Sabtu, 10 Agustus 2024
Dari Teluk Terima kepada Dewa-Dewa
Langit berubah
menjadi kelam dan bumi terguncang, saat itu pula istrimu, Ni Layonsari, tahu
bahwa sesuatu telah terjadi padamu. Perempuan yang baru tujuh hari kau
persunting itu telah lama mendapat firasat buruk tentangmu.
“Linuh,
linuh!”1 Orang-orang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi.
Namun, tidak dengan istrimu. Ni Layonsari menatap langit kelam dengan guntur
bersahut-sahutan, meratap pada Dewata. Harusnya ia melarangmu pergi
melaksanakan titah raja. Mimpinya beberapa malam yang lalu adalah peringatan.
Banjir bandang itu
terasa begitu nyata di dalam mimpi istrimu. Air bah yang entah datang dari mana
itu menyeret rumah kalian sebagai pertanda buruk. Namun, kau adalah seorang
abdi yang begitu setia, apapun perintah Raja Kalianget.
“Aku harus pergi
melaksanakan perintah raja,” begitu katamu.
“Aku yakin
mimpiku semalam adalah pertanda buruk. Bisakah kau urungkan keberangkatanmu?
Raja pasti akan mengerti.”
Namun, kau
bukanlah orang yang akan menolak perintah Raja Kalianget. Kau akan tetap
melaksanakan perintahnya seolah itu adalah perintah Dewata.
“Aku pasti akan
kembali.”
Bagimu, Raja
Kalianget bukan hanya sekadar penguasa. Ia adalah sosok ayah yang memberimu
sandang dan pangan ketika seluruh keluargamu dilahap wabah. Kau sebatang kara
ketika Raja Kalianget membawamu ke istana dan menjadikanmu anak angkatnya. Raja
Kalianget mengajarimu menggunakan panah, keris dan tombak. Raja Kalianget mengajarimu
membaca dan menulis; menjadikanmu abdi kerajaan kesayangannya. Bagimu Raja
Kalianget adalah sosok dewa di dunia.
Suatu hari Raja Kalianget
memerintahkanmu untuk memilih salah satu dayangnya untuk kau ambil sebagai
istri. Bagimu, itu adalah hal lancang karena dayang istana adalah milik raja,
maka kau memohon agar diperbolehkan mencari gadis di luar istana. Raja
Kalianget setuju, maka berangkatlah kau menuju pasar di pagi hari; mengamati
gadis-gadis di keramaian pasar.
Satu gadis
dengan mata bening dan wajah ayu itu mencuri hatimu. Kau mengamati gadis itu.
Lemah gemulai gerakannya, lembut dan santun tutur katanya, hingga tatapan
kalian bertemu. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang malu-malu. Siapa gerangan
gadis itu? Kau bertanya-tanya pada orang di pasar.
“Ia anak gadis
Jero Bendesa2,” tutur seorang warga.
Dengan hati
berbunga kau menghadap Raja Kalianget. “Hamba telah menemukan gadis pujaan hati
hamba, jika raja berkenan hamba ingin menikahinya.”
“Siapa gerangan
gadis itu?”
“Ia putri Jero Bendesa.
Ni Layonsari namanya.”
Berbekal surat
dari Raja Kalianget, kau datang ke rumah Jero Bendesa untuk melamar gadis
pujaanmu. Siapa pula yang tidak mengenalmu. Kau adalah abdi kerajaan kesayangan
raja, pemuda gagah dengan tutur kata yang santu. Kau pun tahu, lewat senyum
malu-malu di wajah ayu itu, Ni Layonsari pun telah menaruh hati padamu. Jero
Bendesa setuju putrinya kau pinang.
Tepat di hari
Selasa Legi Wuku Kuningan, Raja Kalianget menggelar upacara pernikahanmu. Anak
angkat raja, abdi kerajaan kesayangan raja akan melepas masa lajangnya,
begitulah Raja Kalianget ingin sebuah upacara pernikahan yang meriah untukmu.
Namun, ketika kau dan Ni Layonsari menghadap untuk memberi hormat, Raja
Kalianget terdiam menatap istrimu.
Kau tahu itu
bukan tatapan seorang ayah yang bahagia melihat menantu perempuannya. Bukan.
Kau juga tahu itu bukan tatapan seorang raja pada istri abdinya. Bukan. Tatapan
itu seperti tatapan seekor harimau kala melihat rusa betina.
Dengan hati
gundah kau pulang selepas acara perjamuan kerajaan bersama istrimu. Tak ingin
memikirkan arti tatapan raja pada Ni Layonsari. Mungkin saja aku salah, ucapmu.
Tujuh hari
setelah pernikahanmu dengan Ni Layonsari, Patih Saunggali datang memberi kabar.
Raja Kalianget memerintahkanmu untuk pergi ke Teluk Terima.
“Perahu-perahu
di sana telah dihancurkan dan orang-orang Bajo dengan sesuka hati berburu
menjangan. Kita tidak bisa membiarkan hal ini.”
Sejujurnya kau
tidak ingin pergi. Bagaimana mungkin kau meninggalkan istri yang baru sepekan
kau nikahi? Kau juga ingat mimpi Ni Layonsari semalam. Sebuah banjir bandang
menghanyutkan rumah kalian. Oh, Dewata, pertanda buruk apakah itu? Kau gusar.
