Laman

Selasa, 29 Oktober 2024

MONOKROM


Ini adalah catatan di hari ulang tahunku ke-32; dan aku memberinya judul: Monokrom.

Ah, 32. Angka yang tidak pernah aku bayangkan untuk mencapainya. Dulu, ketika aku masih lebih muda, aku berpikir aku tidak akan lebih dari 27 (itu sebabnya aku pernah menulis cerpen berjudul "Pada Usia Dua Puluh Tujuh"). Entahlah, aku hanya berpikir tidak ada lagi angka setelah 27 dan itu adalah yang terbaik.

Namun, aku sampai pada 32.

Banyak hal yang terjadi setahun ke belakang. 

Sulit untuk menjelaskan apa yang terjadi di pertengahan tahun ini. Semua terasa begitu cepat dan aku linglung. Rasanya seperti naik rollercoaster.

Aku terbiasa membuat planning di awal tahun; apa-apa yang ingin aku capai dalam setahun. Namun kemudian rasanya semua mimpi yang sedang aku usahakan tiba-tiba hancur. Aku melihat mimpi-mimpi itu berserakan dan aku tidak tahu bagaimana cara menyusunnya lagi.

Aku benci ketika orang-orang meminta maaf padaku.
Kenapa?
Kenapa kalian meminta sesuatu yang berat padaku?
Aku pun sama rapuhnya dengan kalian.

Aku sakit.

Aku ingat ketika orang-orang di sekitarku berkata, "Kami semua sayang sama kamu." Tapi aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Aku berusaha menyusun lagi mimpi-mimpiku. Aku berusaha untuk kembali tersenyum agar orang-orang yang sayang padaku tidak lagi khawatir. Aku ingin seperti bunga matahari yang besar dan bersinar.

Tapi aku tetap sakit.

Aku ingat ketika seorang senior berkata, "Untuk Tiqom Tarra yang selalu lincah dan ceria." Nyatanya aku tidak selalu bisa menjadi lincah, apalagi ceria. Dan aku benci.

Kalian tahu, apa bagian paling menyebalkan dari perjalanan ini? Ketika aku menyadari bahwa aku kehilangan diriku sendiri hanya untuk dicintai oleh orang lain.

Aku banyak merenung, berbincang dengan orang-orang yang lebih dewasa dan mendengarkan.

Ada satu kesimpulan yang aku dapat dari perjalananku tahun ini.
"Seperti itulah kehidupan; ini bukan tentang hitam atau putih, baik atau jahat karena tidak pernah benar-benar ada hitam dan putih dalam kehidupan."

Sedikit demi sedikit aku kembali menyusun mimpi-mimpiku. Kompas. Rumah. Dan aku bukan hanya bisa kembali tersenyum, tapi aku tertawa, terbahak-bahak sampai batuk, kemudian temanku berkata, "Lihat, kamu sudah sembuh."

Aku ingin berterima kasih pada orang-orang yang tetap berada di sisiku ketika aku kehilangan diriku sendiri dan sakit. Terima kasih karena telah menjadi pendengar yang baik.

Aku ingin tetap menjadi bunga matahari yang besar dan ceria. Tiqom Tarra.

Banyak hal yang harus aku selesaikan sebelum akhir tahun. Dan aku akan bilang, "Jalani saja, walaupun sambil ya Allah ya Allah."

Terakhir, aku ingin memaafkan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Apakah itu seperti membuka office word ketika aku akan menulis cerita baru? Atau seperti ketika aku menyirami tanaman hortensia yang sudah 2 tahun kutanam tapi tetap tidak mau berbunga dengan harapan suatu hari akan muncul kuntum bunga di pucuk salah satu dahan? Mungkin pelan-pelan?

Atau biarkan Tuhan membawa kita pada ujung sungai yang sama? Atau seperti puisi Lawi, "...melalui suara yang kalap diteriakkan: Biarkanlah ia tenang dalam derau."


 

Jumat, 04 Oktober 2024

JODOH

(Sudah dimuat di Solopos edisi Sabtu, 28 September 2024)


Satu kata tentang ayahku: kolot. Bagaimana bisa beliau secara sepihak menjodohkanku, putri semata wayangnya, dengan seorang sepupu? Ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya.

“Memangnya kenapa? Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini,” ucap Mas Adi, sepupu yang dijodohkan denganku, tiap kali aku menentang perjodohan dengannya.

Tentu saja masalah! Beda usia kami lebih dari sepuluh tahun. Tepatnya tiga belas tahun empat bulan. Bayangkan, Mas Adi sudah menginjak usia remaja ketika aku baru lahir. Dan juga bayangkan misal kami menikah, dia sudah menjadi om-om, sedangkan aku baru menginjak usia matang. Astagah, apa kata dunia? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan Ayah menjodohkanku dengan sepupuku itu.

“Banyak, kok, yang beda usianya lebih jauh dari kita. Lagipula, kita sudah saling kenal sejak kecil, bahkan sejak kau masih orok. Aku bahkan pernah memandikanmu ketika kau masih kecil.”

 Kalimat terakhir sukses membuat wajahku terbakar saking malu. Baiklah, aku akui kami memang dekatnya sejak kecil karena aku selalu dititipkan di rumahnya. Aku tidak punya ibu sejak lahir karena ibuku meninggal sesaat setelah melahirkanku. Dan solusi terbaik untukku—yang mempunyai ayah yang sibuk bekerja—adalah menitipkanku pada keluarga Mas Adi, maka sejak kecil aku sudah seperti adiknya sendiri, lalu gagasan tentang perjodohan konyol ini disambut baik oleh segenap keluarga. Mas Adi dengan senang hati menyetujuinya, sedangkan aku nyaris pingsan.

Aku mengetahui perjodohan ini ketika usia lima belas. Tepatnya ketika aku baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Rasanya seperti ada bola bekel yang menyangkut di tenggorokanku ketika Ayah menyampaikan hal itu. Kau hanya akan menikah dengan Mas Adi, kata Ayah.

Usiaku baru lima belas, duniaku masih panjang dan gagasan tentang perjodohan dengan sepupu sendiri yang sudah seperti kakak kandung adalah kekonyolan terbesar. Aku menolak mentah-mentah gagasan yang telah diamini oleh Mas Adi dan segenap keluarga. Kalau diibaratkan sebagai bunga, aku ini baru mekar, dan banyak kumbang yang ingin mendekat. Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, tentu ingin merasakan jatuh cinta, pacaran dengan seorang yang membuat jantungku berdebar-debar. Itu hal wajar, yang tidak wajar adalah menikah dengan om-om.

“Kita tidak akan menikah hari ini atau besok. Aku juga tidak mau menikah dengan anak di bawah umur.”

Ucapan Mas Adi benar-benar menohok, tapi lagi-lagi aku akui itu benar. Maka yang bisa aku lakukan hanya tertunduk malu dan memikirkan bagaimana cara agar aku terbebas dari perjodohan ini.

“Kau ingin pacaran, silakan. Kau ingin menikmati usia remajamu, silakan. Tapi jika waktunya sudah tiba kita akan menikah.”

“Itu artinya kau sudah mengikatku dengan rantai, memberi kebebasan palsu.”

Tidakkah mereka berpikir bahwa itu menyakitkan? Perjodohan, entah untuk alasan yang baik ataupun dengan seseorang yang terbaik tetaplah sesuatu yang mengikat kebebasan. Aku tahu Mas Adi mungkin terbaik untukku, dia punya segalanya sebagai seorang suami. Aku akui dia tampan—banyak teman-teman yang minta dikenalkan denganya—dan punya pekerjaan yang mapan. Tampan dan mapan adalah kombinasi sempurna dari seorang laki-laki. Namun, bukankah hidup juga butuh cinta? Dan aku tidak memilikinya untuk sepupuku itu.

“Begini saja,” katanya, “jika sampai di usiamu yang kedua puluh lima aku belum berhasil membuatmu jatuh cinta padaku, kau boleh menikah dengan laki-laki pilihanmu.”

Sejujurnya aku tidak paham mengapa Mas Adi setuju dijodohkan denganku—terlepas dari kami dekat sejak kecil. Aku yakin dengan wajah dan kemapanannya itu dia bisa mendapat wanita yang jauh lebih baik dariku, setidaknya seorang wanita matang, bukan bocah ingusan sepertiku. Atau mungkin dia memang sudah mencintaiku sejak kecil?

Ah, mana ada yang seperti itu, maka sejak itu aku bebaskan diriku untuk menikmati masa remaja; mengenal lebih banyak orang, jatuh cinta, dan pacaran layaknya remaja pada umumnya. Ayah tentu saja kebakaran jenggot mengetahui aku pacaran dengan orang lain. Tapi aku bilang padanya bahwa aku sudah mendapat izin dari Mas Adi.

“Mas Adi yang bilang aku boleh menikmati masa remajaku, termasuk pacaran.”

Ayah tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika Mas Adi membenarkan ucapanku. Malam itu entah setelahnya mereka membicarakan apa, aku disuruh masuk kamar dan tidak boleh keluar sampai besok pagi. Mungkin Mas Adi sedang bernegosisasi tentang hidupku. Malang nian nasibku.

Aku hitung setidaknya aku pacaran sampai dua puluh kali ketika SMA dan tidak ada yang berjalan mulus. Para pemuda itu cepat bosan dan hobi sekali selingkuh dengan temanku sendiri. Dan setiap kali ini terjadi, Mas Adi hanya menertawakanku.

“Pacaran itu hanya untuk orang-orang yang bernyali besar, bukan untuk anak cengeng sepertimu.” Puas dia menertawakanku.

Aku tidak peduli. Lulus SMA aku kuliah di luar kota yang membuat Ayah uring-uringan dan menyuruh Mas Adi mengawasiku. Sepupuku itu tentu saja dengan senang hati mengikutiku. Katanya demi menjagaku, calon istrinya. Lagi-lagi aku tidak peduli. Ketika kuliah pun aku menjadi hubungan dengan beberapa laki-laki, meski tidak pernah bertahan lama. Agaknya laki-laki memang jenis manusia yang cepat bosan. Namun, saat semester akhir kuliahku, aku menjalin seorang laki-laki dari pulau seberang. Dia baik, humoris, anak band, tampan—tak kalah dengan Mas Adi—dan yang terpenting dia seumuran denganku. Hingga lulus kuliah dan bekerja aku masih menjalin hubungan dengannya.

Aku yakin dia adalah jodohku, apalagi sebentar lagi usiaku dua lima. Aku sudah membayangkan menikah dengannya. Kami akan tinggal di rumah keluargaku yang sepi dan kami akan punya anak satu atau dua. Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa aku tidak harus menikah dengan Mas Adi. Bukankah dia sudah janji untuk melepasku jika dia tidak bisa membuatku jatuh cinta sampai usia dua lima?

Memang ada kalanya kita memimpikan sesuatu dan menurut kita itu sangat mudah diwujudkan. Namun, agaknya takdir juga suka sekali memuat hancur hati seseorang. Aku nyaris gila ketika pacarku bilang harus pulang kampung untuk menikah dengan seorang sepupu.

“Kami sudah dijodohkan,” katanya.

Aku berkeras hati, kukatakan padanya bahwa aku juga sudah dijodohkan tapi sekarang aku hanya untuk dirinya. Aku juga menawarkan agar kami kawin lari saja dan kabur ke pulau lain. Tapi pacarku menolak. Dia masih sayang pada kebuh cengkeh dan pala daripada harus dicoret dari daftar keluarga karena memilih menikah denganku.

Sejak itu aku hanya mengurung diri di kamar. Bayangan tentang pernikahan dan rumah tangga dengan pacarku hancur sudah. Kebun cengkeh lebih berharga dibanding aku yang mencintainya sepenuh hati.

Mas Adi yang biasanya menertawakanku habis-habisan kali ini hanya diam. Mungkin dia sudah lelah menertawakanku atau aku terlalu menyedihkan untuk ditertawakan. Dia hanya sekali waktu menjengukku, memastikan aku tetap makan meski sedikit. Kadang aku berharap dia menemaniku lebih lama agar aku tahu aku tidak sendirian. Di saat seperti ini siapa pun pasti butuh seseorang untuk tempat bersandar.

“Aku selalu di sini, tidak pergi ke mana-mana,” katanya ketika aku bilang dia mulai mengabaikanku padahal Ayah mempercayakanku padanya. “Justru kau terus menerus lari entah ke mana.”

Kapan aku lari? Aku hanya menikmati hidupku seperti yang dia katakan ketika usiaku lima belas.

“Aku tidak akan pernah bisa membuatmu jatuh cinta jika kau terus menutup hati.”

Kadang aku juga berpikir kenapa aku tidak berusaha menerima Mas Adi saja dan justru sibuk mencari seorang kekasih yang aku harapkan menjadi jodohku. Mas Adi telah begitu setia di sisiku entah untuk alasan apa pun; entah sebagai kakak, calon suami, sepupu, atau jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku. Dia bersedia menungguku bahkan melihatku jatuh cinta dengan laki-laki lain berulang kali. Mendadak aku berpikir apakah di balik tawanya ketika menertawakanku yang ditinggal pacar juga terdapat kecemburuan, amarah, dan kesedihan? Yang pasti lagi-lagi dia selalu ada di sisiku setiap kali itu terjadi dan harusnya itu sudah cukup bagiku untuk jatuh cinta.

“Hanya saja aneh bagiku menganggapmu yang sudah seperti kakakku sendiri sebagai calon suami.”

Mas Adi hanya tersenyum kemudian tertawa mendengarku. Dan dari tawanya itu aku tahu bahwa dia akan tetap di sisiku. Aku menyadari bahwa aku terlalu angkuh selama ini; menganggap berbedaan usia kami sebagai sesuatu yang tabu. Padahal Tuhan telah menunjukkan dengan amat jelas siapa jodohku ketika Mas Adi tertawa, tersenyum dan bicara padaku.

“Apa ini yang namanya jodoh?”

Sekali lagi Mas Adi tertawa sebelum mengangguk kemudian memelukku. Ah, sepertinya dia berhasil mencuri hatiku.

 

Jumat, 13 September 2024

Perkara Kawin

 

(Sudah dimuat di Solopos edisi Sabtu, 7 September 2024)

Kali ini Aji yakin bahwa Tuhan pasti sedang kesal ketika menciptakan makhluk bernama perempuan. Lima tahun lamanya Aji pacaran dengan Sarmila yang kini menjadi istrinya. Bagi Aji, tidak ada perempuan lain sebaik istrinya itu. Sarmila lemah lembut, murah senyum dan jago memasak. Masakan andalan Sarmila—yang juga menjadi makanan favorit Aji—adalah bandeng kuah kuning dengan potongan belimbing wuluh yang banyak. Itu adalah masakan paling juara bagi Aji! Namun, sejak seminggu yang lalu, di tiga minggu usia pernikahan mereka, Sarmila mulai berubah. Sarmila sering marah-marah tidak jelas, padahal dulu saat masih pacaran, jangankan marah-marah, merajuk saja tidak pernah Sarmila lakukan.

Kata teman-teman Aji, itu hal biasa, wajar; setelah menikah sifat asli dari pasangan akan mulai terlihat. Namun, Aji tidak percaya. Istrinya itu bukan seorang perempuan yang hobi marah-marah. Dia mengenal Sarmila dengan baik.

“Kami pacaran lima tahun lamanya,” gumam Aji tak percaya kalau sifat asli istrinya adalah perempuan yang hobi marah-marah.

Kali pertama marah—atau lebih tepatnya mulai berubah—Aji pikir istrinya itu sedang datang bulan. Aji bisa memaklumi hal itu. Perempuan memang akan uring-uringan kalau sedang datang bulan, katanya. Akan tetapi, ternyata Sarmila tidak sedang datang bulan.

“Apa jangan-jangan istrimu sedang hamil?” kata Yu Midah, penjual toko kelontong depan gang. “Kalau perempuan sedang di awal kehamilan memang sering marah-marah.”

“Kami baru menikah tiga minggu yang lalu, Yu.”

“Memang tidak boleh baru nikah tiga minggu langsung hamil?”