Ni Layonsari pun tidak ingin kau pergi. Ia cemas. Namun, kau pun tidak bisa
menolak perintah raja.
Dengan janji
bahwa kau akan kembali, pada akhirnya kau berangkat bersama Patih Saunggali ke
Teluk Terima. Ada kegusaran yang terus mengusik batinmu. Entah mengapa, kau
tahu bahwa kau mungkin tidak akan pernah kembali pada Ni Layonsari. Kau akan
mati di Teluk Terima, begitu yang firasatmu terus menghantui pada setiap
langkah.
“I Jayaprana,
kau pasti sudah berfirasat. Ini adalah titah Raja Kalianget, maka kau harus
menerimanya.” Patih Saunggali menyodorkan sepucuk surat.
Tumpah sudah air
matamu. Raja Kalianget ingin kau mati. Kau telah melewati batasmu dengan
menikahi Ni Layonsari yang jelita yang harusnya menjadi istri raja, begitu isi
surat itu. Amarah dalam dadamu membuncah. Pernikahanmu dengan Ni Layonsari
adalah perintah Raja Kalianget, lalu mengapa raja pula yang menginginkan istrimu?
Di satu sisi kau ingat semua kebaikan yang telah Raja Kalianget berikan padamu.
Kehidupan, martabat, keluarga, semua telah ia berikah padamu. Hidupmu memang
telah sepatutnya kau serahkan pada Raja Kalianget.
Kau tersedu;
memohon pada Dewata. Kau teringat pada istrimu yang jelita; ia menunggumu di
rumah. Tak mengapa, kau mengerti. Raja pun pasti akan memberikan kehidupan yang
baik pada istrimu seperti pula ia memberikan kehidupan padamu sejak kanak dulu.
Kau pasrah. Kau
serahkan kerismu pada Patih Saunggali. “Bunuhlah aku, Paman. Katakan pada Raja
Kalianget, aku adalah abdi setianya.”
Kau ambruk dalam
dekapan Patih Saunggali setelah keris itu menembus lambung kirimu. Air matamu
membasahi pundaknya sebelum kau benar-benar tewas.
“Aku hanya melaksanakan
perintah raja, aku hanya melaksanakan perintah raja,” berulang kali Patih
Saunggali mengatakan hal itu.
Darah yang
mengucur dari tubuhmu menguarkan harum semerbak cendana. Langit cerah di atas
sana kini berubah kelam. Bumi terguncang seakan murka pada apa yang terjadi
padamu. Angin bergulung-gulung merusak apa pun yang dilewati dan bunga-bunga
berguguran seakan bersedih untukmu.
“Oh, Dewata,
inikah murkamu?” Patih Saunggali kebingungan. Ia ingat selepas upacara pernikahanmu
dan Ni Layonsari, Raja Kalianget gusar. Raja menginginkan Ni Layonsari untuk
dirinya sendiri. Dan Patih Saunggali menginginkan kepercayaan yang Raja
Kalianget berikan padamu. Ia ingin menjadi abdi setia kesayangan Raja Kalianget.
Utuslah I
Jayaprana ke Teluk Terima. Hamba yang akan mengurus sisanya, begitu usul Patih
Saunggali. Raja Kalianget setuju. Setelah kau tewas, ia akan memboyong Ni
Layonsari ke istana untuk dijadikan istri.
“I Jayaprana
telah tewas demi menyelamatkan negeri dari orang-orang Bajo. Ia adalah pahlawan
bagi negeri kita.”
Istrimu tertawa
mendengar penuturan Raja Kalianget. Siapa yang akan percaya bahwa kau tewas
karena orang-orang Bajo? Ni Layonsari jelas ingat tatapan Raja Kalianget
padanya kala kau dan dirinya memberikan penghormatan setelah upacara
pernikahan. Ni Layonsari tahu Raja Kalianget menaruh iri pada anak angkatnya.
Raja yang begitu diagungkan olehmu tak lebih dari seorang laki-laki yang
mengingkan apa yang bukan menjadi miliknya.
Ni Layonsari
bukanlah perempuan bodoh. Ia tahu kematianmu adalah akal-akalan Raja Kalianget.
Orang-orang Bajo yang berburu menjangan dan merusak perahu di Teluk Terima
hanyalah alasan.
Istrimu hanya
tertawa ketika ditawari gelar, kedudukan dan harta sebagai istri Raja Kalianget.
Baginya hanya ada dirimu, I Jayaprana, suami yang meninggalkannya demi
pengabdian terhadap raja yang adigungkan melebihi Dewata.
Ni Layonsari
murka. Ia memilih mengikuti kematianmu dengan menikam dadanya sendiri dengan
keris. Hina baginya menjadi istri Raja Kalianget setelah kepergianmu. Dalam doa
yang abadi kepada dewa-dewa, Ni Layonsari bermunajat agar ia bisa bersatu
denganmu di nirwana. Dunia begitu fana untuk kalian berdua. Kelak, di suatu
masa yang jauh, tempat di mana kau bersemayam adalah larangan bagi suami istri
untuk berjalan bersama. Alam telah memberikan penghormat bagi kau dan Ni
Layonsari.