Meski Aji berharap segera memiliki anak, tapi sepertinya itu bukan alasan Sarmila berubah sikap padanya. Lagipula, Aji tidak pernah melihat Sarmila mual-mual atau muntah-muntah di pagi hari seperti yang biasanya terjadi pada perempuan yang hamil muda. Samila tidak sedang hamil, kukuhnya dalam hati.

Tadi pagi, ketika Aji mengeluh tentang cucian yang tidak kering, Sarmila naik pitam. Perempuan dengan rambut kemerahan itu berkata bahwa dia tidak bisa memaksa matahari di atas sana untuk bersinar siang malam 24 jam, jadi bukan salahnya kalau cucian itu tidak kering! Aji terheran-heran. Dia hanya bertanya karena tidak bisa memakai kaus kesukaannya, tapi Sarmila menanggapinya dengan emosi seolah-olah Aji ketahuan selingkuh dengan anak Yu Midah yang seksi.

Ketika Aji bertanya kenapa Sarmila sekarang hobi sekali marah-marah, bukannya sadar diri dan minta maaf pada suami, Sarmila makin melunjak.

“Tidak bisakah seorang laki-laki cukup berpikir bahwa ketika seorang perempuan marah-marah tidak jelas adalah sebuah bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang bulan?”

Mulut Aji sampai menganga mendengar jawaban istrinya. Sebuah bentuk kewajaran dari yang namanya siklus datang bulan meski perempuan itu tidak sedang datang bulan? Maka pada detik itu Aji yakin Tuhan pasti sedang kesal ketika menciptakan perempuan, khususnya ketika menciptakan Sarmila.

Puas marah-marah, Sarmila pergi meninggalkan Aji yang masih terbengong-bengong. Laki-laki yang baru memasukki usia tiga puluh itu bahkan tak sempat bertanya hendak ke mana istrinya itu karena sibuk memikirkan perubahan sikap istrinya.

Kata ayah Aji, seorang laki-laki harus sabar menghadapi perempuan.

“Perempuan itu selalu benar meski dia melakukan kesalahan. Jadi kau harus sabar. Ingat, seperti kata peribahasa; diam adalah emas. Dan lapangkan hatimu seluas samudra.”

Aji tidak tahu seberapa luas samudra, yang itu artinya dia harus memiliki kesabaran yang tidak terhingga untuk menghadapi Sarmila. Dan itu juga artinya dia harus bersiap jika Sarmila mengakatan hal tidak masuk akal seperti tadi pagi.

Sarmila tiba di rumah ketika Aji sedang sibuk dengan pekerjaannya mencetak pesanan undangan. Sarmila mengucapkan salam dan Aji bertanya dari mana yang langsung dijawab dengan bentakan.

“Kenapa bertanya seperti itu? Kau curiga padaku?”

Kembali Aji terheran-heran dengan jawaban Sarmila. Karena Aji sudah tahu tentang peribahasa diam adalah emas, dia memilih diam dan menyuruh istrinya masuk untuk menyiapkan makan malam.

“Tanpa kau suruh juga aku akan melakukannya. Memangnya kalau bukan aku yang menyiapkannya, kau yang akan melakukannya menggantikanku? Tidak, kan?”

Tangan Aji sedikit gemetar menahan emosi. Namun, dia ingat nasihat ayahnya tadi sore.

***

Sejak subuh tadi, Sarmila sudah bangun dan meninggalkan tempat tidur. Dia mandi, membuat sarapan di dapur, dan membereskan rumah kecil mereka yang sudah seperti kapal pecah karena pekerjaan Aji menerima pesanan cetak undangan, mulai dari undangan pernikahan sampai undangan khitanan. Sebenarnya Aji ingin memiliki sebuah tempat berupa kios untuk mengembangkan usaha percetakannya dengan mesin cetak yang lebih besar sehingga bisa menerima pesanan kalender dan spanduk serta mempekerjakan beberapa karyawan. Itu impian Aji yang terus diusahakan karena untuk membuat sebuah percetakan membutuhkan modal yang besar.

Aji bangun ketika sinar matahari yang menerobos tirai jendela mencapai wajahnya. Dengan gumaman serak dia bangkit, tersaruk-saruk berjalan menemui Sarmila yang sedang menyapu halaman.

“Kau sudah bangun, Sayang?”

Serta-merta Sarmila menjawab, “Tentu saja aku sudah bangun, memangnya kau, Pemalas. Matahari bahkan sudah lelah menggantung di angkasa dan kau baru membuka mata.”

Aji ingat, seminggu yang lalu, ketika bangun di pagi hari, Sarmila akan menyambutnya dengan kata cinta. Selamat pagi, Sayang, katanya. Juga dengan sebuah kecupan manis di pipi. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bermesraan. Namun, sekarang, jangannya kecupan manis di pipi, bentakan yang dia terima alih-alih sapaan sayang.

“Sarmila,” panggil Aji, “Abang mau ngomong bentar. Serius.”

Dengan hembusan napas yang kuat, Sarmila menghentikan kegiatannya menyapu halaman, dilemparnya sapu tidak berdosa itu ke bawah pohon kelengkeng kemudian ikut masuk ke rumah.

“Kau sebenarnya kenapa?”

Sarmila tidak menjawab.

“Lihat, kau tidak mau menjawab. Bagaimana aku tahu salahku di mana kalau kau terus diam seperti ini?”

“Tidak apa-apa.”

Selanjutnya Aji terus bertanya dengan banyak kata kenapa dan selalu dijawab tidak apa-apa. Aji ingat, hubungan yang baik dibentuk dari komunikasi yang baik pula. Namun, bagaimana dia bisa berkomunikasi dengan baik jika setiap kali ditanya kenapa Sarmila justru menjawab tidak apa-apa.

Aji rupanya mulai kehabisan kesabaran. Dengan langkah cepat dia masuk kamar, mengambil sesuatu di laci nakas dan memberikannya pada Sarmila.

“Kemarin Abang dapat uang muka dari pelanggan yang pesan undangan, pergilah ke pasar atau mal dan beli sesuatu yang kau suka.”

“Abang pikir aku ini istri mata duitan?”

“Sudah, Mila, kau bersenang-senang saja. Kau pasti lelah beberapa hari ini. Belilah baju atau sepatu yang kau mau.”

Sarmila diam untuk beberapa lama sambil memandangi segulung uang berwarna biru dan merah di telapak tangannya.

“Ya sudah, Mila siap-siap dulu. Dan juga, cepat selesaikan pesanan undangan itu.” Sarmila menunjuk tumpukan undangan yang semalam tadi dicetak Aji.

“Iya, hari ini selesai langsung Abang kirim ke orangnya. Kau sarapan dulu sebelum pergi. Abang mau mandi terus lanjut cetak undangan biar cepat selesai.”

Sarmila mengangguk kemudian beranjak ke kamar untuk ganti baju dan berdandan. Ketika Aji selesai mandi, Sarmila muncul dengan senyum semringah dan baju bagus siap untuk berbelanja dengan uang pemberian Aji.

“Mila berangkat dulu, Bang. Nanti Mila belikan bakso favorit Abang,” kata Sarmila sembari mencium tangan Aji untuk pamit.

Aji hanya geleng-geleng melihat sikap Sarmila yang tiba-tiba jadi lembut kembali. Sepeninggalan Sarmila, Aji kembali sibuk dengan mesin printer untuk mencetak pesanan undangan yang hari ini harus selesai. Di tengah kesibukannya mencetak undangan, Aji terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang membuat Sarmila marah-marah tidak jelas beberapa hari ini. Namun, dia tidak juga memperoleh titik terang, hingga satu nama yang tercetak di undangan membuat kening Aji mengkerut.

Dia sedikit ingat tentang nama mempelai laki-laki yang ada di undangan buatannya. Nama yang dulu sering Sarmila sebut-sebut sebelum mereka dekat kemudian berpacaran. Dan nama mempelai laki-laki itu adalah sama dengan nama mantan pacar Sarmila.

“Pantas saja!” gumam Aji.

Kini dia tahu persis alasan Sarmila marah-marah tidak jelas dan itu bertepatan ketika Aji bilang mendapat pesanan cetak undangan pernikahan dari seorang kenalan.


Sabtu, 10 Agustus 2024

Dari Teluk Terima kepada Dewa-Dewa


(Pertama kali dimuat di Kompas edisi 4 Agustus 2024)
 

Langit berubah menjadi kelam dan bumi terguncang, saat itu pula istrimu, Ni Layonsari, tahu bahwa sesuatu telah terjadi padamu. Perempuan yang baru tujuh hari kau persunting itu telah lama mendapat firasat buruk tentangmu.

Linuh, linuh!1 Orang-orang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Namun, tidak dengan istrimu. Ni Layonsari menatap langit kelam dengan guntur bersahut-sahutan, meratap pada Dewata. Harusnya ia melarangmu pergi melaksanakan titah raja. Mimpinya beberapa malam yang lalu adalah peringatan.

Banjir bandang itu terasa begitu nyata di dalam mimpi istrimu. Air bah yang entah datang dari mana itu menyeret rumah kalian sebagai pertanda buruk. Namun, kau adalah seorang abdi yang begitu setia, apapun perintah Raja Kalianget.

“Aku harus pergi melaksanakan perintah raja,” begitu katamu.

“Aku yakin mimpiku semalam adalah pertanda buruk. Bisakah kau urungkan keberangkatanmu? Raja pasti akan mengerti.”

Namun, kau bukanlah orang yang akan menolak perintah Raja Kalianget. Kau akan tetap melaksanakan perintahnya seolah itu adalah perintah Dewata.

“Aku pasti akan kembali.”

Bagimu, Raja Kalianget bukan hanya sekadar penguasa. Ia adalah sosok ayah yang memberimu sandang dan pangan ketika seluruh keluargamu dilahap wabah. Kau sebatang kara ketika Raja Kalianget membawamu ke istana dan menjadikanmu anak angkatnya. Raja Kalianget mengajarimu menggunakan panah, keris dan tombak. Raja Kalianget mengajarimu membaca dan menulis; menjadikanmu abdi kerajaan kesayangannya. Bagimu Raja Kalianget adalah sosok dewa di dunia.

Suatu hari Raja Kalianget memerintahkanmu untuk memilih salah satu dayangnya untuk kau ambil sebagai istri. Bagimu, itu adalah hal lancang karena dayang istana adalah milik raja, maka kau memohon agar diperbolehkan mencari gadis di luar istana. Raja Kalianget setuju, maka berangkatlah kau menuju pasar di pagi hari; mengamati gadis-gadis di keramaian pasar.

Satu gadis dengan mata bening dan wajah ayu itu mencuri hatimu. Kau mengamati gadis itu. Lemah gemulai gerakannya, lembut dan santun tutur katanya, hingga tatapan kalian bertemu. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang malu-malu. Siapa gerangan gadis itu? Kau bertanya-tanya pada orang di pasar.

“Ia anak gadis Jero Bendesa2,” tutur seorang warga.

Dengan hati berbunga kau menghadap Raja Kalianget. “Hamba telah menemukan gadis pujaan hati hamba, jika raja berkenan hamba ingin menikahinya.”

“Siapa gerangan gadis itu?”

“Ia putri Jero Bendesa. Ni Layonsari namanya.”

Berbekal surat dari Raja Kalianget, kau datang ke rumah Jero Bendesa untuk melamar gadis pujaanmu. Siapa pula yang tidak mengenalmu. Kau adalah abdi kerajaan kesayangan raja, pemuda gagah dengan tutur kata yang santu. Kau pun tahu, lewat senyum malu-malu di wajah ayu itu, Ni Layonsari pun telah menaruh hati padamu. Jero Bendesa setuju putrinya kau pinang.

Tepat di hari Selasa Legi Wuku Kuningan, Raja Kalianget menggelar upacara pernikahanmu. Anak angkat raja, abdi kerajaan kesayangan raja akan melepas masa lajangnya, begitulah Raja Kalianget ingin sebuah upacara pernikahan yang meriah untukmu. Namun, ketika kau dan Ni Layonsari menghadap untuk memberi hormat, Raja Kalianget terdiam menatap istrimu.

Kau tahu itu bukan tatapan seorang ayah yang bahagia melihat menantu perempuannya. Bukan. Kau juga tahu itu bukan tatapan seorang raja pada istri abdinya. Bukan. Tatapan itu seperti tatapan seekor harimau kala melihat rusa betina.

Dengan hati gundah kau pulang selepas acara perjamuan kerajaan bersama istrimu. Tak ingin memikirkan arti tatapan raja pada Ni Layonsari. Mungkin saja aku salah, ucapmu.

Tujuh hari setelah pernikahanmu dengan Ni Layonsari, Patih Saunggali datang memberi kabar. Raja Kalianget memerintahkanmu untuk pergi ke Teluk Terima.

“Perahu-perahu di sana telah dihancurkan dan orang-orang Bajo dengan sesuka hati berburu menjangan. Kita tidak bisa membiarkan hal ini.”

Sejujurnya kau tidak ingin pergi. Bagaimana mungkin kau meninggalkan istri yang baru sepekan kau nikahi? Kau juga ingat mimpi Ni Layonsari semalam. Sebuah banjir bandang menghanyutkan rumah kalian. Oh, Dewata, pertanda buruk apakah itu? Kau gusar. Ni Layonsari pun tidak ingin kau pergi. Ia cemas. Namun, kau pun tidak bisa menolak perintah raja.

Dengan janji bahwa kau akan kembali, pada akhirnya kau berangkat bersama Patih Saunggali ke Teluk Terima. Ada kegusaran yang terus mengusik batinmu. Entah mengapa, kau tahu bahwa kau mungkin tidak akan pernah kembali pada Ni Layonsari. Kau akan mati di Teluk Terima, begitu yang firasatmu terus menghantui pada setiap langkah.

“I Jayaprana, kau pasti sudah berfirasat. Ini adalah titah Raja Kalianget, maka kau harus menerimanya.” Patih Saunggali menyodorkan sepucuk surat.

Tumpah sudah air matamu. Raja Kalianget ingin kau mati. Kau telah melewati batasmu dengan menikahi Ni Layonsari yang jelita yang harusnya menjadi istri raja, begitu isi surat itu. Amarah dalam dadamu membuncah. Pernikahanmu dengan Ni Layonsari adalah perintah Raja Kalianget, lalu mengapa raja pula yang menginginkan istrimu? Di satu sisi kau ingat semua kebaikan yang telah Raja Kalianget berikan padamu. Kehidupan, martabat, keluarga, semua telah ia berikah padamu. Hidupmu memang telah sepatutnya kau serahkan pada Raja Kalianget.

Kau tersedu; memohon pada Dewata. Kau teringat pada istrimu yang jelita; ia menunggumu di rumah. Tak mengapa, kau mengerti. Raja pun pasti akan memberikan kehidupan yang baik pada istrimu seperti pula ia memberikan kehidupan padamu sejak kanak dulu.

Kau pasrah. Kau serahkan kerismu pada Patih Saunggali. “Bunuhlah aku, Paman. Katakan pada Raja Kalianget, aku adalah abdi setianya.”

Kau ambruk dalam dekapan Patih Saunggali setelah keris itu menembus lambung kirimu. Air matamu membasahi pundaknya sebelum kau benar-benar tewas.

“Aku hanya melaksanakan perintah raja, aku hanya melaksanakan perintah raja,” berulang kali Patih Saunggali mengatakan hal itu.

Darah yang mengucur dari tubuhmu menguarkan harum semerbak cendana. Langit cerah di atas sana kini berubah kelam. Bumi terguncang seakan murka pada apa yang terjadi padamu. Angin bergulung-gulung merusak apa pun yang dilewati dan bunga-bunga berguguran seakan bersedih untukmu.

“Oh, Dewata, inikah murkamu?” Patih Saunggali kebingungan. Ia ingat selepas upacara pernikahanmu dan Ni Layonsari, Raja Kalianget gusar. Raja menginginkan Ni Layonsari untuk dirinya sendiri. Dan Patih Saunggali menginginkan kepercayaan yang Raja Kalianget berikan padamu. Ia ingin menjadi abdi setia kesayangan Raja Kalianget.