Catatan:
[1] Linuh: gempa
[2] Jero
Bendesa: Kepala Desa Adat
Kamis, 08 Agustus 2024
Kutang Mei
Kau selalu menempel pada Mei. Kalian benar-benar tak
terpisahkan. Itulah sebabnya para pemuda menatap iri padamu. Setiap pagi,
ketika kau berada di halaman samping rumah dan Mei sedang bersolek di kamarnya,
para pemuda misuh-misuh padamu dan sebagian lagi berharap berada di posisimu
agar bisa dekat dengan Mei.
“Andai aku bisa menjadi seperti dirinya
dan hidup bersama Mei.”
“Mati pun aku bersedia asal bisa menjadi
seperti dirinya dan menjadi bagian dalam hidup Mei.”
Jika diibaratkan sebagai sebuah mahakarya,
Mei adalah sebuah patung pualam yang dibuat dengan teknik tingkat tinggi.
Setiap lekuk tubuhnya dibentuk dengan cinta. Mei adalah perpaduan yang sempurna
antara Elvy Sukaesih dan Dian Sastro. Konon, kau telah memberikan rasa percaya
diri yang begitu besar pada Mei. Kalau sekarang Mei dengan anggun melenggak-lenggok di
sepanjang jalanan kampung untuk dikagumi semua orang, itu karena dirimu.
Tersebab itulah kalian menjadi dekat. Mei tak bisa hidup tanpamu.
Namun, pagi ini, kampung digemparkan oleh
berita hilangnya dirimu dari hidup Mei.
“Dia hilang!” teriaknya frustrasi.
“Terakhir aku lihat dia masih di halaman samping, tapi sekarang dia hilang.”
Seorang pemuda atau mungkin beberapa
pemuda yang jatuh hati Mei dan iri padamu pasti telah menculikmu. Mei bergidik
ngeri membayangkan apa yang telah menimpa dirimu. Dia mulai histeris meski Bram
telah berusaha menenangkannya.
“Dia pasti berada di suatu tempat! Kita
harus meminta bantuan polisi atau dukun sakti untuk menemukannya.”
“Ini berlebihan, Mei.”
“Tak ada yang berlebihan di sini. Kita
harus mencarinya!” tandas Mei tak mau mendengar ucapan kekasihnya.
Bram jelas bingung. Bagaimana Mei bisa
memintanya untuk melaporkan kejadian ini pada polisi? Apa yang harus dia
katakan pada mereka? Dan apakah kasus seperti ini bisa diproses? Bram berpikir
apa dia cukup membuat selebaran saja tentang hilangnya dirimu dan memberi
imbalan pada siapa pun yang menemukannya? Namun, itu sama memalukannya
dengan berjalan tanpa busana sepanjang jalan. Maka keputusan yang dia ambil
adalah diam-diam tak melaporkannya pada polisi atau meminta bantuan pada dukun
sakti.
“Satu dua hari lagi juga Mei akan
melupakannya.”
Nyatanya Bram salah. Mei menjadi terpuruk
sejak hilangnya dirimu. Dia mengurung diri, tak mau keluar kamar. Dia juga menolak mandi
hingga cantik wajahnya memudar
dan badannya tak lagi harum. Dia kehilangan semangat hidup seperti
ketika bidadari Nawang Wulan kehilangan selendangnya.
“Kita bisa cari yang lain,” bujuk Bram
yang mulai kehabisan akal.
“Aku tak mau yang lain. Aku ini setia, tak
seperti dirimu.”
“Apakah harus sebegitu tragisnya kehilangan
kutang? Di pasar atau mall
banyak kutang merah muda seperti milikmu itu.”
“Kau lupa? Kalau bukan karena kutang merah
mudaku itu, kau mungkin tidak akan jatuh cinta padaku yang tidak memiliki
dada.”
“Aku tetap mencintaimu meski kau tak
memiliki dada, Mei.”
Mei tak peduli, dia hanya menginginkan
kutang merah mudanya, bukan kutang lain, apalagi yang dibeli di pasar atau mall.
Di sudut lain, di sebuah rumah petak, kau
bersama dengan orang lain.
“Tak percuma aku mencuri kutang merah muda milik Mei. Sekarang aku
tambah seksi, jadi nanti malam bisa magkal.”
Meski sama-sama tak memiliki dada, kau
pasti lebih memillih Mei daripada pencuri ini. Setidaknya Mei perempuan betulan, bukan perempuan jadi-jadian
yang suka mangkal di Gang Koboi
untuk menjajakan diri.
Bayi dan Bangau
Kau sedang
mencukur bulu kelamuanmu ketika Ben, suamimu, berteriak bahwa seekor bangau
tong-tong telah membawakan seorang bayi untuk kalian. Kau yang tengah sibuk
dengan kegiatanmu di kamar mandi hanya berdecak hingga Ben membuka kamar mandi
dan menunjukkan bayi merah itu ke hadapanmu.
“Seekor bangau
tong-tong yang membawakannya untuk kita! Ini pasti bayi dari surga yang Tuhan
kirim untuk kita, Sayang!”