Utuslah I Jayaprana ke Teluk Terima. Hamba yang akan mengurus sisanya, begitu usul Patih Saunggali. Raja Kalianget setuju. Setelah kau tewas, ia akan memboyong Ni Layonsari ke istana untuk dijadikan istri.

“I Jayaprana telah tewas demi menyelamatkan negeri dari orang-orang Bajo. Ia adalah pahlawan bagi negeri kita.”

Istrimu tertawa mendengar penuturan Raja Kalianget. Siapa yang akan percaya bahwa kau tewas karena orang-orang Bajo? Ni Layonsari jelas ingat tatapan Raja Kalianget padanya kala kau dan dirinya memberikan penghormatan setelah upacara pernikahan. Ni Layonsari tahu Raja Kalianget menaruh iri pada anak angkatnya. Raja yang begitu diagungkan olehmu tak lebih dari seorang laki-laki yang mengingkan apa yang bukan menjadi miliknya.

Ni Layonsari bukanlah perempuan bodoh. Ia tahu kematianmu adalah akal-akalan Raja Kalianget. Orang-orang Bajo yang berburu menjangan dan merusak perahu di Teluk Terima hanyalah alasan.

Istrimu hanya tertawa ketika ditawari gelar, kedudukan dan harta sebagai istri Raja Kalianget. Baginya hanya ada dirimu, I Jayaprana, suami yang meninggalkannya demi pengabdian terhadap raja yang adigungkan melebihi Dewata.

Ni Layonsari murka. Ia memilih mengikuti kematianmu dengan menikam dadanya sendiri dengan keris. Hina baginya menjadi istri Raja Kalianget setelah kepergianmu. Dalam doa yang abadi kepada dewa-dewa, Ni Layonsari bermunajat agar ia bisa bersatu denganmu di nirwana. Dunia begitu fana untuk kalian berdua. Kelak, di suatu masa yang jauh, tempat di mana kau bersemayam adalah larangan bagi suami istri untuk berjalan bersama. Alam telah memberikan penghormat bagi kau dan Ni Layonsari.

 

Catatan:

[1] Linuh: gempa

[2] Jero Bendesa: Kepala Desa Adat

Kamis, 08 Agustus 2024

Kutang Mei


(Pertama kali dimuat di Kedaulatan Rakyat Edisi 26 Juli 2024)

 Kau berhasil membuat semua pemuda di kampung iri karena kedekatanmu dengan Mei. Tak ada yang tak mengenal Mei, anak kepala desa yang cantik bak bidadari dari kahyangan. Kedekatanmu dengan si cantik Mei bahkan mengalahkan kedekatannya dengan Bram, pacar Mei. Bram tak ada apa-apanya jika dibanding dirimu. Meski lelaki itu membelikan rumah dan mobil baru sekalipun, bisa dipastikan Mei lebih memilih kehilangan Bram daripada kehilangan dirimu.

Kau selalu menempel pada Mei. Kalian benar-benar tak terpisahkan. Itulah sebabnya para pemuda menatap iri padamu. Setiap pagi, ketika kau berada di halaman samping rumah dan Mei sedang bersolek di kamarnya, para pemuda misuh-misuh padamu dan sebagian lagi berharap berada di posisimu agar bisa dekat dengan Mei.

“Andai aku bisa menjadi seperti dirinya dan hidup bersama Mei.”

“Mati pun aku bersedia asal bisa menjadi seperti dirinya dan menjadi bagian dalam hidup Mei.”

Jika diibaratkan sebagai sebuah mahakarya, Mei adalah sebuah patung pualam yang dibuat dengan teknik tingkat tinggi. Setiap lekuk tubuhnya dibentuk dengan cinta. Mei adalah perpaduan yang sempurna antara Elvy Sukaesih dan Dian Sastro. Konon, kau telah memberikan rasa percaya diri yang begitu besar pada Mei. Kalau sekarang Mei dengan anggun melenggak-lenggok di sepanjang jalanan kampung untuk dikagumi semua orang, itu karena dirimu. Tersebab itulah kalian menjadi dekat. Mei tak bisa hidup tanpamu.

Namun, pagi ini, kampung digemparkan oleh berita hilangnya dirimu dari hidup Mei.

“Dia hilang!” teriaknya frustrasi. “Terakhir aku lihat dia masih di halaman samping, tapi sekarang dia hilang.”

Seorang pemuda atau mungkin beberapa pemuda yang jatuh hati Mei dan iri padamu pasti telah menculikmu. Mei bergidik ngeri membayangkan apa yang telah menimpa dirimu. Dia mulai histeris meski Bram telah berusaha menenangkannya.

“Dia pasti berada di suatu tempat! Kita harus meminta bantuan polisi atau dukun sakti untuk menemukannya.”

“Ini berlebihan, Mei.”

“Tak ada yang berlebihan di sini. Kita harus mencarinya!” tandas Mei tak mau mendengar ucapan kekasihnya.

Bram jelas bingung. Bagaimana Mei bisa memintanya untuk melaporkan kejadian ini pada polisi? Apa yang harus dia katakan pada mereka? Dan apakah kasus seperti ini bisa diproses? Bram berpikir apa dia cukup membuat selebaran saja tentang hilangnya dirimu dan memberi imbalan pada siapa pun yang menemukannya? Namun, itu sama memalukannya dengan berjalan tanpa busana sepanjang jalan. Maka keputusan yang dia ambil adalah diam-diam tak melaporkannya pada polisi atau meminta bantuan pada dukun sakti.

“Satu dua hari lagi juga Mei akan melupakannya.”

Nyatanya Bram salah. Mei menjadi terpuruk sejak hilangnya dirimu. Dia mengurung diri, tak mau keluar kamar. Dia juga menolak mandi hingga cantik wajahnya memudar dan badannya tak lagi harum. Dia kehilangan semangat hidup seperti ketika bidadari Nawang Wulan kehilangan selendangnya.

“Kita bisa cari yang lain,” bujuk Bram yang mulai kehabisan akal.

“Aku tak mau yang lain. Aku ini setia, tak seperti dirimu.”

“Apakah harus sebegitu tragisnya kehilangan kutang? Di pasar atau mall banyak kutang merah muda seperti milikmu itu.”

“Kau lupa? Kalau bukan karena kutang merah mudaku itu, kau mungkin tidak akan jatuh cinta padaku yang tidak memiliki dada.”

“Aku tetap mencintaimu meski kau tak memiliki dada, Mei.”

Mei tak peduli, dia hanya menginginkan kutang merah mudanya, bukan kutang lain, apalagi yang dibeli di pasar atau mall.

Di sudut lain, di sebuah rumah petak, kau bersama dengan orang lain.

“Tak percuma aku mencuri kutang merah muda milik Mei. Sekarang aku tambah seksi, jadi nanti malam bisa magkal.”

Meski sama-sama tak memiliki dada, kau pasti lebih memillih Mei daripada pencuri ini. Setidaknya Mei perempuan betulan, bukan perempuan jadi-jadian yang suka mangkal di Gang Koboi untuk menjajakan diri.

Bayi dan Bangau


(Pertama kali tayang di Kompas.id edisi 26 Juni 2024)

Kau sedang mencukur bulu kelamuanmu ketika Ben, suamimu, berteriak bahwa seekor bangau tong-tong telah membawakan seorang bayi untuk kalian. Kau yang tengah sibuk dengan kegiatanmu di kamar mandi hanya berdecak hingga Ben membuka kamar mandi dan menunjukkan bayi merah itu ke hadapanmu.

“Seekor bangau tong-tong yang membawakannya untuk kita! Ini pasti bayi dari surga yang Tuhan kirim untuk kita, Sayang!”

Kau hanya menatap bayi merah yang menggeliat di dalam gendongan Ben dengan tatapan tak mengerti. Bayi dari surga? Bangau tong-tong? Suamimu pasti sudah mulai gila.

Ben selalu menginginkan seorang bayi, terlebih setelah enam tahun pernikahan kalian. Namun, sejak awal pernikahan kau tak pernah menginginkan kehadiran makhluk yang harus lahir dari tubuhmu itu. Bayi hanya pembuat onar, begitu katamu, tapi Ben tidak pernah menanggapi penolakanmu. Aku yang akan mengandung dan melahirkannya, begitu katamu, tapi Ben tetap bersikukuh dengan mengatakan bahwa sudah sewajarnya dalam sebuah pernikahan lahir seorang anak, seorang penerus keluarga. Lalu kalian bercinta malam harinya setelah sebelumnya kau menelan pil yang akan mencegahmu bunting tanpa sepengetahuan Ben.

“Benar cerita ibuku tentang bangau yang membawa bayi dari surga.” Ben terus berbicara tentang bayi dan bangau.

Kembali kau menatap bayi merah dalam gendongan Ben yang terus menggeliat membuatmu geli.

“Ben, kau tahu, bukan, itu hanya cerita masa kecilmu? Seekor bangau tidak mungkin membawa bayi apalagi dari surga.”

“Tapi bayi ini benar-benar dibawa oleh seekor bangau barusan. Bangau itu melemparkannya tepat ke arahku. Tuhan telah menjawab doa kita, Sayang.”

Kau Kembali berdecak, mungkin maksud Ben adalah doanya sendiri karena kau tidak pernah berdoa meminta seorang anak. Anak—khususnya bayi—hanyalah sumber keonaran dalam sebuah rumah. Dan kau yang menyukai keteraturan tidak mengharapkan kehadirannya.

Ben tidak peduli dengan kekesalanmu. Suamimu terlalu senang dengan kehadiran bayi—yang dia sebut hadiah dari surga—di gendongannya. Dia membawa bayi itu ke kamar kalian sambil berseloroh tentang nama yang cocok untuk bayi itu.

“Bagaimana kalau Lisa? Nama itu sangat populer beberapa tahun ini. Atau bagaimana kalau Andin? Nama itu sangat populer. Ah, tidak, nama anak kita haruslah spesial dan tidak ada yang menyamai.”

Kau masih saja diam ketika Ben meletakkan bayi itu ke ranjang kalian dan detik berikutnya bayi itu mengompol disertai tangis yang memekakkan telinga. Keonaran pertama dalam rumahmu karena kehadiran seorang bayi.

“Sayang, lakukan sesuatu, bayi kita menangis.”

Kau hanya menggeleng pelan tak menghiraukan kepanikan Ben. Kau bahkan tak tahu dari mana sebenarnya bayi itu berasal. Seekor bangau tong-tong tidak mungkin membawanya dari surga seperti yang Ben katakan. Itu hanya dongeng masa kecil.

Kau mulai berpikir tentang teman sekantor Ben yang seksi yang terang-terangan menggoda suamimu itu. Mungkin saja mereka telah bermain di belakangmu dan kini bayi hasil hubungan gelap mereka dibawa ke rumah kalian; bangau tong-tong hanya bualan Ben semata. Meski kau ragu dengan pikiranmu sendiri. Kau tahu Ben sangat mencintaimu. Sangat. Dan kau tahu suamimu itu tidak akan pernah mengkhianatimu.

“Namanya Yara, artinya kupu-kupu kecil. Cantik, bukan?” Ben masih saja sibuk memikirkan nama bayi yang entah berasal dari mana itu, sedangkan kau, dalam otakmu penuh dengan kemungkinan dari mana sebenarnya bayi itu berasal.

“Katakan, wanita mana yang sudah kauhamili hingga bayi itu lahir?” Kau tak lagi bisa membendung rasa penasaranmu; yang pasti seekor bangau tidak mungkin menjadi jawaban atas hadirnya bayi yang sejak sore tadi hingga malam entah sudah menangis berapa puluh kali. Kini bayi itu bersama seorang pengasuh yang secara mendadak harus kau sewa karena kau tidak mau terus mendengar suara tangisannya apalagi mengganti popoknya yang basah, sedangkan Ben yang sejak pernikahan kalian menginginkan seorang bayi hanya bisa panik setiap kali bayi itu menangis atau mengompol.

“Wanita apa? Hanya kau satu-satunya wanita yang aku punya.”

“Ben, seekor bangau tidak mungkin membawa bayi itu dari surga, apalagi diberikan pada sebuah keluarga. Itu hanya dongeng.” Kau memijit pelan pelipismu yang terasa pening.

Suamimu mengacak rambutnya karena frustrasi, tapi kau jelas lebih frustrasi dalam hal ini. Kehadiran bayi itu harus diluruskan. Katakanlah memang betul Ben telah bermain di belakangmu dan kini dia membawa pulang bayi hasil perselingkuhannya, itu lebih bisa kau terima; kau hanya harus memilih untuk melanjutkan atau mengakhiri penikahan kalian. Tapi seekor bangau? Tidak, otak logismu tidak bisa menerima itu.

“Tidak ada wanita lain.”

Kau menatap mata suamimu. Tidak ada kebohongan di sana. Kau telah mengenal suami lebih dari setengah umurmu, dan kau tau Ben tidak akan pernah berbohong padamu.

“Apa kau tidak melihat mata bayi kita? Matanya sangat mirip dengan matamu, Sayang. Bahkan hidungnya pun sangat mirip denganmu. Bayi itu benar-benar dibawa oleh seekor ba—”

Kau menghalau ucapan suami dengan mengibaskan tangan. Kepalamu sudah sangat pening untuk kembali mendengar cerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga.

“Sayang, kenapa mempermasalahkan asal usul bayi itu? Kalau kau tidak bisa percaya tentang bangau yang membawa bayi itu dari surga untuk kita, bisakah kau cukup percaya bahwa ini adalah anugerah yang Tuhan kirim untuk kita. Sebuah anugerah, Sayang.”

Kau ingat beberapa bulan lalu ketika Ben mengajakmu menemui dokter kandungan. Kami ingin memiliki seorang anak, begitu kata Ben di hadapan dokter yang sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi pasangan yang ingin memiliki momongan. Dari gugup suaranya dan gemetar tangannya kau tahu Ben sangat menginginkan seorang anak, sedangkan kau selalu menolak untuk diajak berkonsultasi dengan dokter.

“Sayang, kenapa tidak kita coba untuk merawat bayi itu? Mungkin saja ini kesempatan kita.”

Kau ingat foto-foto bayi yang dipajang Ben untuk meluluhkan hatimu agar mau memulai program hamil. Kau kembali menatap mata suamimu. Benar, mungkin sudah waktunya, pikirmu, dan kau mengangguk perlahan.

Sejak itu kalian berdua yang mengurus bayi yang kini bernama Yara. Di tengah malam, ketika Yara terbangun karena haus atau karena popoknya basah sedangkan Ben sudah terbuai dalam mimpi dengan dengkuran yang keras, kau menatap mata Yara. Bola mata yang masih begitu bening dengan lingkaran hitam yang sangat pekat seperti mutiara hitam.

Kau tersenyum ketika bayi itu tertawa sambil berceloteh dalam bahasa yang tidak kau pahami. Ada kehangatan yang memeluk hatimu kala melihat tingkah Yara. Jari-jari mungilnya yang menggenggam jarimu seolah hanya kau tempatnya berlindung. Dan kau tahu, kau telah jatuh cinta pada bayi dalam dekapanmu kini.

“Mama. Panggil aku mama,” ucapmu

***

Kini hidupmu adalah untuk Yara. Meski kau belum memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu, tapi kau berusaha untuk membagi waktu. Kau telah jatuh cinta padanya, dan kau tidak mau melewatkan satu saja momen tumbuh kembangnya. Ben tentu bahagia. Setiap pagi dia selalu berujar bahwa ini sebuah keluarga yang selalu dia impikan; dengan seorang istri yang cantik dan seorang anak yang ceria. Hidupnya telah sempurna. Tak butuh waktu lama bagi Ben untuk membuat sebuah foto keluarga. Foto berukuran besar itu dia pajang di ruang tamu seolah memamerkan pada siapa pun yang datang ke rumah kalian.

Meski kau lelah dengan rutinitas baru sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga, rasa lelahmu seketika sirna melihat senyum Yara. Tak jarang setiap akhir pekan—ketika Ben masih sibuk dengan proyek dan kerjaannya—kau mengajak Yara ke taman kota atau sekedar berbelanja baju baru untuknya.