Kau hanya
menatap bayi merah yang menggeliat di dalam gendongan Ben dengan tatapan tak
mengerti. Bayi dari surga? Bangau tong-tong? Suamimu pasti sudah mulai gila.
Ben selalu
menginginkan seorang bayi, terlebih setelah enam tahun pernikahan kalian.
Namun, sejak awal pernikahan kau tak pernah menginginkan kehadiran makhluk yang
harus lahir dari tubuhmu itu. Bayi hanya pembuat onar, begitu katamu, tapi Ben
tidak pernah menanggapi penolakanmu. Aku yang akan mengandung dan
melahirkannya, begitu katamu, tapi Ben tetap bersikukuh dengan mengatakan bahwa
sudah sewajarnya dalam sebuah pernikahan lahir seorang anak, seorang penerus
keluarga. Lalu kalian bercinta malam harinya setelah sebelumnya kau menelan pil
yang akan mencegahmu bunting tanpa sepengetahuan Ben.
“Benar cerita
ibuku tentang bangau yang membawa bayi dari surga.” Ben terus berbicara tentang
bayi dan bangau.
Kembali kau
menatap bayi merah dalam gendongan Ben yang terus menggeliat membuatmu geli.
“Ben, kau tahu, bukan,
itu hanya cerita masa kecilmu? Seekor bangau tidak mungkin membawa bayi apalagi
dari surga.”
“Tapi bayi ini
benar-benar dibawa oleh seekor bangau barusan. Bangau itu melemparkannya tepat
ke arahku. Tuhan telah menjawab doa kita, Sayang.”
Kau Kembali berdecak,
mungkin maksud Ben adalah doanya sendiri karena kau tidak pernah berdoa meminta
seorang anak. Anak—khususnya bayi—hanyalah sumber keonaran dalam sebuah rumah.
Dan kau yang menyukai keteraturan tidak mengharapkan kehadirannya.
Ben tidak peduli
dengan kekesalanmu. Suamimu terlalu senang dengan kehadiran bayi—yang dia sebut
hadiah dari surga—di gendongannya. Dia membawa bayi itu ke kamar kalian sambil
berseloroh tentang nama yang cocok untuk bayi itu.
“Bagaimana kalau
Lisa? Nama itu sangat populer beberapa tahun ini. Atau bagaimana kalau Andin?
Nama itu sangat populer. Ah, tidak, nama anak kita haruslah spesial dan tidak
ada yang menyamai.”
Kau masih saja
diam ketika Ben meletakkan bayi itu ke ranjang kalian dan detik berikutnya bayi
itu mengompol disertai tangis yang memekakkan telinga. Keonaran pertama dalam
rumahmu karena kehadiran seorang bayi.
“Sayang, lakukan
sesuatu, bayi kita menangis.”
Kau hanya
menggeleng pelan tak menghiraukan kepanikan Ben. Kau bahkan tak tahu dari mana
sebenarnya bayi itu berasal. Seekor bangau tong-tong tidak mungkin membawanya
dari surga seperti yang Ben katakan. Itu hanya dongeng masa kecil.
Kau mulai
berpikir tentang teman sekantor Ben yang seksi yang terang-terangan menggoda
suamimu itu. Mungkin saja mereka telah bermain di belakangmu dan kini bayi
hasil hubungan gelap mereka dibawa ke rumah kalian; bangau tong-tong hanya
bualan Ben semata. Meski kau ragu dengan pikiranmu sendiri. Kau tahu Ben sangat
mencintaimu. Sangat. Dan kau tahu suamimu itu tidak akan pernah mengkhianatimu.
“Namanya Yara,
artinya kupu-kupu kecil. Cantik, bukan?” Ben masih saja sibuk memikirkan nama
bayi yang entah berasal dari mana itu, sedangkan kau, dalam otakmu penuh dengan
kemungkinan dari mana sebenarnya bayi itu berasal.
“Katakan, wanita
mana yang sudah kauhamili hingga bayi itu lahir?” Kau tak lagi bisa membendung
rasa penasaranmu; yang pasti seekor bangau tidak mungkin menjadi jawaban atas
hadirnya bayi yang sejak sore tadi hingga malam entah sudah menangis berapa puluh
kali. Kini bayi itu bersama seorang pengasuh yang secara mendadak harus kau
sewa karena kau tidak mau terus mendengar suara tangisannya apalagi mengganti
popoknya yang basah, sedangkan Ben yang sejak pernikahan kalian menginginkan
seorang bayi hanya bisa panik setiap kali bayi itu menangis atau mengompol.
“Wanita apa?
Hanya kau satu-satunya wanita yang aku punya.”
“Ben, seekor
bangau tidak mungkin membawa bayi itu dari surga, apalagi diberikan pada sebuah
keluarga. Itu hanya dongeng.” Kau memijit pelan pelipismu yang terasa pening.
Suamimu mengacak
rambutnya karena frustrasi, tapi kau jelas lebih frustrasi dalam hal ini.
Kehadiran bayi itu harus diluruskan. Katakanlah memang betul Ben telah bermain
di belakangmu dan kini dia membawa pulang bayi hasil perselingkuhannya, itu
lebih bisa kau terima; kau hanya harus memilih untuk melanjutkan atau
mengakhiri penikahan kalian. Tapi seekor bangau? Tidak, otak logismu tidak bisa
menerima itu.