Kau ingat ketika Ben berkata ingin seorang anak darimu. Kau juga ingat ketika Ben bilang hanya kau wanita satu-satunya bagi Ben. Kau juga tak lupa kejadian di sore hari ketika Ben bercerita tentang bangau yang membawa bayi dari surga; bayi yang kini duduk di sebelahmu dalam mobil. Kau ingat tak ada kebohongan dari mata Ben saat itu, tapi ketika melihat suamimu kini tengah bermesraan dengan wanita lain membuatmu pening. Kau ingat wanita itu adalah temen sekantor Ben yang terang-terangan menggoda suamimu.

“Bangau yang membawa bayi dari surga katanya?” Kau jelas tahu seorang bayi tak mungkin dibawa dari surga oleh seekor bangau. Bayi lahir dari selangkangan seorang wanita. Hanya itu.

 

Perempuan yang Berencana Mati Hari Ini

 

(Pertama kali tayang di Nominaidekarya.com edisi 28 Agustus 2023)

Aku sedang bersiap dengan alat pancingku ketika melihat perempuan itu duduk sendirian di antara bebatuan karang agak menjauh dari dermaga. Aku tak berniat mengganggunya atau pun mengusik kegiatannya. Tempat ini adalah tempat di mana aku biasa menghabiskan waktu dengan memancing dan perempuan itu bebas berada di sana karena ini adalah tempat umum bagi siapa saja. Namun, ketika perempuan itu mulai terisak—bercampur dengan deru ombak sehingga aku tidak begitu menyadari sebelumnya—aku mulai menoleh padanya. Ada apa? Kenapa perempuan itu tiba-tiba menangis? Aku menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapa pun selain kami berdua di tempat ini. Orang-orang lebih memilih dermaga untuk memancing. Dan aku tak yakin apakah aku harus menanyakan keadaan perempuan itu dalam situasi seperti ini.

Tentu itu sebetulnya bukan urusanku. Setiap orang punya urusannya sendiri-sendiri di tempat ini, seperti aku yang hanya ingin memancing sebagai hobiku untuk mengisi waktu luang di sore hari. Ketika aku mulai melempar umpanku yang pertama kali, isakan dari perempuan itu semakin terdengar seolah dia ingin aku bertanya ada apa; seolah ingin aku memperhatikannya.

Ah, itu bukan urusanku, begitu kuyakinkan diri. Namun, ketika melihat wajahnya yang sembab dan air mata yang menderas, aku teringat pada mendiang anak perempuanku; hatiku luluh. Anggaplah perempuan itu memang sedang butuh kawan sekarang. Kutarik pancingku sebelum melangkah pada perempuan itu.

“Kau juga suka melihat ombak di sore hari?” tanyaku membuatnya tersentak seolah sedari tadi dia tidak menyadari keberadaanku, padahal dia yang menarik perhatianku dengan isakannya.

Perempuan itu tak menjawab. Dia hanya menyeka ingus dan air matanya dengan ujung lengan sweter sebelum kembali terisak dengan gigil di tubuhnya. Anak perempuanku pasti seumuran dengannya jika masih hidup. Dulu aku terbiasa menghadapi anak perempuanku jika tengah merajuk atau pun bersedih.

“Kau bisa bercerita apa saja pada ombak. Dia pintar menjaga rahasia.”

“Itu bukan urusanmu, Pak Tua!”

Aku terkekeh mendengarnya. Pak tua. Ya, itu memang panggilan yang pantas untukku karena uban yang begitu lebat di kepala. Aku duduk beberapa langkah darinya sembari memakai topi kesayanganku untuk menutupi uban yang sudah keburu ketahuan oleh perempuan itu.

“Enam puluh lima tahun memang sudah cukup tua untuk hidup di dunia ini. Mungkin sebentar lagi aku akan selesai.”

Perempuan itu tidak lagi bersuara. Kebisuan hadir di antara kami. Mungkin harusnya aku membiarkannya sendiri, tapi lagi-lagi aku teringat mendiang Mei, anak perempuanku. Angin pantai yang begitu kuat nyaris menerbangkan topiku. Beberapa tahun yang lalu, aku dan Mei sering menghabiskan waktu di sini. Aku memancing, sedangkan dia hanya duduk memperhatikanku sambil bercerita tentang sekolahnya, tentang teman-temannya dan ketika aku berhasil menangkap seekor ikan maka Mei akan berjingkrak dengan riang seolah itu adalah ikan yang akan menjadi makan malam yang paling dia nantikan.

Aku tersenyum mengingatnya. Andai Mei masih hidup. Mendadak hatiku diserang lara.

“Aku berencana untuk mati hari ini.” Perempuan itu tiba-tiba bersuara, mengaburkan ingatanku tentang Mei.

Kembali angin menderu dengan kencang, kali ini menerbangkan helaian rambut panjang perempuan itu. Dia tidak menghiraukan rambut panjangnya yang terbawa angin, sedangkan aku masih terpaku di tempatku; kehilangan kata-kata. Berencana untuk mati? Maksudnya bunuh diri? Itu kata-kata yang asing, tetapi juga sangat familier bagiku.

“Pasti akan lebih baik bagi keluargaku jika aku mati, bukan?” Kali ini perempuan itu menoleh padaku. Bibirnya membentuk senyum yang dipaksa, sedangkan matanya merah karena terus dipaksa mengeluarkan air mata.

“Tidak ada yang baik dalam sebuah kematian, apalagi yang direncana.” Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku. Andai saja bisa aku ingin mengatakan kata-kata itu pula pada Mei.

“Aku tidak tahu bagaimana menghadapi dunia dengan keadaanku sekarang.”

“Apa kau punya teman?”

“Bahkan teman yang paling karib pun pergi meninggalkanku.”

“Tapi keluarga tidak akan pergi meninggalkanmu.”

Perempuan itu kembali terisak. Kali ini dia memeluk kedua lutut untuk menenggelamkan kepalanya, membuatku tidak lagi bisa melihat wajahnya yang ayu.

“Aku tidak kuat lagi menghadapi semua ini.” isaknya begitu pilu.

Angin kembali menyeret-nyeret ingatanku tentang Mei. Belasan tahun lalu menjadi hari paling memilukan dalam hidupku. Aku mendapat sebuah telepon, deringnya terasa begitu aneh bagiku, padahal setiap hari aku mendengar dering yang sama setiap kali mendapat panggilan telepon. Namun, hari itu ada yang aneh dengan deringnya. Dan ketika aku mengangkat telepon itu, suara di ujung sana mengatakan anak perempuanku ada di rumah sakit, kecelakaan katanya. Tidak, kau bohong, begitu kataku. Ketika aku sampai di rumah sakit, aku bahkan tidak bisa mengenali putri semata wayangku.

Sehari kemudian Mei dimakamkan dengan semua air mata yang keluarga kami punya. Putriku satu-satunya, orang yang paling aku sayang di dunia ini pergi meninggalkan kami. Istriku pingsan beberapa kali dan aku tidak tahu harus bagaimana menggambarkan kesedihanku. Rasanya kebahagiaan telah dicabut dari keluargaku. Mentari keluargaku telah pergi untuk selamanya. Setelahnya hanya ada kemuraman di rumah kami, meski kemudian aku dan istri bisa kembali menata kehidupan. Kami bangkit dari kesedihan, walaupun aku tidak pernah bercerita pada istriku tentang pesan terakhir yang Mei kirim padaku. Sebuah permohonan maaf dan ucapan selamat tinggal yang tidak bisa aku pahami maksudnya.

“Aku telah mengucapkan selamat tinggal pada ayah ibuku hari ini.” Perempuan itu telah menegakkan kembali tubuhnya. Matanya menatap jauh pada lautan yang luas di depan sana. Rambutnya yang panjang kini dia ikat menjadi satu; menampakkan lehernya yang jenjang.