“Tidak ada wanita
lain.”
Kau menatap mata
suamimu. Tidak ada kebohongan di sana. Kau telah mengenal suami lebih dari
setengah umurmu, dan kau tau Ben tidak akan pernah berbohong padamu.
“Apa kau tidak
melihat mata bayi kita? Matanya sangat mirip dengan matamu, Sayang. Bahkan
hidungnya pun sangat mirip denganmu. Bayi itu benar-benar dibawa oleh seekor ba—”
Kau menghalau
ucapan suami dengan mengibaskan tangan. Kepalamu sudah sangat pening untuk
kembali mendengar cerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga.
“Sayang, kenapa
mempermasalahkan asal usul bayi itu? Kalau kau tidak bisa percaya tentang
bangau yang membawa bayi itu dari surga untuk kita, bisakah kau cukup percaya
bahwa ini adalah anugerah yang Tuhan kirim untuk kita. Sebuah anugerah,
Sayang.”
Kau ingat
beberapa bulan lalu ketika Ben mengajakmu menemui dokter kandungan. Kami ingin
memiliki seorang anak, begitu kata Ben di hadapan dokter yang sangat terkenal
dan menjadi rujukan bagi pasangan yang ingin memiliki momongan. Dari gugup
suaranya dan gemetar tangannya kau tahu Ben sangat menginginkan seorang anak,
sedangkan kau selalu menolak untuk diajak berkonsultasi dengan dokter.
“Sayang, kenapa
tidak kita coba untuk merawat bayi itu? Mungkin saja ini kesempatan kita.”
Kau ingat
foto-foto bayi yang dipajang Ben untuk meluluhkan hatimu agar mau memulai
program hamil. Kau kembali menatap mata suamimu. Benar, mungkin sudah waktunya,
pikirmu, dan kau mengangguk perlahan.
Sejak itu kalian
berdua yang mengurus bayi yang kini bernama Yara. Di tengah malam, ketika Yara
terbangun karena haus atau karena popoknya basah sedangkan Ben sudah terbuai
dalam mimpi dengan dengkuran yang keras, kau menatap mata Yara. Bola mata yang
masih begitu bening dengan lingkaran hitam yang sangat pekat seperti mutiara
hitam.
Kau tersenyum
ketika bayi itu tertawa sambil berceloteh dalam bahasa yang tidak kau pahami.
Ada kehangatan yang memeluk hatimu kala melihat tingkah Yara. Jari-jari
mungilnya yang menggenggam jarimu seolah hanya kau tempatnya berlindung. Dan
kau tahu, kau telah jatuh cinta pada bayi dalam dekapanmu kini.
“Mama. Panggil
aku mama,” ucapmu
***
Kini hidupmu
adalah untuk Yara. Meski kau belum memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu, tapi
kau berusaha untuk membagi waktu. Kau telah jatuh cinta padanya, dan kau tidak
mau melewatkan satu saja momen tumbuh kembangnya. Ben tentu bahagia. Setiap
pagi dia selalu berujar bahwa ini sebuah keluarga yang selalu dia impikan;
dengan seorang istri yang cantik dan seorang anak yang ceria. Hidupnya telah
sempurna. Tak butuh waktu lama bagi Ben untuk membuat sebuah foto keluarga.
Foto berukuran besar itu dia pajang di ruang tamu seolah memamerkan pada siapa
pun yang datang ke rumah kalian.
Meski kau lelah
dengan rutinitas baru sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga, rasa
lelahmu seketika sirna melihat senyum Yara. Tak jarang setiap akhir
pekan—ketika Ben masih sibuk dengan proyek dan kerjaannya—kau mengajak Yara ke
taman kota atau sekedar berbelanja baju baru untuknya.
Kau ingat ketika
Ben berkata ingin seorang anak darimu. Kau juga ingat ketika Ben bilang hanya
kau wanita satu-satunya bagi Ben. Kau juga tak lupa kejadian di sore hari
ketika Ben bercerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga; bayi yang
kini duduk di sebelahmu dalam mobil. Kau ingat tak ada kebohongan dari mata Ben
saat itu, tapi ketika melihat suamimu kini tengah bermesraan dengan wanita lain
membuatmu pening. Kau ingat wanita itu adalah temen sekantor Ben yang
terang-terangan menggoda suamimu.
“Bangau yang
membawa bayi dari surga katanya?” Kau jelas tahu seorang bayi tak mungkin
dibawa dari surga oleh seekor bangau. Bayi lahir dari selangkangan seorang
wanita. Hanya itu.
Perempuan yang Berencana Mati Hari Ini
(Pertama kali tayang di Nominaidekarya.com edisi 28 Agustus 2023)
Aku sedang
bersiap dengan alat pancingku ketika melihat perempuan itu duduk sendirian di
antara bebatuan karang agak menjauh dari dermaga. Aku tak berniat mengganggunya
atau pun mengusik kegiatannya. Tempat ini adalah tempat di mana aku biasa
menghabiskan waktu dengan memancing dan perempuan itu bebas berada di sana
karena ini adalah tempat umum bagi siapa saja. Namun, ketika perempuan itu
mulai terisak—bercampur dengan deru ombak sehingga aku tidak begitu menyadari
sebelumnya—aku mulai menoleh padanya. Ada apa? Kenapa perempuan itu tiba-tiba
menangis? Aku menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapa pun selain
kami berdua di tempat ini. Orang-orang lebih memilih dermaga untuk memancing.
Dan aku tak yakin apakah aku harus menanyakan keadaan perempuan itu dalam
situasi seperti ini.
Tentu itu
sebetulnya bukan urusanku. Setiap orang punya urusannya sendiri-sendiri di
tempat ini, seperti aku yang hanya ingin memancing sebagai hobiku untuk mengisi
waktu luang di sore hari. Ketika aku mulai melempar umpanku yang pertama kali,
isakan dari perempuan itu semakin terdengar seolah dia ingin aku bertanya ada
apa; seolah ingin aku memperhatikannya.
Ah, itu bukan
urusanku, begitu kuyakinkan diri. Namun, ketika melihat wajahnya yang sembab
dan air mata yang menderas, aku teringat pada mendiang anak perempuanku; hatiku
luluh. Anggaplah perempuan itu memang sedang butuh kawan sekarang. Kutarik
pancingku sebelum melangkah pada perempuan itu.
“Kau juga suka
melihat ombak di sore hari?” tanyaku membuatnya tersentak seolah sedari tadi
dia tidak menyadari keberadaanku, padahal dia yang menarik perhatianku dengan
isakannya.
Perempuan itu
tak menjawab. Dia hanya menyeka ingus dan air matanya dengan ujung lengan
sweter sebelum kembali terisak dengan gigil di tubuhnya. Anak perempuanku pasti
seumuran dengannya jika masih hidup. Dulu aku terbiasa menghadapi anak
perempuanku jika tengah merajuk atau pun bersedih.
“Kau bisa
bercerita apa saja pada ombak. Dia pintar menjaga rahasia.”
“Itu bukan
urusanmu, Pak Tua!”
Aku terkekeh
mendengarnya. Pak tua. Ya, itu memang panggilan yang pantas untukku karena uban
yang begitu lebat di kepala. Aku duduk beberapa langkah darinya sembari memakai
topi kesayanganku untuk menutupi uban yang sudah keburu ketahuan oleh perempuan
itu.
“Enam puluh lima
tahun memang sudah cukup tua untuk hidup di dunia ini. Mungkin sebentar lagi
aku akan selesai.”
Perempuan itu
tidak lagi bersuara. Kebisuan hadir di antara kami. Mungkin harusnya aku
membiarkannya sendiri, tapi lagi-lagi aku teringat mendiang Mei, anak
perempuanku. Angin pantai yang begitu kuat nyaris menerbangkan topiku. Beberapa
tahun yang lalu, aku dan Mei sering menghabiskan waktu di sini. Aku memancing,
sedangkan dia hanya duduk memperhatikanku sambil bercerita tentang sekolahnya,
tentang teman-temannya dan ketika aku berhasil menangkap seekor ikan maka Mei
akan berjingkrak dengan riang seolah itu adalah ikan yang akan menjadi makan
malam yang paling dia nantikan.
Aku tersenyum
mengingatnya. Andai Mei masih hidup. Mendadak hatiku diserang lara.
“Aku berencana
untuk mati hari ini.” Perempuan itu tiba-tiba bersuara, mengaburkan ingatanku
tentang Mei.
Kembali angin
menderu dengan kencang, kali ini menerbangkan helaian rambut panjang perempuan
itu. Dia tidak menghiraukan rambut panjangnya yang terbawa angin, sedangkan aku
masih terpaku di tempatku; kehilangan kata-kata. Berencana untuk mati?
Maksudnya bunuh diri? Itu kata-kata yang asing, tetapi juga sangat familier
bagiku.
“Pasti akan
lebih baik bagi keluargaku jika aku mati, bukan?” Kali ini perempuan itu
menoleh padaku. Bibirnya membentuk senyum yang dipaksa, sedangkan matanya merah
karena terus dipaksa mengeluarkan air mata.
“Tidak ada yang
baik dalam sebuah kematian, apalagi yang direncana.” Kata-kata itu lolos begitu
saja dari mulutku. Andai saja bisa aku ingin mengatakan kata-kata itu pula pada
Mei.
“Aku tidak tahu
bagaimana menghadapi dunia dengan keadaanku sekarang.”
“Apa kau punya
teman?”
“Bahkan teman
yang paling karib pun pergi meninggalkanku.”
“Tapi keluarga
tidak akan pergi meninggalkanmu.”
Perempuan itu
kembali terisak. Kali ini dia memeluk kedua lutut untuk menenggelamkan
kepalanya, membuatku tidak lagi bisa melihat wajahnya yang ayu.
“Aku tidak kuat
lagi menghadapi semua ini.” isaknya begitu pilu.