Kapal-kapal kecil penangkap ikan mulai melaut dan menjauh dari pandangan; semakin jauh dan semakin kecil. Aku ingat impianku bersama Mei, kami ingin naik kapal pesiar suatu hari nanti. Sebuah kapal yang amat besar dengan fasilitas seperti hotel bintang lima, begitu katanya. Namun, yang terjadi Mei menaiki kapalnya sendiri dan meninggalkan kami dengan sebuah permohonan maaf dan selamat tinggal yang ganjil.

Apa yang terjadi pada Mei? Apa yang membuatnya menyerah pada hidupnya yang masih panjang. Aku ingat sehari sebelumnya dia bercerita tentang impian untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Mei ingin membuat Ayah bangga, begitu katanya. Aku masih tidak mengerti, bagaimanapun aku memikirkannya.

“Tapi itu bukan selamat tinggal seperti yang dibayangkan orangtuamu.” Kali ini aku mendebat. Bagaimana pun perempuan ini telah mengatakan rencananya untuk mati hari ini dan aku tidak bisa membiarkannya. Setidaknya jika aku tidak bisa menyelamatkan Mei, aku bisa menyelamatkan perempuan ini.

“Mereka bahkan tidak akan memusingkan tentang kematianku.” Kali ini perempuan itu membiarkanku melihat wajah yang sembap. Kepiluan yang menyanyat-nyayat hati. Rasa putus asa yang sudah tidak lagi berujung. Dan di sana hanya ada kegelapan.

Di awal-awal tahun kepergian Mei, aku memikirkan dengan keras apa alasannya meninggalkan kami. Apa yang tengah dialami seorang Mei dan tidak pernah dia ceritakan padaku atau pun ibunya, sedangkan sejak kecil tidak pernah ada satu cerita pun yang luput dia cerita pada kami. Apa yang Mei rahasiakan? Apa yang membuatnya nekat melompat ke rel tepat ketika kereta itu datang. Aku sama sekali tidak punya petunjuk.

“Apa yang terjadi?” desisku memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada putriku. Pertanyaan yang selama ini hanya sampai pada angan-anganku karena aku tidak mau membuat istriku sedih dengan memikirkan kematian putri kami.

“Suara-suara dalam kepalaku begitu gaduh dan tidak ada lagi tempat yang bisa aku tuju, Pak Tua. Aku takut sendirian, tapi nyatanya aku memang sendirian.”

Mungkin perempuan ini memang tidak lagi punya alasan untuk hidupnya; entah sekadar sebuah alasan kecil untuk melanjutkan hidup seperti keluarga. Akan tetapi, Mei adalah seorang anak yang aku besarkan dalam kehangatan keluarga. Semua kasih sayang tercurah hanya untuknya. Mei dan perempuan di sampingku ini jelas berbeda.

“Kau bisa bercerita apa pun padaku,” terdengar seperti sebuah gombalan laki-laki hidung belang.

Perempuan itu hanya tersenyum sayu. Anak-anak rambutnya beterbangan menyapu wajahnya.

“Bisakah kau bertahan sebentar lagi, setidaknya untuk hal-hal kecil seperti aku menunggu ikan memakan kailku?”

Hening. Baik aku maupun perempuan itu hanya larut pada pikiran masing-masing. Kami diam memandang senja yang semakin turun hingga hari mulai menjadi gelap tanpa kami rasa.

“Bukankah putrimu juga meninggalkanmu, Pak Tua?”

Aku tidak tahu bagaimana perempuan itu tahu tentang putriku. Aku masih tergagap hendak bertanya ketika perempuan itu berdiri, bersiap untuk pergi.

“Aku tidak ingin mati di hadapan orang yang mendengar kisahku. Aku akan tetap mati hari ini seperti yang telah aku rencanakan.” Perempuan itu mulai melangkah. Ujung sweternya berkibar tertiup angin yang kencang menampilkan perutnya yang membuncit. Itu sekitar lima atau enam bulan, bukan? Aku tahu karena dulu aku selalu memperhatikan kehamilan istriku.

“Tunggu, siapa namamu?”

“Mei. Namaku Mei.”

Selasa, 07 Mei 2024

Rambutan dan Kelengkeng

 

(Telah dimuat di Rubrik Budaya Harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 15 Maret 2024)


Istriku ngedumel sore ini ketika aku baru saja pulang kerja. Dia bercerita tentang tetangga kami yang menurutnya pelit minta ampun.

“Rambutan di depan rumahnya itu berbuah lebat. Harusnya sebagai tetangga, dia beri beberapa tangkai buat kita. Daun rambutannya saja sering jatuh ke halaman rumah kita, masak rambutannya tidak pernah sampai?” Istriku bicara panjang lebar tentang rambutan dan tetangga kami, sedangkan aku yang sedang kecapaian seusai ngantor hanya bisa mengangguk tidak bersemangat.

“Jangan keras-keras bicaranya, nanti kedengaran.”

“Biar saja. Biar mereka dengar.”

Tetangga kami adalah sepasang suami-istri dengan seorang anak sama seperti keluargaku. Kami pun menempati rumah di kompleks perumahan ini hampir bersamaan. Mereka datang hanya selang beberapa hari setelah keluargaku pindahan dan istriku merasa lebih senior daripada istri tetangga kami. Mungkin itu penyakit ibu-ibu kompleks? Awalnya, aku tidak masalah ketika istriku selalu iri jika rumah sebelah membeli sesuatu seperti AC atau kulkas baru. Namun, masalah rambutan ini sudah berlebihan menurutku.

“Kamu ingin rambutan? Besok Mas belikan sepulang kerja.” Untuk memenuhi rasa irinya saja aku bersedia membeli AC atau kulkas baru, tentu tidak jadi soal membelikannya sekarung rambutan agar istriku puas bahkan sampai kembung makan rambutan.

“Bukan itu masalahnya. Ini soal adab bertetangga, Mas.” Istriku tetap tidak terima.

“Memangnya kamu pernah memberi mereka kelengkeng kalau pohon kelengkeng kita berbuah? Tidak, kan? Coba kamu duluan, pasti mereka akan membalas kebaikanmu. Itu baru namanya adab bertetangga.”

“Kita lebih senior di komplek ini, jadi harus mereka duluan yang memberi. Bukan kita.”

Aku angkat tangan menasihati istriku. Padahal istriku bukan wanita yang suka mencari gara-gara dengan warga lain di kompleks kami, tetapi entah mengapa masalah buah rambutan ini begitu sensitif untuknya, apalagi untuk beberapa bulan belakangan ini. Mungkin itu bawaan orok karena istriku sedang hamil muda, anak kedua kami. Ibu hamil biasanya minta yang aneh-aneh. Masih untung dia tidak memintaku makan durian seperti saat hamil anak pertama. Bisa mabuk durian aku kalau menuruti keinginannya.

***

Sore ini tidak ada ocehan istriku tentang tetangga kami. Dia menyambutku dengan wajah semringah, kemudian membawakan tas kerjaku ke kamar. Ketika aku beranjak ke kamar mandi, kulihat seikat rambutan di meja dapur. Itu pasti dari tetangga kami.

“Tadi si Sri ke sini bawa rambutan,” ucap istriku sambil menyiapkan makan malam kami. Semangkuk rambutan yang telah terkupas juga menghiasi meja makan sebagai pencuci mulut. “Ternyata tetangga kita itu tidak pelit-pelit amat, sepertinya mereka sudah sadar siapa yang lebih senior di kompleks ini.”

Aku hanya mengganguk sambil tersenyum simpul menanggapi perkataan istriku. Dia tidak tahu kalau tadi pagi, ketika dia sedang membeli bubur ayam untuk sarapan, aku bersama anak kami memetik beberapa biji tangkai kelengkeng kemudian memberikannya pada Sri, tetangga kami. Istriku tidak perlu tahu. Dia hanya perlu merasa bahwa harga dirinya sebagai senior di kompleks ini tetap terjaga.

“Besok, aku akan membawakan mereka beberapa tangkai kelengkeng sebagai balasan.”

Perasaanku mulai tidak enak. “Tidak perlu,” sergahku.

“Kok, tidak perlu? Itu namanya pelit. Tidak boleh pelit sama tetangga, Mas.”

Sepertinya masalah baru akan muncul setelah ini. Aku tersenyum kecut sambil melahap rambutan yang ternyata asam di hadapanku.