Angin kembali
menyeret-nyeret ingatanku tentang Mei. Belasan tahun lalu menjadi hari paling
memilukan dalam hidupku. Aku mendapat sebuah telepon, deringnya terasa begitu
aneh bagiku, padahal setiap hari aku mendengar dering yang sama setiap kali
mendapat panggilan telepon. Namun, hari itu ada yang aneh dengan deringnya. Dan
ketika aku mengangkat telepon itu, suara di ujung sana mengatakan anak
perempuanku ada di rumah sakit, kecelakaan katanya. Tidak, kau bohong, begitu
kataku. Ketika aku sampai di rumah sakit, aku bahkan tidak bisa mengenali putri
semata wayangku.
Sehari kemudian
Mei dimakamkan dengan semua air mata yang keluarga kami punya. Putriku
satu-satunya, orang yang paling aku sayang di dunia ini pergi meninggalkan
kami. Istriku pingsan beberapa kali dan aku tidak tahu harus bagaimana
menggambarkan kesedihanku. Rasanya kebahagiaan telah dicabut dari keluargaku.
Mentari keluargaku telah pergi untuk selamanya. Setelahnya hanya ada kemuraman
di rumah kami, meski kemudian aku dan istri bisa kembali menata kehidupan. Kami
bangkit dari kesedihan, walaupun aku tidak pernah bercerita pada istriku
tentang pesan terakhir yang Mei kirim padaku. Sebuah permohonan maaf dan ucapan
selamat tinggal yang tidak bisa aku pahami maksudnya.
“Aku telah
mengucapkan selamat tinggal pada ayah ibuku hari ini.” Perempuan itu telah
menegakkan kembali tubuhnya. Matanya menatap jauh pada lautan yang luas di
depan sana. Rambutnya yang panjang kini dia ikat menjadi satu; menampakkan
lehernya yang jenjang.
Kapal-kapal
kecil penangkap ikan mulai melaut dan menjauh dari pandangan; semakin jauh dan
semakin kecil. Aku ingat impianku bersama Mei, kami ingin naik kapal pesiar
suatu hari nanti. Sebuah kapal yang amat besar dengan fasilitas seperti hotel
bintang lima, begitu katanya. Namun, yang terjadi Mei menaiki kapalnya sendiri
dan meninggalkan kami dengan sebuah permohonan maaf dan selamat tinggal yang
ganjil.
Apa yang terjadi
pada Mei? Apa yang membuatnya menyerah pada hidupnya yang masih panjang. Aku
ingat sehari sebelumnya dia bercerita tentang impian untuk melanjutkan sekolah
ke luar negeri. Mei ingin membuat Ayah bangga, begitu katanya. Aku masih tidak
mengerti, bagaimanapun aku memikirkannya.
“Tapi itu bukan
selamat tinggal seperti yang dibayangkan orangtuamu.” Kali ini aku mendebat.
Bagaimana pun perempuan ini telah mengatakan rencananya untuk mati hari ini dan
aku tidak bisa membiarkannya. Setidaknya jika aku tidak bisa menyelamatkan Mei,
aku bisa menyelamatkan perempuan ini.
“Mereka bahkan
tidak akan memusingkan tentang kematianku.” Kali ini perempuan itu membiarkanku
melihat wajah yang sembap. Kepiluan yang menyanyat-nyayat hati. Rasa putus asa
yang sudah tidak lagi berujung. Dan di sana hanya ada kegelapan.
Di awal-awal
tahun kepergian Mei, aku memikirkan dengan keras apa alasannya meninggalkan
kami. Apa yang tengah dialami seorang Mei dan tidak pernah dia ceritakan padaku
atau pun ibunya, sedangkan sejak kecil tidak pernah ada satu cerita pun yang
luput dia cerita pada kami. Apa yang Mei rahasiakan? Apa yang membuatnya nekat
melompat ke rel tepat ketika kereta itu datang. Aku sama sekali tidak punya
petunjuk.
“Apa yang
terjadi?” desisku memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada putriku.
Pertanyaan yang selama ini hanya sampai pada angan-anganku karena aku tidak mau
membuat istriku sedih dengan memikirkan kematian putri kami.
“Suara-suara
dalam kepalaku begitu gaduh dan tidak ada lagi tempat yang bisa aku tuju, Pak
Tua. Aku takut sendirian, tapi nyatanya aku memang sendirian.”
Mungkin
perempuan ini memang tidak lagi punya alasan untuk hidupnya; entah sekadar
sebuah alasan kecil untuk melanjutkan hidup seperti keluarga. Akan tetapi, Mei
adalah seorang anak yang aku besarkan dalam kehangatan keluarga. Semua kasih
sayang tercurah hanya untuknya. Mei dan perempuan di sampingku ini jelas
berbeda.
“Kau bisa
bercerita apa pun padaku,” terdengar seperti sebuah gombalan laki-laki hidung
belang.
Perempuan itu
hanya tersenyum sayu. Anak-anak rambutnya beterbangan menyapu wajahnya.
“Bisakah kau
bertahan sebentar lagi, setidaknya untuk hal-hal kecil seperti aku menunggu
ikan memakan kailku?”
Hening. Baik aku
maupun perempuan itu hanya larut pada pikiran masing-masing. Kami diam
memandang senja yang semakin turun hingga hari mulai menjadi gelap tanpa kami
rasa.
“Bukankah putrimu
juga meninggalkanmu, Pak Tua?”
Aku tidak tahu
bagaimana perempuan itu tahu tentang putriku. Aku masih tergagap hendak
bertanya ketika perempuan itu berdiri, bersiap untuk pergi.
“Aku tidak ingin
mati di hadapan orang yang mendengar kisahku. Aku akan tetap mati hari ini
seperti yang telah aku rencanakan.” Perempuan itu mulai melangkah. Ujung
sweternya berkibar tertiup angin yang kencang menampilkan perutnya yang
membuncit. Itu sekitar lima atau enam bulan, bukan? Aku tahu karena dulu aku
selalu memperhatikan kehamilan istriku.
“Tunggu, siapa namamu?”
“Mei. Namaku Mei.”
Selasa, 07 Mei 2024
Rambutan dan Kelengkeng
(Telah dimuat di Rubrik Budaya Harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 15 Maret 2024)
Istriku
ngedumel sore ini ketika aku baru
saja pulang kerja. Dia bercerita tentang tetangga kami yang menurutnya pelit
minta ampun.
“Rambutan
di depan rumahnya itu berbuah lebat. Harusnya sebagai tetangga, dia beri
beberapa tangkai buat kita. Daun rambutannya saja sering jatuh ke halaman rumah
kita, masak rambutannya tidak
pernah sampai?” Istriku bicara panjang lebar tentang rambutan dan tetangga
kami, sedangkan aku yang sedang kecapaian seusai ngantor hanya bisa mengangguk tidak bersemangat.
“Jangan
keras-keras bicaranya, nanti kedengaran.”
“Biar
saja. Biar mereka dengar.”
Tetangga
kami adalah sepasang suami-istri dengan seorang anak sama seperti keluargaku.
Kami pun menempati rumah di kompleks perumahan ini hampir bersamaan. Mereka
datang hanya selang beberapa hari setelah keluargaku pindahan dan istriku
merasa lebih senior daripada istri tetangga kami. Mungkin itu penyakit ibu-ibu
kompleks? Awalnya, aku tidak masalah ketika istriku selalu iri jika rumah
sebelah membeli sesuatu seperti AC atau kulkas baru. Namun, masalah rambutan
ini sudah berlebihan menurutku.
“Kamu
ingin rambutan? Besok Mas belikan sepulang kerja.” Untuk memenuhi rasa irinya
saja aku bersedia membeli AC atau kulkas baru, tentu tidak jadi soal
membelikannya sekarung rambutan agar istriku puas bahkan sampai kembung makan
rambutan.
“Bukan
itu masalahnya. Ini soal adab bertetangga, Mas.” Istriku tetap tidak terima.
“Memangnya
kamu pernah memberi mereka kelengkeng kalau pohon kelengkeng kita berbuah?
Tidak, kan? Coba kamu duluan, pasti mereka akan membalas kebaikanmu. Itu baru
namanya adab bertetangga.”
“Kita
lebih senior di komplek ini, jadi harus mereka duluan yang memberi. Bukan
kita.”
Aku
angkat tangan menasihati istriku. Padahal istriku bukan wanita yang suka
mencari gara-gara dengan warga lain di kompleks kami, tetapi entah mengapa
masalah buah rambutan ini begitu sensitif untuknya, apalagi untuk beberapa
bulan belakangan ini. Mungkin itu bawaan orok karena istriku sedang hamil muda,
anak kedua kami. Ibu hamil biasanya minta yang aneh-aneh. Masih untung dia
tidak memintaku makan durian seperti saat hamil anak pertama. Bisa mabuk durian
aku kalau menuruti keinginannya.
***
Sore
ini tidak ada ocehan istriku tentang tetangga kami. Dia menyambutku dengan
wajah semringah, kemudian membawakan tas kerjaku ke kamar. Ketika aku beranjak
ke kamar mandi, kulihat seikat rambutan di meja dapur. Itu pasti dari tetangga
kami.
“Tadi
si Sri ke sini bawa rambutan,” ucap istriku sambil menyiapkan makan malam kami.
Semangkuk rambutan yang telah terkupas juga menghiasi meja makan sebagai
pencuci mulut. “Ternyata tetangga kita itu tidak pelit-pelit amat, sepertinya
mereka sudah sadar siapa yang lebih senior di kompleks ini.”
Aku
hanya mengganguk sambil tersenyum simpul menanggapi perkataan istriku. Dia
tidak tahu kalau tadi pagi, ketika dia sedang membeli bubur ayam untuk sarapan,
aku bersama anak kami memetik beberapa biji tangkai kelengkeng kemudian
memberikannya pada Sri, tetangga kami. Istriku tidak perlu tahu. Dia hanya
perlu merasa bahwa harga dirinya sebagai senior di kompleks ini tetap terjaga.
“Besok,
aku akan membawakan mereka beberapa tangkai kelengkeng sebagai balasan.”
Perasaanku
mulai tidak enak. “Tidak perlu,” sergahku.
“Kok,
tidak perlu? Itu namanya pelit. Tidak boleh pelit sama tetangga, Mas.”
Sepertinya
masalah baru akan muncul setelah ini. Aku tersenyum kecut sambil melahap
rambutan yang ternyata asam di hadapanku.